Menuju konten utama
Puasa Bedug Orang Dewasa

Bolehkah Orang Dewasa Puasa Setengah Hari: Hukum Puasa Dzuhur

Bolehkah puasa setengah hari untuk orang dewasa. Apa hukum puasa dzuhur? Simak golongan orang yang boleh tidak berpuasa Ramadan.

Bolehkah Orang Dewasa Puasa Setengah Hari: Hukum Puasa Dzuhur
Ilustrasi Puasa. foto/istockphoto

tirto.id - Puasa Ramadan dilaksanakan dalam rentang waktu sejak terbit fajar (azan subuh) hingga terbenamnya matahari (magrib). Lantas, bagaimana dengan puasa setengah hari? Bolehkah orang dewasa puasa dzuhur? Apakah orang yang puasa bedug bisa melanjutkan puasanya setelah siang hari?

Puasa artinya menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual suami istri, dan segala hal yang membatalkan dengan niat karena Allah Swt. Namun, ada sebagian orang yang melaksanakan puasa setengah hari.

Puasa setengah hari atau puasa zuhur biasanya diamalkan oleh anak-anak yang belum balig. Para orang tua biasanya menerapkan puasa ini kepada anak-anak dalam rangka latihan pembiasaan. Namun sejatinya, mereka belum terkena hukum kewajiban berpuasa Ramadan.

Lantas, bagaimana jika puasa setengah hari itu dilakukan oleh orang dewasa? Apakah puasanya sah atau justru haram hukumnya?

Hukum Puasa Setengah Hari untuk Orang Dewasa

Waktu pelaksanaan puasa pada hakikatnya dimulai sejak fajar terbit hingga terbenamnya matahari. Sementara itu, puasa beduk dimulai dari fajar kemudian berbuka saat zuhur lalu melanjutkan puasa hingga maghrib tiba.

Pada dasarnya tidak ada syariat dalam Islam tentang pelaksanaan puasa beduk atau puasa setengah hari. Adanya puasa beduk merupakan upaya pengenalan dan pembiasaan untuk anak-anak terhadap ibadah puasa Ramadan. Hal ini sah-sah saja dilaksanakan oleh anak-anak yang belum balig.

Puasa setengah hari haram hukumnya bagi orang dewasa sebab ia membatalkan puasa bukan pada waktunya. Namun, ada pengecualian bagi muslim yang memiliki uzur syar'i sehingga diperbolehkan baginya berbuka lebih awal. Dalam kitab Al-Muhaddzab, Imam As-Syairazi menerangkan:

“Diharamkan makan minum bagi orang yang berpuasa, karena firman Allah SWT, ‘Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam (waktu fajar), kemudian sempurnakanlah puasa sampai datang waktu malam.’” (Al-Muhadzzab fî Fiqhis Syafi’i, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyyah], juz I, halaman 331).

Hadis di atas secara tegas menerangkan bahwa orang yang berpuasa boleh berbuka hanya boleh berbuka pada waktu malam, tepatnya ketika matahari terbenam (magrib). Dengan demikian, telah jelas bahwa orang dewasa tidak boleh berpuasa setengah hari sehingga haram hukumnya berpuasa setengah hari bagi orang dewasa.

Dalam kitab tersebut juga dijelaskan terkait puasa setengah hari. Berikut penjelasannya:

“Adapun anak kecil, maka tidak wajib baginya berpuasa, karena ada hadis Nabi SAW, ‘Kewajiban diangkat dari tiga orang, yaitu anak kecil hingga ia baligh, orang yang tidur hingga bangun, orang gila sampai ia sadar.’ Anak kecil berumur tujuh tahun diperintahkan untuk berpuasa apabila ia kuat, dan anak yang sudah berumur sepuluh tahun dipukul jika meninggalkan puasa, diqiyaskan dengan salat,”

Tidak semua anak-anak kuat melaksanakan puasa sehari penuh. Karenanya, sesuai redaksi penjelasan Imam Asy-Syairazi di atas, ada penekanan frasa ‘apabila kuat’, yang mengindikasikan diperbolehkannya melaksanakan puasa secara bertahap. Maksudnya, anak-anak boleh menunaikan puasa setengah hari ketika belum balig, baru kemudian berpuasa sehari penuh setelah cukup umur.

Salah seorang sahabat nabi juga mendidik anaknya untuk membiasakan puasa. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis riwayat Bukhari berikut ini:

"Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz, ia berkata bahwa suatu pagi di hari Asyura’, Nabi SAW mengutus seseorang mendatangi salah satu kampung penduduk Ansor untuk menyampaikan pesan, ‘Barangsiapa yang pagi hari telah makan, maka hendaknya ia puasa hingga Magrib, dan siapa yang pagi ini berpuasa maka lanjutkan puasanya.’ Rubayyi’ berkata, kemudian kami mengajak anak-anak untuk berpuasa, kami buatkan bagi mereka mainan dari kain. Jika mereka menangis, maka kami beri mainan itu, begitu seterusnya sampai datang waktu berbuka,” (Fathul Bârî Syarh Shahîhil Bukhâri, [Darul Ma’rifah, Beirut], juz IV, halaman 201).

Dengan demikian, disimpulkan bahwa puasa beduk diharamkan bagi orang dewasa, tetapi dibolehkan untuk anak-anak. Puasa beduk bagi anak-anak juga perlu dibarengi penjelasan dan pendidikan bahwa hakikatnya pelaksanaan puasa berlangsung sejak subuh hingga maghrib.

Apa Saja Uzur Syar'i dalam Puasa

Uzur syar'i pelaksanaan puasa terbagi menjadi dua kelompok, yakni orang yang tidak boleh melaksanakan puasa dan orang yang boleh tidak melaksanakan puasa. Keduanya jelas berbeda dan memiliki ketentuan yang berbeda pula.

Beberapa orang dengan kriteria tertentu tidak boleh alias diharamkan berpuasa. Sementara itu, kelompok yang boleh tidak melaksanakan puasa merupakan orang-orang yang dalam keadaan tertentu diizinkan secara syariat untuk tidak melaksanakan puasa.

Orang yang Wajib Tidak Berpuasa

Orang yang wajib tidak berpuasa yakni perempuan yang sedang haid dan nifas di bulan Ramadan. Jika pada siang hari pelaksanaan puasa, lalu tiba-tiba ia mendapati dirinya haid, puasanya secara otomatis batal dan dipersilakan berbuka.

Muslim perempuan dengan kategori tersebut dilarang melanjutkan puasa hingga bersih dari haid atau nifas. Para ulama sepakat bahwa hukum nifas dalam hal puasa sama dengan haid. Mengutip dari buku Tuntunan Ibadah pada Bulan Ramadhan (2015) terbitan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, hadis-hadis berikut merupakan landasan ketentuan uzur syar'i berkaitan dengan haid dan nifas:

Rasulullah saw. bersabda: “Bukankah wanita itu jika sedang haid tidak salat dan tidak berpuasa?” Mereka menjawab: “Ya.” (HR. Al-Bukhari).

Aisyah ra. berkata: “Kami pernah kedatangan hal itu (haid), maka kami diperintahkan mengqdha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha salat,” (HR. Muslim).

Perempuan yang sedang haid atau nifas harus memperhatikan jumlah hari puasa yang ditinggalkan. Ketentuan terkait uzur ini adalah menggantinya pada hari lain di luar bulan Ramadan atau biasa disebut dengan istilah mengqada.

Orang yang Boleh Tidak Berpuasa

Kelompok orang yang boleh tidak berpuasa adalah orang-orang yang diberi keringanan untuk tidak melaksanakan puasa. Dalam istilah Islam, hal itu disebut rukhshoh. Namun, mereka tetap wajib menggantinya pada hari lain atau dengan membayar fidyah. Berikut adalah kelompok orang yang boleh tidak berpuasa dan wajib mengganti pada hari lain:

  1. Orang yang sakit biasa pada bulan Ramadan
  2. Orang yang sedang bepergian atau musafir
Dalil terhadap dua kondisi tersebut terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 184:

“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain ...” [QS. Al-Baqarah (2): 184].

Hadis berikut juga menerangkan orang yang bepergian boleh meninggalkan puasa:

“Bahwa Rasulullah saw bersabda: Sungguh Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia telah membebaskan puasa dan separo shalat bagi orang yang bepergian, dan membebaskan pula dari puasa orang hamil dan orang yang menyusui,” [HR. Al-Khamsah].

Beberapa golongan muslim juga boleh utang puasa dengan fidyah, berupa makanan pokok. Besarannya adalah 1 mud atau setara lebih kurang 0,6 kg per hari.

Berikut ini kelompok muslim yang diperbolehkan membayar utang puasa dengan fidyah:

  • Orang yang tidak mampu berpuasa, misalnya karena tua dan sebagainya
  • Orang yang sakit menahun
  • Perempuan hamil
  • Perempuan yang menyusui
Dalil terkait uzur syar'i dan ketentuannya terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 184 dan hadis Nabi Muhammad sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya [jika mereka tidak berpuasa] membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin,” (QS. Al-Baqarah (2): 184).

Baca juga artikel terkait RAMADHAN 2023 atau tulisan lainnya dari Nurul Azizah

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Nurul Azizah
Penulis: Nurul Azizah
Editor: Fadli Nasrudin