tirto.id - 29 Oktober 2008 menjadi momen yang mendebarkan. Hari itu, Antasari Azhar, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru dua tahun menjabat mengumumkan penetapan tersangka Aulia Tantowi Pohan yang ketika itu menjabat Deputi Gubernur Bank Indonesia.
Penetapan itu sekali lagi membuat nama Antasari makin moncer sebagai pemburu koruptor. Sebab, Aulia bukanlah orang sembarangan. Aulia merupakan besan orang nomor satu di Indonesia kala itu, Susilo Bambang Yudhoyono.
“Ini bukan atas desakan pihak lain. Namun, semata-mata diambil berdasarkan sikap profesional KPK. Penetapan ini didasarkan atas hasil penyidikan dan fakta-fakta di persidangan," tegas Antasari dalam konferensi pers di kantor KPK, Rabu, 29 Oktober 2008 seperti dikutip dari kompas.com.
Penetapan tersangka itu pun membuat Presiden SBY bersedih. Bagaimana tidak, mertua dari anaknya Agus Harimurti ditetapkan sebagai tersangka suap kepada anggota DPR. Pada hari yang sama, SBY langsung menggelar konferensi pers. Mimik wajahnya tampak muram ketika mulai bicara.
"Dalam kapasitas saya sebagai pribadi, pribadi Susilo Bambang Yudhoyono, mendengar semuanya ini tentu saya secara terus terang dan jujur sedih," katanya di Gedung Utama Sekretariat Negara, Jakarta.
Antasari pun memastikan Aulia tidak lepas dari jerat hukuman meski dia besan presiden. Meski sempat mangkir dalam persidangan, namun akhirnya Aulia tidak dapat mengelak lagi. Dalam persidangan, Aulia terbukti bersalah karena terlibat dalam pencairan uang sebesar Rp100 miliar dari Yayasan Lembaga Pengembangan Perbangkan Indonesia (YLPPI).
Uang tersebut digunakan untuk melancarkan penyelesaikan kasus BLBI dan penyelesaian Amandemen UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Aliran uang itu pun sampai ke tangan beberapa anggota DPR RI pada waktu itu. Atas perbuatannya itu, Aulia divonis tiga tahun penjara dan denda Rp 200juta pada 15 Maret 2010.
Memulai Karier dari Bawah
Sebelum kariernya tamat akibat kasus pembunuhan terhadap Nasrudin, dia adalah seorang jaksa pemberani. Antasari memulai awal karirnya menjadi jaksa di kantor Kejaksaan Tinggi Negeri, Jakarta Pusat pada 1985. Dia pun sempat menjadi Jaksa di Tanjung Pinang sebelum akhirnya menjadi Kepala Seksi Penyidikan Korupsi Kejaksaan Tinggi Lampung pada tahun 1992. Di sinilah Antasari mulai bergelut dengan para koruptor.
Namanya melambung ketika dia menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada tahun 2000. Pada saat itu kasus korupsi yang melibatkan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, anak kesayangan mantan Presiden Soeharto tengah ditangani Kejaksaan Jakarta Selatan.
Saat itu, Tommy divonis 18 bulan penjara dan membayar kerugian negara Rp 30 miliar dalam kasus korupsi Bulog yang dilakukan pada tahun 1994. Tommy semula divonis bebas di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tetapi setelah banding, Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita memvonis Tommy bersalah.
Begitu vonis dijatuhkan, Antasari langsung menyerukan kepada Jaksa Agung agar melakukan pencekalan terhadap Tommy. Hal tersebut dilakukan mengingat adanya kemungkinan Tommy kabur. Prediksi Antasari benar. Setelah mengetahui Grasi yang ajukan ke Presiden Abdurahman Wahid ditolak, Tommy melarikan diri.
Sayangnya pencekalan itu tidak dilakukan. Sebaliknya, Kepolisian justru menyalahkan Antasari sebagai penyebab kaburnya Tommy. Antasari bahkan ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian karena dugaan kesalahan prosedur dalam penanganan kasus Tommy.
Melibas Pengusaha hingga Jaksa
Bukan saja yang memiliki hubungan dengan Presiden yang dilibas oleh Antasari, pengusaha, jaksa dan politisi pun tak luput dijebloskannya ke penjara atas tuduhan kasus korupsi. Kasus paling disorot publik salah satunya suap Artalyta Suryani. Kala itu, Artalyta menyuap jaksa Urip Tri Gunawan dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia II. Kasus itu juga melibatkan Sjamsul Nursalim sebagai pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia.
Keseriusannya memberantas rasuah memang dinilai sebagai sosok membahayakan oleh banyak kalangan. Apalagi Antasari tak segan membongkar borok di institusi tempat dia berkarier, yakni Kejaksaan. Dia menyeret jaksa Urip yang terbukti menerima suap dari Artalyta untuk mengamankan Sjamsul dari kasus BLBI II. Pada 7 Desember 2007, Artalyta memberikan uang Rp 100juta kepada Urip agar Urip membantu Sjamsul dalam kasusnya. Tidak hanya itu, Urip juga dijanjikan uang $660 ribu jika kasus selesai.
Keduanya pun kemudian divonis bersalah pada 2009. Jaksa Urip dijatuhi pidana penjara 20 tahun dan denda Rp500 juta dan Artalyta dipenjara 5 tahun dan denda Rp250 juta.
Tidak selesai mengobok-obok Kejaksaan, Antasari juga melibas para wakil rakyat di DPR yang menerima suap. Ada Hamka Yandhu, politisi Partai Golongan Karya yang menerima suap dan membagikan uang ke rekan-rekannya dalam pemilihan Miranda Gultom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004. Selain itu ada juga Sarjan Taher politisi partai Demokrat dan Al Amien Nasution politisi partai PPP.
Sarjan dan Amien menerima suap Pelepasan Kawasan Hutan Lindung Pantai Air Telang di Sumatera Selatan pada tahun 2006. Dia divonis 4 tahun penjara pada tahun 2009, sedangkan Al Amien divonis 8 tahun penjara.
Sayangnya, sepak terjang Antasari harus terhenti. Kasus pembunuhan berencana dituduhkan kepada dia membuatnya tak lagi bisa unjuk gigi. Terlepas dari masih janggalnya kasus pembunuhan terhadap Nasrudin, namun fakta pahit harus diterima. Antasari tak lagi berdaya. Kini dia pun bebas dari penjara setelah menjalani hukuman 7,5 tahun kurungan. Publik berharap, berani kah Antasari buka-bukaan soal aktor di balik kasus yang menjeratnya?
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti