tirto.id - Defisit BPJS Kesehatan terus menumpuk dan diperkirakan angkanya bisa mencapai Rp16,5 triliun hingga akhir tahun 2018. Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) periode Januari-Juni 2018, sebesar Rp4,4 triliun terdiri dari carry over tahun 2017 dan Rp12,1 triliun proyeksi defisit tahun 2018.
Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi menganggap, defisit itu menjulang tinggi akibat rapuhnya konsep dan pelaksanaan yang dieksekusi pemerintahan Jokowi.
"Pemerintah sudah berpuluh-puluh kali rapat dengan kami, pasti tahu masalahnya. Tapi belum ada perubahan sistem yang baru sampai sekarang," kata Dede kepada reporter Tirto, Jumat (19/10/2018).
"Jadi, menurut saya, ini sudah menjadi final warning,” imbuhnya.
Dede menjelaskan, pangkal permasalahan dari defisit BPJS Kesehatan selama empat tahun belakangan, justru bukan pada alokasi anggaran. Sebab dana yang dialirkan telah mengacu pada undang-undang yaitu, 5 persen dari total APBN 2018 atau sebesar Rp111 triliun dan 5 persen dari total RAPBN 2019 atau sebesar Rp112 triliun.
Dari 5 persen tersebut, menurut Dede, anggaran Penerima Bantuan Iuran (PBI) juga sudah ditambah dari Rp25 triliun pada APBN 2018, menjadi Rp26 triliun untuk RAPBN 2019.
"Ini sudah disetujui dalam rapat komisi IX dan Kemenkeu. Tapi ini masalah soal manajemen pelaksanaan," tuturnya.
Selain itu, menurut Dede, ada berbagai masalah yang menjangkiti BPJS Kesehatan. Misalnya sistem rujukan berjenjang yang saat ini diterapkan BPJS Kesehatan, ternyata merugikan masyarakat. Alur administrasi yang panjang itu berdampak berantakannya rekam jejak medis pasien, terlebih jika terdapat perombakan layanan rumah sakit.
Maka dari itu, menurut Politikus Partai Demokrat tersebut, upaya menaikkan iuran sebagai alternatif menambal defisit tidak mungkin dilakukan. Sebab pola pelayanannya hingga kini belum memuaskan.
"Presiden bisa menggerakkan menteri keuangan. Bisa menggerakkan Dirjen Pajak atau yang lainnya untuk membuat penutup bolong ini," ujarnya.
Dede juga berharap tarif BPJS Kesehatan yang mengacu pada Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs) diganti. Sebab model pembayaran untuk mengganti klaim tagihan rumah sakit yang mengadopsi dari Malaysia itu, sudah tak relevan lagi bagi Indonesia.
Rumitnya masalah BPJS Kesehatan, menurut Dede karena jenjang komunikasi antara Presiden Jokowi dan BPJS terasa jauh. Harus melewati menteri kesehatan terlebih dulu untuk menyampaikan laporan. Maka dari itu jika ada masalah, Jokowi diminta tidak lempar tanggung jawab.
"Artinya jika presiden menganggap BPJS dan pelaksana BPJS gagal, ya ganti dong. Artinya apa, hindarkan saling lempar tanggungjawab," tegasnya.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay menganggap, sejauh ini Presiden Jokowi seperti tak kunjung mendapatkan informasi yang utuh terkait pelaksanaan dan operasional BPJS Kesehatan. Maka dari itu permasalahan kian menumpuk.
“Mulai dari pendataannya kepesertaan, terutama yang gratis, kemudian sistem pelayanannya itu, kemudian termasuk pembiayaan. Contoh dari sisi pelayanan kan masih banyak yang semrawut,” ujar Saleh kepada reporter Tirto.
Selain itu, menurut Wasekjen PAN tersebut, banyak masyarakat yang merasa dinomorduakan ketika berobat karena menggunakan BPJS Kesehatan. Selain itu terkait pembiayaan, dia menganggap ada banyak kecurangan.
“BPJS ini susah dan kompleks. Termasuk memperbaiki regulasi-regulasi. Ada banyak regulasi di situ yang harus dievaluasi. UU BPJS itu sendiri kan belum mengatur kewajiban keuangan yang sustain,” terangnya.
Maka dari itu, Saleh meminta Jokowi tak hanya memprioritaskan pembangunan infrastruktur. Menurutnya infrastruktur hanya dinikmati sebagian masyarakat Indonesia. Misalnya jalan tol atau bandara, hanya dinikmati sebagian orang yang bisa bepergian. Hal itu berbeda dengan BPJS Kesehatan.
“Tapi kalau kesehatan semua orang kaya miskin menikmati itu. Karena itu harus diprioritaskan. Jangan hanya infrastruktur,” tegasnya.
Berpotensi Menghambat Elektabilitas
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai, lambannya pemerintah menangani masalah defisit BPJS Kesehatan akan menghambat elektabilitas petahana, dalam pertarungan Pilpres 2019.
"Bisa jadi ladang pembantaian dirinya saat debat Pilpres nanti," kata Fahri melalui keterangan tertulisnya yang diterima Tirto, Jumat (19/10/2018).
Menurut Fahri BPJS Kesehatan bagian dari program strategis Jokowi untuk penuhi hak kesehatan warganya. Maka dari itu Fahri meminta agar Jokowi lebih tanggap dan tak lepas tangan pada persoalan ini.
Menanggapi hal ini, Ketua Perempuan Bangsa PKB, Siti Masyrifah menilai kemarahan Jokowi kepada Dirut BPJS bukan suatu tindakan lepas tangan.
"Tapi justru kemarahannya itu sebagai bentuk tanggung jawab Pak Jokowi sebagai Kepala Negara," kata Masyrifah kepada reporter Tirto.
Masyrifah, selaku anggota Komisi IX mengaku sudah sering meluapkan kegeramannya, soal BPJS Kesehatan dalam rapat kerja di DPR.
"Saya pernah sampaikan kalau harus ada punishment buat BPJS Kesehatan. Keenakan kalau setiap defisit harus ditutup oleh Negara. Enggak ada tanggung jawab manajemennya kalau begitu terus," pungkasnya.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana