Menuju konten utama

Bukan Sekadar Nostalgia: Beban Ekspektasi di Pundak Film Remake

Sejatinya, film remake dibuat untuk memperkenalkan lagi cerita lama pada generasi baru dengan menghadirkan konteks sosial dan budaya lebih modern.

Bukan Sekadar Nostalgia: Beban Ekspektasi di Pundak Film Remake
Header diajeng Remake Film. tirto.id/Quita

tirto.id - Usai lebih dari dua dekade, film Ada Apa dengan Cinta akan diproduksi ulang oleh Miles Films.

Mereka bertekad untuk menghidupkan kembali karakter Rangga, Cinta, dan gengnya yang ikonik lewat wajah-wajah baru dengan diwarnai oleh sentuhan musikal.

Kita akan menyaksikan kembali kisah pertemuan Rangga dan Cinta di masa SMA dan lika-liku romansa mereka yang manis dan dramatis, kurang lebih persis dengan naskah film yang tayang pada 2002.

Remake yang diberi judul Rangga & Cinta: The Rebirth of Ada Apa dengan Cinta? ini direncanakan rilis 2 Oktober mendatang. Ia akan menambah jajaran film remake “klasik” yang mengisi studio-studio bioskop Indonesia.

Memproduksi ulang film-film hits nampaknya tengah menjadi tren di industri perfilman Indonesia belakangan ini.

Sebut di antaranya Galih dan Ratna (2017), Warkop DKI Reborn (2016-17), Pengabdi Setan (2017), Jailangkung: Sandelaka (2022), dan baru-baru ini ramai diperbincangkan, Sore: Istri dari Masa Depan (2025).

Selain itu, tercatat dalam 2-3 tahun terakhir ada sederet produk remake dari film dan serial drama luar negeri, seperti Miracle in Cell No.7 (2022), Kembang Api (2023), Kang Mak from Pee Mak (2024), My Annoying Brother (2024), hingga A Business Proposal (2025).

Film-film populer dan punya banyak penggemar, seperti AADC, bisa dibilang hanya menunggu giliran untuk didaur ulang.

Ketika trailer-nya rilis, sebagian menyambutnya dengan sukacita karena terpesona dengan sentuhan musikal dan wajah-wajah segar para pemain baru yang dipandang lebih cocok dan relatable untuk target penonton Gen Z.

Pada waktu sama, bermunculan reaksi kritis dari penggemar lama yang membanding-bandingkan cast baru dengan pemeran orisinal.

Sosok Rangga dan Cinta, diperankan Nicholas Saputra dan Dian Sastrowardoyo, begitu melekat di hati generasi yang beranjak remaja di dekade akhir 90-an dan awal 2000-an.

Bagi mereka, AADC bukan sekadar film cinta-cintaan remaja, melainkan era yang membersamai petualangan remaja mereka. Maka dari itu, dari lubuk hati mereka, nyaris mustahil untuk meninggalkan kesan dan kenangan mendalam atas karakter Rangga dan Cinta orisinal.

Beberapa lainnya menganggap visual para cast karena kurang pas dengan pemeran awal, seperti sorot mata Rangga yang dibilang kurang tajam atau Mamet yang kurang terlihat nerdy.

Ada pula yang menyebutkan trailer film kurang menonjolkan unsur musikal. Padahal, itulah pembeda utama dari naskah aslinya.

@milesfilmsid

Bahagia sekali melihat aneka respons dan reaksi untuk Official Poster dan Trailer Film Rangga & Cinta. Dari komentar yang penuh luapan antusiasme hingga warna-warni opini yang sangat berarti. Terima kasih banyak, teman-teman semua! 🥹✨ Ngomong-ngomong.. kalau dari keseluruhan trailernya, bagian favorit kamu yang mana? 🤔 Film Rangga & Cinta A Film by Riri Riza The Rebirth of Ada Apa dengan Cinta? 2 Oktober 2025 di Bioskop. #FilmRanggaCinta#AdaApaDenganCinta#AADC

♬ original sound - milesfilmsID - milesfilmsID

Yang menarik, skeptisisme penonton terhadap kreasi film remake bukanlah hal yang baru.

Film-film remake hampir selalu mendapatkan kecaman, bahkan sebelum tayang.

Pasalnya, penggemar sudah mempunyai ekspektasi tertentu tentang jalannya alur cerita dan cenderung sensitif terhadap perubahan yang mungkin diambil oleh sutradara untuk menghadirkan kebaruan dari dimensi cerita.

Serial baru Harry Potter yang akan diproduksi oleh HBO tengah menghadapi perdebatan serupa karena para penggemar menganggapnya terlalu menyimpang dari sumber asli.

Karakter Profesor Snape, dideskripsikan di novel sebagai sosok berkulit pucat dan berhidung bengkok, rencananya akan diperankan oleh Paapa Essiedu, seorang aktor berkulit hitam.

Keputusan untuk menukar ras aktor kini sudah jadi praktik lazim di Hollywood, tetapi tidak sedikit penggemar yang menilai pemilihan casting ini akan menimbulkan masalah.

Ini lantaran backstory karakter Snape sebagai siswa Hogwarts yang dirundung oleh geng James Potter—ayah dari Harry Potter.

Aksi perundungan ini bisa jadi akan mengarah pada isu rasisme apabila Snape diperankan oleh orang kulit hitam.

Tak hanya itu, adaptasi film baru Netflix dari waralaba The Chronicles of Narnia juga menuai kritik pedas karena pemilihan pemainnya.

Meryl Streep dikabarkan akan mengisi suara Aslan, singa jantan yang bisa berbicara dan berperan sebagai penjaga Narnia. Di versi orisinalnya, pengisi suara Aslan adalah aktor Liam Neeson.

Keputusan sutradara Greta Gerwig—terkenal dengan karya-karya feminis dan berorientasi pada perempuan—untuk menukar gender Aslan ini nyatanya tidak disambut hangat oleh semua penggemar jagat Narnia, sampai-sampai menuai seruan petisi.

Selain pemilihan casting, momentum untuk menggarap ulang suatu film juga menjadi faktor yang menentukan.

Ada film remake yang dikritik karena dianggap terburu-buru dibuat setelah film aslinya dirilis. Misalnya, film Jomblo (2017) yang di-reboot 11 tahun sejak film orisinal, hanya mendapat rating 2,9 di Letterboxd.

Begitu pun film remakeA Business Proposal (2025) yang masih menjadi bulan-bulanan publik dan mendapatkan rating 1,8/10 di IMDb dari 23 ribu ulasan. Ia dibuat ulang selang tiga tahun sejak drama Korea-nya meledak.

Sejatinya, film remake dibuat untuk memperkenalkan kembali cerita lama kepada generasi baru dengan menghadirkan konteks sosial dan budaya yang lebih modern, bisa juga dengan menerapkan teknologi yang lebih canggih untuk meningkatkan kualitas film.

Maka dari itu, apabila remake dibuat terlalu cepat, makna baru yang ingin disampaikan film cenderung jadi kabur.

Paling mungkin, alasan terkuat melakukannya adalah dorongan komersial. Siapa tahu, kesuksesan film yang dahulu laku di pasaran, dapat terulang kembali pada hari ini?

Meskipun semua film berorientasi pada profit, tetapi film remake lebih sering mendapat reputasi buruk. Secara umum, film orisinal yang kualitasnya buruk cenderung tidak akan menerima cemoohan yang sama dengan film remake yang gagal menyaingi film aslinya.

Peneliti James Barnes mengonfirmasi bahwa preferensi penonton terhadap film orisinal lebih tinggi dibandingkan film remake.

Dengan mengamati skor penilaian di situs IMBD untuk penonton dan Metacritic untuk kritikus film, studi ini menemukan bahwa 91 persen film remake mendapatkan skor penonton yang kurang positif dibandingkan dengan versi aslinya.

Sementara itu, di kalangan kritikus, remake mendapatkan skor yang sedikit lebih rendah, yakni 87 persen.

Survei dari Buzzfeed menunjukkan hasil yang mirip. Lewat kuis “original vs remake poll” (2025), penonton diminta memilih versi mana yang mereka lebih sukai dari sebuah film.

Dari 35 film yang berada di list, 19 film orisinal mendapat vote yang lebih tinggi daripada versi remake, 15 vote untuk versi produksi ulang, dan satu film yang persentasenya seri.

Meski hasilnya tidak jauh berbeda, tetapi ada pola yang menarik untuk diamati.

Sebagian besar film remake yang lebih disukai audiens berasal dari film yang setidaknya berusia 20 tahun sebelum dibuat ulang. Ini mengindikasikan film remake lebih dihargai jika dibuat berjarak dari film aslinya.

Kendati demikian, industri perfilman nampaknya belum akan meninggalkan tren film remake dalam waktu dekat.

Meskipun reaksi pertama publik terhadap film remake biasanya hanya bervariasi antara “terlalu cepat untuk di-remake” atau “tidak seharusnya dibuat remake”, pendapat mereka akan cenderung mudah berubah ketika filmnya sudah dirilis.

Bagaimana pun, kekuatan nostalgia akan mendorong penonton untuk membeli tiketnya dan mengenang cerita lawas yang pernah mewakili momen-momen berarti dalam hidup mereka.

Jikalau hasil film remake tidak sesuai harapan, beberapa orang mungkin hanya akan mencatat aspek-aspek yang menyimpang dari versi aslinya lalu menulis ulasan buruk di Letterboxd.

Di balik itu semua, pada akhirnya hasil penjualan tiket bioskop dapat menjelaskan mengapa film remake berpotensi untuk selalu populer.

Nah, bagaimana denganmu? Apa kamu tetap mau nonton film favorit yang dibuat ulang terlepas kecintaan pada versi orisinalnya?

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Yolanda Florencia Herawati

tirto.id - Lyfe
Kontributor: Yolanda Florencia Herawati
Penulis: Yolanda Florencia Herawati
Editor: Sekar Kinasih