tirto.id - Muhammadiyah mempunyai kisah panjang sejak awal pendiriannya pada 18 November 1912 dan hingga kini telah berdiri selama 112 tahun.
Awalnya, Muhammadiyah didirikan oleh hanya segelintir jamaah rutin Masjid Besar Kauman, Yogyakarta.
Mereka menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi yang tak sebatas menggeluti ranah agama tetapi juga pendidikan, kesejahteraan masyarakat, dan kebudayaan.
Konstelasi Muhammadiyah yang demikian membuat Kuntowijoyo melalui Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (1991) melabeli ormas itu dengan gerakan "Islam modern".
Di balik kisah panjang itu, nama Muhammadiyah dipilih dengan beberapa pertimbangan, yang dilakukan melalui proses rangkaian diskusi dan musyawarah.
Selain "Sang Pencerah", Ahmad Dahlan yang punya peran besar dalam kemajuan Muhammadiyah, ada sosok terkemuka Muhammadiyah lainnya, yakni Kiai Muhammad Sangidu.
Perkembangan Muhammadiyah melaju pesat usai Sangidu diangkat menjadi Kepala Penghulu Masjid Besar Kauman.
Sangidu menggantikan kepala penghulu sebelumnya, Kiai Muhammad Cholil Kamaluddiningrat yang wafat pada 1914.
Biografi Kiai Sangidu
Usai diangkat menjadi kepala penghulu, Kiai Sangidu diberi gelar K.R.P.H. Muhammad Kamaluddiningrat.
Ahmad Adaby Darban dan Musthafha Kamal Pasha dalam Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam (2005) mengatakan, Sangudi merupakan penghulu ke-13 di Kesultanan Yogyakarta. Ia masih punya hubungan kerabat dengan Ahmad Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah.
Menurut Fadny Aprianto Rohman dalam "K.H. Sangidu, Penghulu Nama Muhammadiyah" yang terbit di jurnal Patrawidya (Vol. 20, 2019), Sangidu lahir dari pasangan Kiai Ma'ruf dan Nyai Sebro.
Ayahnya pernah menjabat sebagai Khatib Amin di Masjid Besar Kauman dan ibunya masih keturunan Ki Ageng Pemanahan, salah seorang tokoh pendiri Kerajaan Mataram Islam.
Sejak awal menggeluti pemikiran lsam, Ahmad Dahlan telah berkawan baik dengan Sangidu. Sangidu pun termasuk salah satu yang menjadi anggota pertama Muhammadiyah.
Bahkan ketika menjabat sebagai kepala penghulu, ia senantiasa andhap asor (rendah hati) dengan Ahmad Dahlan meski punya pangkat yang lebih tinggi.
Dalam tulisan R. Febriansyah, dkk melalui Muhammadiyah 100 Tahun Menyinari Negeri (2013) disebutkan bahwa semasa menjadi kepala penghulu, Sangidu membuka pintu selebar-lebarnya untuk reformasi Islam.
Bangsal keraton bagian barat menjadi ruang kaderisasi para jamaah Muhammadiyah. Bahkan beberapa abdi dalem keraton turut menimba ilmu di situ.
Ia juga mendukung penuh gerakan Muhammadiyah di segala sektor. Muhammadiyah bertransformasi menjadi organisasi besar di masa tersebut.
Lebih-lebih, ideologi Muhammadiyah mendominasi lingkungan Kauman dan Yogyakarta sebagai basis dasar organisasi.
Sangidu wafat pada 1940 dan posisinya digantikan oleh K.R.P.H Muhammad Nuh Kamaluddiningrat.
Namun Nuh hanya menjabat sebentar, ia diberhentikan dengan hormat oleh Keraton Yogyakarta.
Kepala penghulu selanjutnya yang menjabat ialah Muhammad Wardan, putra ketiga Sangidu dengan gelar K.R.P.H Muhammad Wardan Diponingrat.
Pencetus Nama Muhammadiyah
Pada 1911 di Pendopo Tabligh, sewaktu Ahmad Dahlan menyatakan niatannya mendirikan organisasi Islam, Sangidu bersuara.
Ia mengusulkan nama "Muhammadiyah" sebagai identitas utama organisasi yang hendak dirintis Ahmad Dahlan.
Sutrisno Kutoyo dalam Kiai Haji Ahmad Dahlan (1985) menjelaskan, filosofi Muhammadiyah bersumber dari nama rasul terakhir, Muhammad SAW.
Sekilas kedengarannya seperti nama seorang perempuan. Karena akhiran yah sarat akan nama-nama perempuan, umpamanya Aisyah, Juwariyah, Munjiyah, dsb.
Ahmad Dahlan lantas menegaskan, "Muhammadiyah itu bukanlah nama perempuan, melainkan berarti umat Muhammad, pengikut Muhammad utusan Tuhan yang penghabisan," demikian dinukil dari buku Sutrisno Kutoyo.
Ahmad Adaby Darban dan Musthafa Kamal Pasha dalam Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam dalam Perspektif Historis dan Ideologis (2002) mengatakan, usulan Sangidu itu diterima oleh Ahmad Dahlan usai meminta jawaban kepada Allah SWT melalui salat istikharah.
Akhirnya, nama Muhammadiyah dikukuhkan sebagai nama organisasi pada 18 November 1912 atau bertepatan dengan 8 Zulhijah 1330 Hijriah.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Dhita Koesno