tirto.id - 20 tahun telah berlalu sejak seorang lelaki tua berjubah mencuri nyala lampu jalanan di Privet Drive. Bersama dua rekan, perempuan tua dan lelaki setengah raksasa dengan motor terbang, ia menitipkan seorang bayi kepada keluarga yang tersisa. Itulah bagaimana kronik hidup The Boy Who Lived, Harry Potter, bermula.
Film pertama, Harry Potter and the Philosopher's Stone, dirilis pada 2001. Tujuh judul mengikuti, yang semuanya diangkat dari novel karya J. K. Rowling--seri buku terlaris sepanjang masa yang telah terjual setidaknya 500 juta kopi. Seri buku yang sama memantik peredaran spin-off, buku-buku, dan film lain yang kelak berkembang menjadi waralaba besar yang dinamakan The Wizarding World.
Harry Potter adalah salah satu kisah yang bisa dibilang menyihir pembaca tanpa terdengar berlebihan. Robbie Coltrane, pemeran Rubeus Hagrid, bahkan menyatakan bahwa "jutaan orang yang tak pernah mengangkat buku selama hidup mereka kini membaca buku, dan kau tiba-tiba menyadari kekuatan penulisan." Tidak mengejutkan bahwa banyak remaja 2000-an, bahkan generasi berikutnya, yang mengaitkan diri dengan karakter dan kisah ini hingga bertahun-tahun kemudian.
Semua yang telah membaca dan menonton seluruh kisah Harry Potter tentu tahu bagaimana kelanjutan hidup dia dan karakter lain. Tentu akan sangat menarik jika ada film pendek, kalau bukan feature film, tentang reuni mereka.
Kita memang mendapatkan itu, tapi dalam bentuk yang berbeda.
Reuni Tak Lengkap
Setelah trailernya muncul pada akhir 2021 lalu, Harry Potter 20th Anniversary: Return to Hogwarts resmi tayang di HBO Max pada 1 Januari 2022. Undangan reuni disebarkan, bukan atas nama Hermione Granger dan Rubeus Hagrid melainkan Emma Watson dan Robbie Coltrane. Koper-koper yang dipak ke dalam kereta menuju Hogwarts ditandai dengan nama Tom Felton dan Gary Oldman alih-alih Draco Malfoy atau Sirius Black.
Suara narator bak pengantar kisah-kisah magis terdengar. Denting scoring John Williams yang fantastis tak luput menyertai. Obrolan-obrolan dilangsungkan di ruang asrama Gryffindor maupun Slytherin, Gringotts, ruangan Dumbledore, dan ruang kelas Ramuan. Syuting spesial ini tentu tidak dilangsungkan di kastil di dataran tinggi Skotlandia, lokasi Hogwarts, melainkan di Warner Bros. Studio Tour London – The Making of Harry Potter di Leavesden, Inggris.
Sebagian besar pemeran inti hadir, tapi porsi terbesar tetap untuk trio Daniel Radcliffe (Harry Potter), Emma Watson (Hermione Granger), dan Rupert Grint (Ron Weasley). Sutradara masing-masing film dan produser David Heyman bergantian angkat bicara dan bertukar kisah. Klip-klip semasa syuting dan behind the scene ditampilkan demi memperkuat pembahasan.
Kisah yang sudah sering didengar, seperti tentang trio tokoh utama yang disuruh menuliskan esai soal karakter masing-masing, kembali diterangkan. Ada pula kisah yang lebih baru, semisal sutradara film ketiga Alfonso Cuarón yang mengenang rangkaian sekuens monumental di Shrieking Shack dan menyatakan tidak pernah bekerja sama dengan sekelompok cast sedahsyat itu.
Return to Hogwarts juga menunjukkan kesulitan yang mungkin tak dibayangkan sebagian besar orang, yakni mengurus pemeran yang sebagian besar masih anak-anak dengan keaktifan dan kecenderungan sekadar bermain-main sepanjang set. Anak-anak itu juga sangat mungkin tidak menyadari bahwa mereka sedang berada di film yang sama dengan para aktor veteran British yang kariernya merentang panjang seperti Richard Harris, Maggie Smith, John Hurt dan Alan Rickman. Reuni ini juga menyegarkan kembali ingatan betapa pol-polan dan intimidatifnya penampilan Gary Oldman, Helena Bonham Carter, dan Ralph Fiennes (yang bisa jadi bakal memicu keinginan untuk menonton ulang film-filmnya).
Seperti reuni pada umumnya, tentu tidak semua menyanggupi hadir. Tidak ada aktor veteran Irlandia Brendan Gleeson (pemeran Alastor Moody) maupun anaknya, Domhnall Gleeson (pemeran Bill Weasley). Tak ada pula Kenneth Branagh, pemeran Gilderoy Lockhart, yang mungkin sedang membesut film terbarunya, Belfast. Orang-orang juga membicarakan kematian Cedric Diggory tanpa kehadiran pemerannya, Robert Pattinson, yang barangkali sedang sibuk memerankan Bruce Wayne.
Namun yang paling mencolok tentu ketidakhadiran pemeran Albus Dumbledore dan Minerva McGonagall, Michael Gambon dan Maggie Smith. Belum lagi kehadiran J. K. Rowling yang hanya kurang dari 30 detik, itu pun dari rekaman wawancara pada 2019. Berbagai spekulasi muncul soal sedikitnya porsi sang pengarang, termasuk dugaan bahwa itu berkaitan dengan komentar-komentarnya yang diangap transfobia dan menuai kritik luas termasuk dari para pemain Harry Potter.
Meski patut disayangkan, setidaknya absennya nama-nama itu membuat screentime lebih bisa dibagikan untuk pemeran karakter-karakter macam Lucius Malfoy (Jason Isaacs) bahkan peri rumah Dobby yang disuarakan Toby Jones.
Selain mengenang para aktor yang telah berpulang seperti Alan Rickman dan Helen MccRory, reuni ini nyaris melulu berisi kisah manis. Cerita Emma Watson dan Rupert Grint yang nyaris memutuskan berhenti, misalnya, tidak dituangkan lebih lanjut. Pembahasan hanya ditampilkan dalam waktu singkat dan berakhir agak samar. Rupert Grint setidaknya sempat mengalami krisis identitas, kebingungan memisahkan antara karakter yang ia hidupi dengan dirinya sendiri. Sementara Daniel Radcliffe mengatakan semua aspek dalam hidupnya kini terkait Potter. Semua itu ditutup dengan rasa syukur atau tetap menyimpulkan pengalaman terlibat kisah ini sebagai masa terbaik dalam hidup mereka.
Warner Bros mungkin memang enggan menampilkan perkara itu lebih lanjut sebab faktanya tidak sedikit aktor anak di Hollywood yang rusak, tak hanya karier tapi juga hidupnya, berkat andil peran-peran besar dan kebintangan yang menghampiri sejak usia belia. Sebut saja Jake Lloyd (Star Wars) hingga Macaulay Culkin (Home Alone).
Pasca Harry Potter
Kisah hidup Harry Potter menghasilkan pengaruh yang seolah tiada habisnya dari generasi ke generasi. Para pembaca tumbuh dewasa dengan tetap percaya pada imajinasi. Dimensi ceritanya menghadirkan berbagai "hero", tergantung dari sudut mana kau memandangnya.
Sementara di antara para pemeran, Emma Watson bisa dibilang paling menonjol, baik sebagai aktor maupun figur publik. Tak hanya terlibat dalam film-film seperti The Perks of Being a Wallflower (2012) dan Little Women (2019), ia juga menggunakan popularitasnya untuk terlibat dalam dunia aktivisme termasuk feminisme. Begitu pula rekan-rekan perempuannya dalam Dumbledore's Army yang tetap berjuang di dunia nyata, dalam aktivisme masing-masing.
Perkara kelanjutan karier sebagai aktor, Rupert Grint dan Daniel Radcliffe tampak lebih senang mengambil jalur film-film indie atau yang tak berbujet besar--kalau bukan film yang tak berkesan. Bahkan memori saya terhadap Daniel Radcliffe selepas Harry Potter sekadar saat ia membawa jalan-jalan banyak anjing dalam Trainwreck (2015).
Pilihan-pilihan tersebut, berdasarkan obrolan dalam Return to Hogwarts, memang sedikit banyak didasari pada fakta bahwa mereka meraih status bintang di usia muda.
Kendati salah satu pemeran tidak merasa sudah cukup pantas dibuatkan reuni resmi, Return to Hogwarts terasa jauh lebih dari sekadar konten serupa yang biasa ditemukan dalam bonus DVD film (kendati ia pun tak lepas dari kekeliruan, semisal memajang foto Emma Roberts masa kecil alih-alih Emma Watson). Acara temu kangen ini tampaknya sudah cukup memuaskan para fans.
Saya sendiri merasa reuni ini datang sekitar sepuluh tahun lebih cepat. Konten yang dihadirkan tentu bakal lebih mendalam, bahkan bisa mencapai fase di mana anak-anak dari generasi para pemeran utamanya sudah mencapai usia remaja dan memahami dunia Harry Potter, dunia yang membuat orang tua mereka dikenal di seluruh dunia. Namun ia pastinya dihadirkan sekarang dengan banyak pertimbangan seperti bisnis, fan-service, menjaga api The Wizarding World, atau bahkan sekadar soal waktu.
Toh, sebagai waralaba buku terbesar dan salah satu media fantasi paling laris, Harry Potter selalu layak merayakan dirinya sendiri. Kisah yang, kata Emma Watson, "memberi kita tempat yang dapat kita kunjungi, di mana kita bisa beristirahat, dan dibuai" ketika keadaan "menjadi sangat gelap dan masa-masa sulit."
Lagi pula, merasakan magis yang sama dari cerita yang mengisi masa-masa yang lebih baik juga bukanlah hal yang buruk. Bernostalgia membayangkan Hogwarts, Hogsmeade, Diagon Alley. Mencitrakan hewan yang bakal muncul dari Patronus-mu jika suatu waktu Dementor datang. Always.
Editor: Rio Apinino