Menuju konten utama

Sejarah Muhammadiyah Berdiri & Gerakan Pendidikan Ahmad Dahlan

Sejarah Muhammadiyah berdiri pada 1912 berawal dari usaha Ahmad Dahlan memajukan pendidikan bagi umat Islam di Indonesia.

Sejarah Muhammadiyah Berdiri & Gerakan Pendidikan Ahmad Dahlan
(Ilustrasi) KH Ahmad Dahlan. tirto.id/Gery

tirto.id - Tanggal 8 Zulhijah 1330 Hijriah, bertepatan dengan 18 November 1912, organisasi Muhammadiyah berdiri. Lahir di jantung feodalisme Jawa, Muhammadiyah lekas menjelma menjadi organisasi yang modern, energik, dan mengusung gagasan reformis.

Alfian dalam Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism (1989) menyebut sembilan pimpinan pusat 'hoofd bestuur' menandai struktur awal organisasi yang dibikin di Yogyakarta ini. Mereka adalah Ahmad Dahlan (Ketua/Presiden), Abdullah Siradj (Sekretaris), Ahmad (anggota), Abdul Rachman (anggota), Muhammad (anggota), Sarkawi, Akis (Anggota), Djaelani (anggota), dan Muhammad Pakih (anggota).

Semua orang dalam daftar di atas tercatat sudah menunaikan ibadah haji saat menjadi pengurus pertama Muhammadiyah. Sebagian dari mereka, termasuk Ahmad Dahlan, merupakan abdi dalem Keraton Yogyakarta. Status itu terlihat dari gelar di nama-nama mereka: Ahmad Dahlan (Mas Ketib Amin), Abdullah Siradj (Mas Penghulu), Ahmad (R. Ketib Tjendono), Muhammad (Mas Gebajan), dan Muhammad Pakih (Mas Tjarik).

Menurut Ahmad Najib Burhani dalam "Revealing the Neglected Missions: Some Comments on the Javanese Elements of Muhammadiyah Reformism" dalam jurnal Studia Islamika (Vol. 12, 2005), para pengurus inti Muhammadiyah generasi awal rata-rata memang berasal dari golongan santri dan priyayi.

Nama pertama dari daftar pengturus generasi pertama di atas adalah sosok yang selalu lekat dengan Muhammadiyah. Lahir pada 1 Agustus 1868 dari pasangan Abu Bakar dan Siti Aminah, Ahmad Dahlan merupakan putra keempat dari tujuh bersaudara.

Semasa kecil, namanya Muhammad Darwis. Darwis kecil lahir dan tumbuh di Kampung Kauman, Yogyakarta yang adat istiadat Islamnya kental. Bapaknya merupakan tokoh sohor pada masa itu. Menjabat sebagai salah satu khatib di Masjid Besar Kauman (Kasultanan Yogyakarta), Abu Bakar dipandang sebagai priyayi mapan.

Selain itu, secara silsilah, Darwis disebut punya pertalian darah dengan salah satu ulama generasi pertama Wali Songo. Abdul Mu'thi dkk. dalam buku biografi bertajuk K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923) (2015), menyebut Darwis keturunan ke-12 dari Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik),

Ia telah menjadi haji di usia belia, tepatnya 15 tahun. Rampung menunaikan haji, ia memutuskan untuk menetap di Makkah. Lima tahun menetap, Darwis getol menjalin interaksi dengan sejumlah pemuka Islam di sana. Sepulang dari tanah suci pada tahun 1888, ia memakai nama anyar, Ahmad Dahlan.

Tidak lama dari itu, ia menikah dengan, Siti Walidah, putri Kyai Mohammad Fadhil. Kutojo dkk. dalam memoar K.H.Ahmad Dahlan: Riwayat Hidup dan Perjuangannya (1991) mengungkap Siti Walidah kelak pada 19 Mei 1917 mendirikan Aisyiyah, perserikatan otonom para santriwati Muhammadiyah.

Pernikahan mereka dianugerahi 6 orang anak: Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Zaharah.

Sempat bermukim di tanah suci menggiring Ahmad Dahlan akrab dengan para imigran Arab. Ia kemudian tergabung di organisasi Jamiat Khair, perkumpulan orang-orang Arab yang menetap di Indonesia. Ahmad Dahlan juga sempat bergabung ke organisasi Boedi Oetomo sejak 1909.

Tergabungnya Ahmad Dahlan ke Boedi Oetomo berpengaruh ke proses pendirian Muhammadiyah. Dalam buku Warisan intelektual K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah (1990), Abdul Munir Mulkhan menulis, afiliasi Ahmad Dahlan dengan Boedi Oetomo membantu kelancaran penerbitan izin pendirian Muhammadiyah dari pemerintah Hindia Belanda pada 1912.

Muhammadiyah & Gerakan Pendidikan Ahmad Dahlan

Ahmad Dahlan punya perhatian khusus pada bidang pendidikan. Ia beranggapan pendidikan dapat melepaskan Bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Konfrontasi senjata bukanlah tindakan yang dipilih Ahmad Dahlan untuk melawan kolonialisme Belanda.

Hal itu sesuai dengan prinsip hidup Ahmad Dahlan. Ia menganjurkan kepada para pengikutnya agar selalu mengambil kebajikan dan meninggalkan kebatilan (al-muhafadzah ala al-qadim as-shaaih wa al-akhdzu bi al-jadiid al-ashlah) di segala tindak-tanduk.

Raihan Febriansyah dkk. melalui terbitan Muhammadiyah: 100 Tahun Menyinari Negeri (2013) mengisahkan, sebelum mendirikan Muhammadiyah, Ahmad Dahlan sudah berambisi memugar tatanan pendidikan bangsa.

Tekadnya mantap. Ia rombak ruang tamu rumahnya dan mengalihfungsikannya menjadi ruang kelas. Kemudian rumahnya disulap menjadi sekolahan. Lantas dirintislah Madrasah Ibtidaiah Diniyah Islamiyah pada 1 Desember 1911, yang menjadi cikal bakal berdirinya Muhammadiyah.

Haluan pendidikan MI Diniyah Islamiyah cenderung modern. Ilmu-ilmu pokok (agama dan umum) diajarkan dengan porsi yang sama. Ini yang membedakan sekolah milik Muhammadiyah dengan mayoritas lembaga pesantren tradisional pada dekade kedua abad 20.

Setelah Muhammadiyah berdiri, Ahmad Dahlan menginisiasi pendirian banyak lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan organisasinya. A. Syafi'i Maari di bukunya yang berjudul Peta-Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (1994) menulis beberapa lembaga pendidikan di bawah Muhammadiyah yang dibangun pada era Ahmad Dahlan, antara lain:

1. Kweekschool Muhammadiyah, Yogyakarta.

2. Mu’alimin Muhammadiyah, Solo dan Yogyakarta.

3. Mu’aliamat Muhammadiyah , Yogyakarta.

4. Zu’ama/Za’imat, Yogyakarta.

5. Kulliyah Muballigin, Madang, Panjang.

6. Tabligh School, Yogyakarta.

7. HIK Muhammadiyah, Yogyakarta.

8. Dan lain sebagainya.

Ahmad Dahlan mengembuskan napas terakhirnya pada 23 Februari 1923 di usia 55 tahun. Salah satu amanahnya yang paling sohor, dinukil dari karya Abdul Mu'thi (2015), adalah "Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan cari hidup di Muhammadiyah."

Baca juga artikel terkait EDUKASI DAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Abi Mu'ammar Dzikri

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Addi M Idhom