tirto.id - Bila Billie Eilish diminta untuk mendeskripsikan diri dan pengalamannya pada 2020, mungkin dia punya sederet jawaban dengan kata-kata positif penuh syukur. Meski keadaan sedang tidak baik-baik saja gara-gara COVID-19, banyak hal baik diraihnya tahun ini.
Pada Januari sebelum pandemi COVID-19 merebak, Billie mendapat lima penghargaan Grammy untuk kategori penyanyi pendatang baru terbaik, album terbaik untuk When We Fall Asleep Where Do We Go, album pop vokal terbaik, lagu terbaik, dan rekaman terbaik untuk Bad Guy.
Kemudian, pada Februari, Billie merilis lagu No Time to Die yang merupakan lagu tema film ke-25 James Bond. Billie menciptakan lagu itu bersama sang kakak Finneas O'Connell. Film James Bond yang juga berjudul No Time to Die itu dijadwalkan tayang pada April 2021.
“Dengan perilisan ini, Billie Eilish sekaligus menjadi musisi termuda yang pernah membuat dan membawakan lagu tema James Bond, yaitu pada usia 18 tahun,” tulis CNN Indonesia.
Billie pun dipercaya sebagai duta dari beberapa label busana mewah, seperti Louis Vuitton, Chanel, dan Gucci.
Melihat gaya Billie di muka publik serupa memandang dandanan Virgil Abloh, direktur kreatif label Louis Vuitton Men. Mereka sama-sama gemar mengenakan kaus longgar, setelan hoodie-celana longgar dengan warna neon, aksesori berbentuk rantai, dan sneakers mencolok. Kultur hip hop amat kuat menginspirasi gaya busana mereka.
Abloh yang lahir pada 1982 merasa nyaman dengan gaya busana tersebut karena dia tumbuh dewasa ketika hip hop muncul dan populer di Amerika. Abloh remaja biasa mengisi waktu luangnya dengan bermain skateboard dan mengakrabi seni grafiti—dua hal yang berkelindan dengan kultur hip hop dekade 1980-an hingga 1990-an. Tidak heran jika produk fesyen rancangan Abloh amat kental anasir hip hopnya.
Sementara itu, Billie yang lahir pada 2001 masuk ke industri musik pada 2015. Setahun kemudian, namanya mulai dikenal setelah merilis lagu tunggal Ocean’s Eyes. Lima penghargaan Grammy yang diraihnya tahun ini adalah tengara kegemilangan kariernya.
Billie tidak selalu membawakan lagu cinta. Kebanyakan lagunya berkisah tentang pencarian jati diri dan kegelisahan yang dia rasakan. Albumnya When We All Fall Asleep Where Do We Go berkisah tentang mimpi-mimpi yang pernah dia alami.
Ikon Generasi Z
Kini, tidak terbantahkan, Billie adalah idola generasi Z. Daya tarik Billie bukan hanya musiknya yang asyik, tapi juga gaya hip hop yang khas. Dia berbeda dari penyanyi perempuan idola remaja Amerika yang pernah eksis sebelumnya, mulai dari era Britney Spears, Miley Cyrus, Ariana Grande, bahkan yang tergolong baru seperti Rosalia, Yoko, dan Lizzo.
Dalam dua dekade belakangan, kecenderungan fesyen dan kecantikan seorang idola seakan mentok pada standar tampilan feminin. Hal itu terlihat dari penggunaan gaun yang mengaksentuasi bentuk tubuh, riasan tebal, rambut panjang yang ditata rapi, sepatu hak tinggi, serta perhiasan-perhiasan yang elegan dan glamor. Karena itulah, gaya hip hop Billie adalah kesegaran baru sekaligus antitesis atas standar lawas itu.
Januari lalu, New York Times memuat beberapa pendapat para penggemar Billie soal alasan mereka menyukai sang idola.
“Aku bukan gadis yang feminin. Badanku berisi dan aku suka main skateboard. Buatku, hal yang paling penting adalah merasa nyaman dengan diriku sendiri. Gaya fesyen Billie memotivasiku untuk menjadi nyaman dengan diriku sendiri,” kata Mila Docheva, 14 tahun, fan Billie dari Bulgaria.
Para penggemar menganggap gaya fesyen Billie adalah salah satu bentuk perlawanan. Mereka menolak estetika kenes yang sensual ala idola pop kontemporer seperti Ariana Grande. Bagi Mila, gaya Billie itu provokatif sekaligus protektif.
Karin Ann Trabelssie—17 tahun, fan Billie dari Slovakia, bercerita bahwa dia kerap dirundung dan diremehkan hanya karena dia perempuan. Karin menutupi rasa malunya dengan mengenakan kemeja longgar atau hoodie. Agar tidak mencolok dia selalu memilih warna gelap. Lalu, kemunculan Billie membuat kepercayaandirinya meningkat.
"Dulu, aku mencemaskan tatapan orang-orang,” tutur Karin. “Sekarang, aku menyadari bahwa tatapan mereka tidak selalu berarti buruk.”
Karin pun mulai berani mengenakan busana-busana berwarna mencolok yang disukainya tanpa merasa malu atau takut dihakimi. Hal senada juga diutarakan oleh Giana, 10 tahun, seorang selebgram Amerika. Bagi Giana, Billie adalah anutan bagi mereka yang tengah mencari jati diri.
“Billie tahu bahwa setiap orang bisa memperlihatkan dirinya sendiri tanpa rasa takut,” kata Giana.
Gugatan Billie
Sementara itu, orang-orang dewasa menganggap gaya busana Billie yang cenderung tertutup pastilah tidak sesederhana pilihan fesyen belaka. Melalui komentar-komentar yang sering lewat di media sosial, mereka coba menafsir pesan tersembunyi yang ingin disampaikan Billie.
Seseorang menganggap Billie sedang mencoba mendefinisikan body image-nya sendiri dengan tidak menggunakan jenis busana yang feminin. Seseorang lainnya menyatakan bahwa Billie melakukannya untuk menghindari pelecehan seksual. Tafsir lain yang coba diajukan adalah Billie mencoba membedakan diri dari perempuan feminin yang stereotipikal atau agar tidak dijadikan objek seksual.
Dalam wawancara dengan musisi Pharell Williams untuk V Magazine, Billie mencoba menghargai setiap komentar dan tafsiran macam itu. Tapi, sekali pun bernada positif, Billie menyebut semua komentar itu adalah miskonsepsi. Dia menegaskan bahwa dia memilih suatu gaya busana karena memang menginginkannya dan nyaman dengan itu.
“Caraku berpakaian memang enggak perlu feminin, girly, atau apa pun sebutannya. Aku memakai pakaian longgar atau apa pun yang kuinginkan. [...] Saya selalu mendukung dan mencintai siapa pun, entah perempuan atau pria, yang merasa nyaman dengan tubuhnya sendiri dan menunjukkan apa pun yang mereka inginkan,” kata Billie.
Terkait pilihan fesyen dan komentar orang terhadapnya selama ini, Billie menjawab semua itu dalam sebuah klip video yang diputar di tengah konsernya. Dalam video itu, Billie tampak melepas baju atasan seraya membiarkan dirinya masuk ke dalam air hitam. Bersamaan dengan adegan itu, terdengar gugatan Billie.
“Jika aku memakai apa yang membuatku merasa nyaman, aku dianggap bukan perempuan. Jika kusibakkan lapis-lapis busanaku, kalian bilang aku pelacur.
Walaupun kalian tak pernah melihat tubuhku, kalian akan tetap menghakiminya dan menghakimi pilihanku. Mengapa?
Kalian menilai seseorang berdasar bentuk tubuhnya. Kami memutuskan siapa mereka. Kami memutuskan mereka berharga.”
Jadi, jelaslah bahwa menafsir Billie dan pilihan fesyennya adalah pekerjaan sia-sia dan tidak berfaedah. Segala tafsir atau terkaan atau penilaian itu adalah sisa-sisa mentalitas lama yang rawan jatuh menjadi penghakiman.
Ikon Fesyen Hip Hop
Jadi, berhenti saja menilai Billie Eilish dan cobalah pahami aspirasi dan pandangan hidupnya. Dalam wawancara dengan Guardian, Billie berkata bahwa dia tidak pernah menginginkan kehidupan “normal” jika itu berarti musti menjalani hidup seperti sebagian besar orang seusianya.
“Hal semacam itu terdengar menjengkelkan! Aku merasa cukup baik dengan kehidupan apa adanya dan tidak menginginkan yang lain,” kata Billie.
Billie Eilish Pirate Baird O’Connell lahir dan tumbuh besar di Highlands Park, Los Angeles. Sebelum Billie dikenal sebagai penyanyi, keluarga O’Connel hidup pas-pasan. Orang tuanya bekerja jadi figuran di industri pertelevisian dan perfilman Amerika. Billie dan kakaknya Finneas menempuh pendidikan homeschooling.
Orang tua Billie dan Finneas membebaskan kedua anaknya melakukan apa yang mereka suka. Kebetulan, keduanya suka dengan musik sejak kecil dan terus mereka tekuni sampai sekarang. Kebebasan itulah yang membentuk pandangan hidup Billie.
Penata busana Billie Samantha Burkhart pernah bilang bahwa Bille sangat suka tampil eksentrik. Label busana favorit Billie adalah Off White—digawangi Virgil Abloh—dan Maison Margiela yang sama-sama memiliki desain dramatis.
Sejauh ini, belum ada publikasi yang menerangkan alasan detail Billie dalam memilih hip hop sebagai gaya fesyen. Namun, dia menganggapnya sebagai jenis musik yang terus eksis seiring zaman. Kebetulan pula, Billie dan gaya hip hopnya itu muncul kala industri desain sedang mengalami perubahan orientasi desain di industri fesyen.
Retail fesyen mewah LVMH, misalnya, merekrut Abloh pada 2015 demi mengantisipasi selera pasar yang mulai berubah. LVMH menyadari bahwa generasi Milenial dan Z mulai jenuh dengan desain glamor dan elegan. Mereka kini lebih menyukai desain kasual dan mendobrak kemapanan seperti kultur hip hop.
Gaya fesyen Billie yang kemudian diikuti para fannya adalah salah satu buktinya. Sepanjang tahun lalu, Billie terlihat tampil dengan mengenakan jenama papan atas seperti Louis Vuitton, Chanel, Gucci, Prada, dan Burberry yang seluruh desainnya bernuansa hip hop.
Apakah Billie membuat khalayak kembali menyukai gaya hip hop? Siapa pun boleh memperdebatkan jawabannya. Tapi, tidak bisa dipungkiri bahwa Billie—yang menolak patuh pada mentalitas lama—punya seluruh kriteria untuk jadi ikon fesyen hip hop sekaligus idola generasi Z.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi