Menuju konten utama

Bisnis Geotermal Penuh Risiko, PGE Tak Seharusnya IPO

Geotermal merupakan salah satu bisnis di sektor energi yang memiliki tingkat pengembalian investasi rendah dengan risiko yang sangat tinggi.

Bisnis Geotermal Penuh Risiko, PGE Tak Seharusnya IPO
Pekerja melakukan pengecekan instalasi sumur Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) PT Geo Dipa Energi di dataran tinggi Dieng, Batur, Banjarnegara, Rabu (4/4/2018). ANTARA FOTO/Anis Efizudin

tirto.id - Saham PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) dengan kode PGEO bergerak dengan volatilitas tinggi pada debut perdagangan perdananya di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jumat, 24 Februari 2023 kemarin.

Pada pembukaan sesi pertama, saham PGEO sempat melonjak ke level Rp925 per lembar dari harga penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) pada level Rp875 per unit saham.

Tak lama kemudian, saham emiten anak usaha PT Pertamina (Persero) itu anjlok 6,8 persen hingga menyentuh level auto reject bawah (ARB) ke level Rp815. Sebelum penutupan perdagangan, secara ajaib saham PGEO rebound dan ditutup pada level harga IPO di level harga Rp875.

Direktur Avere Investama, Teguh Hidayat menyatakan, bahwa ada sentimen berlebihan dari publik terhadap IPO PGE yang ditandai dengan kelebihan permintaan (oversubscribe) pada masa penawaran.

Di sisi lain, geotermal adalah salah satu bisnis di sektor energi yang memiliki tingkat pengembalian investasi rendah dengan risiko yang sangat tinggi. Bahkan kemungkinan gagal bisa mencapai 60-75 persen.

“Maka investasi di pengembangan geothermal adalah high risk investment,” ujarnya dalam pernyataannya, Sabtu (25/2/2023).

Menurutnya, proses bisnis geothermal memakan waktu yang cukup lama. Bagaimana tidak, mulai dari survei awal, penyiapan lahan, perizinan, eksplorasi hingga pengembangan pembangkit listrik bisa membutuhkan waktu 7-9 tahun lamanya. Belum lagi risiko tinggi yang mengikuti proses bisnisnya.

Selain sisi risiko tinggi dan return minim, investasi panas bumi juga membutuhkan modal jumbo. Mulai dari penentuan titik lokasi yang berpotensi, lalu infrastruktur pengembangannya, bahkan eksplorasinya sendiri bisa mencapai 40-60 persen dana operasional.

Tak ayal jika secara jangka panjang, pengumpulan dana publik perseroan sebagian besarnya akan digunakan untuk belanja modal (capital expenditure/capex) di berbagai wilayah kerja panas bumi (WKP) di Indonesia.

“Risiko kegagalannya pun cukup tinggi, baik dari sisi teknis maupun non teknisnya, seperti ancaman kerusakan lingkungan, resettlement, atau bahkan harus mengorbankan situs-situs di lokasi eksplorasi dan permasalahan sosial lainnya,” kata dia.

Teguh menilai kesalahan strategis yang dilakukan perseroan adalah mementingkan pendanaan jangka pendek dalam kondisi yang belum siap. Padahal sejatinya model investasi geothermal harus jangka panjang dan membutuhkan strategic partner dalam pengembangan awal, bukan dengan IPO.

Ia juga melihat rangkaian yang salah dari aksi korporasi PGE itu, di mana strategic partner yang hendak berinvestasi dipaksa masuk pada valuasi yang sudah naik dari nilai IPO. “Belum kuatnya pemetaan risiko dan minim expertise membuat lemah fundamental perusahaan,” paparnya.

Akhirnya, lanjut Teguh, investor yang akan masuk menjadi strategic partner akan berpikir dua kali jika PGE sudah melantai di bursa. Mengingat naiknya valuasi setelah IPO akan menyulitkan pengembangan bisnis sekaligus mempersempit kerjasama strategis dengan berbagai entitas lainnya ke depan.

Sebelumnya, Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) resmi melakukan pencatatan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Jumat kemarin dengan kode saham PGEO. Dengan melepas sebanyak 10,35 miliar saham baru atau 25 persen pada harga Rp875 per saham, PGEO meraih dana segar sebesar Rp9,056 triliun.

"Pelepasan saham perdana atau IPO untuk mendukung rencana PGEO mengembangkan kapasitas terpasang perseroan sebesar 600 MW hingga 2027 mendatang," kata Direktur Utama Pertamina Geothermal Energy, Ahmad Yuniarto di Bursa Efek Indonesia.

Dia menuturkan PGEO menargetkan untuk meningkatkan basis kapasitas terpasangnya yang dioperasikan sendiri, dari 672 MW saat ini menjadi 1.272 MW pada tahun 2027. Selain juga mendukung ambisi PGEO untuk terus tumbuh dan mengembangkan seluruh value chain dari sumberdaya panas bumi Indonesia.

Baca juga artikel terkait ENERGI PANAS BUMI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Reja Hidayat