tirto.id - Kebiasaan orang Indonesia minum bir sudah terlihat di awal abad XX. Sebelum bir tiba di nusantara, orang-orang Indonesia sudah mengenal tuak atau arak lokal lainnya. Orang-orang Belanda dan Jerman yang kemudian memperkenalkan bir ke orang-orang Indonesia. Bagi orang Jerman, bir biasa diminum karena merupakan minuman nasional. Orang-orang Jerman yang menjadi serdadu-serdadu kolonial di Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) kemudian membawa kebiasaan ini.
Awalnya, bir hanya dikenal oleh orang-orang yang bekerja pada pemerintah kolonial, sebagai serdadu, pelaut atau pegawai negeri. Lama-lama, minuman ini akrab dengan masyarakat Indonesia. S
Raja Jawa yang dekat dengan Belanda, sebenarnya juga tertarik pada aroma minuman ini. Karena Raja Jawa kebanyakan muslim dan dilarang minum alkohol, maka diraciklah minuman dengan aroma sama, tetapi tidak beralkohol. Maka lahirlah bir jawa. Menurut Nuraida Joyokusumo, dalam Warisan Kuliner Keraton Yogyakarta (2008), minuman penghangat badan ini biasa disajikan untuk Raja Jogja, Sri Sultan Hamengkubuwono VIII, jika bersantai di vilanya di Kaliurang. Namun, minuman ini kalah populer dibanding bir yang beralkohol, baik di era kolonial maupun sesudahnya.
Minuman Orang Kuat
Di zaman kolonial, ada bermacam-macam merek bir di Indonesia. Sebuah majalah khusus pensiunan serdadu KNIL bernama Trompet, memasang iklan Java Bier, Ankerpils, dan juga Heinekens. Orang marketing perusahaan itu tentu tahu para serdadu adalah orang-orang yang doyan minum bir, atau setidaknya potensial untuk jadi peminum bir. Bangga dengan hal kebarat-baratan sebetulnya tak hanya menjangkiti anak-anak pribumi yang belajar di sekolah Belanda, atau nyai-nyai dari laki-laki Belanda, tapi juga para pegawai dan serdadu-serdadu Belanda.
Minum dan mabuk memang hal yang biasa tentara KNIL. Bagi mereka, tidak “minum” bukanlah laki-laki. Bir adalah lambang kekuatan. Jika tidak minum yang sekeras Jenewer atau Whisky, setidaknya minum bir saja. Dalam majalah Trompet edisi Juli 1939, iklan Java Bier menggambarkan seorang dokter yang sedang mengobati pasien. Di edisi sebelumnya lagi, Juni 1939, seorang anggota pemadam kebakaran yang dengan gagah berani menyemprotkan api dengan semprotan brandweer sendirian. Di edisi jauh setelahnya, Februari 1949, gambar iklan Java Bier adalah seorang laki-laki badan kekar yang diperiksa seorang dokter.
“Badannya seperti Tarzan,” tulis iklan tersebut. Di masa itu, Tarzan adalah simbol laki-laki kuat. Masih ada lanjutannya dari iklan itu. “Waktu diperiksa badan, nomor satu dilihat siapa yang mempunyai badan kuat dan tegap. Orang-orang lelaki yang mempunyai dada lebar dan tangan kuat ada(lah) yang paling disuka. Orang-orang yang begitu kuat dan dikagumi minum selamanya: Java Bier.” Dalam beberapa iklan Java Bier yang ada di majalah bulanan Trompet, selalu ada jargon, “orang tegap dan kuat minum Java Bier.”
Soal berapa kadar alkohol Java Bier tidak terdapat dalam iklan-iklannya. Tak jelas apakah bir ini seperti bir Bintang atau Anker, atau bir jawa seperti yang sering dinikmati Sultan Jogja Hamengkubuwono VIII?
Java Bier, minuman yang diproduksi NV Nederlandsch-Indische Bierbrouwerijen ini sejak 1931 sudah tamat riwayatnya. Produk lain dari perusahaan ini adalah bir Belanda Heinekens. Kemungkinan besar, Java Bier menghilang karena masuknya serdadu-serdadu Jepang ke Indonesia pada 1942.
Dua Raksasa Bintang dan Anker
NV Nederlandsch-Indische Bierbrouwerijen semula berdiri di Medan, tetapi kemudian pabrik birnya dibuka di Ngegel, Surabaya Surabaya. Pada 1936, Heinekens Group menguasai saham di perusahaan ini. Nama perusahaan ini pun berganti menjadi Heinekens Indische Bierbrouwerijen. Selanjutnya merek bir Heinekens pun beredar.
“Overal Thuis!” tulis iklan bir Heinekens yang berlambang bintang itu. Artinya kira-kira: Di setiap rumah. Lalu diteruskan lagi dengan kalimat, “Heinekens Hollansch bier in Indie gebrouwen.” Maksudnya: Bir Belanda yang diolah di Hindia (Indonesia). Karena kata Heinekens sulit diucapkan, orang-orang Indonesia sering menyebut bir cap bintang. Kebetulan lambang Heinekens adalah bintang merah.
Seperti halnya Java Bier, Heinekens juga hilang dari peredaran setelah serdadu-serdadu Jepang mendarat di Indonesia pada 1942. Namun, bir Heinekens akhirnya bisa kembali beredar di tahun 1949. Belakangan, pabrik ini pernah diambil alih pemerintah, lalu diambil alih lagi Heinekens. Merek yang kemudian terkenal adalah Bintang. Perusahaan bir ini kemudian memakai nama Multi Bintang Indonesia. Selain itu ada merek Green Sands, Bintang Zero, Bintang Radler, Tea Javana, juga Extra Joss yang diproduksi perusahaan ini.
Anker juga merek saingan Bintang. Sejarah bir ini juga tak kalah lama. NV Archipel Brouwerij Compagnie setidaknya berdiri di tahun 1932 sebagai pabrik bir. Jika Heinekens terkait dengan Belanda, maka bir ini terkait dengan Jerman. Pabrik pertama mereka berada di Jakarta. Merek bir yang dihasilkan adalah Diamonds, Anker dan Kris. Penjualan cukup di zaman itu. Dalam iklannya di majalah Trompet edisi Juni 1939, Anker atau Ankerpils tardapat gambar ketel raksasa pengolah bir dan gambar sebotol Ankerpils.
“Lihatlah itu ketel-ketel yang besar!” tulis iklannya. Lalu dituliskan lagi, “Dalam ketel-ketel itu ia dimasak, itu bir dari ini jaman modern. Dalam Archipelbrouwerij yang besar sekali dan terletak di Batavia, dekat sekali pada kita, adalah tampak mesin-mesin dan perabot paling baru. Satu perusahaan yang mengagumkan yang membikin barang jempolan.”
Sayangnya, Blitzkrieg serdadu-serdadu NAZI Jerman ke Belanda punya dampak bagi perusahaan bir ini. Terpaksa perusahaan ini dijual ke Borsumij setelah 11 Mei 1940. Sepertihalnya Heinekens cap bintang, Anker tak jelas sejarahnya di masa pendudukan Jepang. Hanya saja setelah Jepang kalah Anker bangkit lagi. Pada dekade 1970, nama perusahaan penghasil Anker ini adalah Delta Djakarta. Selain bir Anker, merek lain mereka adalah Anker Stout, Kuda Putih, Carlsberg beer, San Miguel beer dan San Mig Light.
Bintang dan Delta Djakarta termasuk perusahaan bir besar di Indonesia. Selain dua produsen besar itu ada merek bir Bali Haii atau Proost di Indonesia. Menurut laporan tahunan PT Multi Bintang Indonesia, penjualan mereka mencapai Rp2,98 triliun di tahun 2014. Namun, mengalami penurunan di tahun 2015, hanya Rp2,69 triliun. Laba bersih mereka di tahun 2014 adalah Rp794 miliar dan di tahun 2015 hanya Rp496 miliar saja.
Menurut laporan tahunan Delta Djakarta, penjualan minuman mereka di tahun 2014 mencapai Rp2,1 triliun, dan turun menjadi Rp1,5 triliun. Laba bersih mereka di tahun 2014 mencapai Rp288 miliar, dan turun menjadi Rp192 miliar di tahun 2015. Penurunan penjualan bir dari tahun 2014 hingga 2015 itu terkait dengan pembatasan penjualan minuman keras oleh pemerintah, termasuk yang beralkohol rendah seperti bir juga.
Seabad setelah minuman kuat ini dicicipi orang Indonesia, minuman ini sekarang dibatasi. Harganya pun jadi lebih tinggi. Beginilah nasib minuman orang kuat bernama bir sekarang. Nampaknya bir jawa kesukaan Sultan Jogja ke-8 harus menggantikan bir-bir beralkohol.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti