tirto.id - Diundangnya Rich Brian, rapper Indonesia yang tengah meniti karier di Amerika Serikat, oleh Presiden Jokowi rupanya berbuntut panjang. Dino Patti Djalal, mantan Duta Besar Indonesia untuk AS, mengungkapkan bahwa keputusan mengundang Rich Brian tidaklah tepat.
“Maaf, walaupun ia mungkin berprestasi, saya sebagai seorang ayah memandang rapper diaspora Rich Bryan BUKAN panutan/tauladan bagi pemuda Indonesia, mengingat tweet-nya yang sering bernada jorok, porno, kasar, dan kadang merendahkan wanita,” tulis Dino lewat akun Twitter-nya.
Dino lalu menambahkan, “Re: kontroversi Rich Brian, masalahnya simple: apakah seorang musisi berprestasi boleh bebas berkata jorok/kotor dalam medsos yang pasti dibaca + ditiru anak-anak kecil yang mengidolakannya? Jawaban saya sebagai orangtua sangat jelas: TIDAK. Jawaban anda? Jangan kehilangan perspektif @Triawan.”
Pernyataan Dino seketika memantik keriuhan warganet. Alih-alih membela, mayoritas justru mengkritik Dino. Danilla Riyadi, musisi yang mengeluarkan album Telisik (2014) dan Lintasan Waktu (2017), misalnya, mengatakan bahwa membimbing anak-anak kecil di media sosial adalah tugas orang tua.
“Tidak harus musisi berprestasi, profesi apapun kalau sudah masuk media sosial harus siap terima dan filter kata-kata yang sembarangan,” tegasnya.
Lepas dari Konteks
Penggunaan kata-kata yang dianggap “jorok” atau “kasar”, merujuk pernyataan Dino, merupakan bentuk ekspresi setiap orang—tak terkecuali musisi. Menanggapi Brian, Dino seperti tak paham konteks dari substansi yang dibicarakannya: budaya hip hop itu sendiri.
Kata-kata “jorok” dan “kasar” mustahil dihindari di media sosial hari ini. Tapi, yang harus digarisbawahi, hal tersebut tidak serta merta membuat seseorang dicap sebagai pembawa pengaruh buruk.
Yang mesti Dino catat, di dunia hip hop, ruang di mana Brian meniti kariernya, penggunaan kata-kata “kasar” dan “jorok” adalah wajar belaka. Ia menjadi wujud ekspresi kemarahan serta penolakan atas segala ketidakadilan yang menimpa kelompok minoritas kulit hitam yang melahirkan hip hop di Amerika Serikat, negeri di mana Dino pernah bertugas sebagai duta besar.
Pakem hip hop pertama kali muncul di Bronx, New York, pada 1973 dan diperkenalkan oleh Kool Herc, seorang DJ Jamaika-Amerika yang saat itu berusia 18 tahun.
Ceritanya, di sebuah acara bertajuk “Back to School,” Kool Herc sedikit berimprovisasi di atas panggung. Menggunakan sepasang turntable, tulis The Telegraph, Kool Herc menambah durasi permainan instrumental sehingga memungkinkan audiens menari dan bergoyang lebih lama. Lalu, di sela-sela itu, Kool Herc mengundang seorang MC (Microphone Controller) untuk mengisi bagian-bagian yang kosong dengan barisan kata berima.
Apa yang dilakukan Kool Herc membuat para penonton tersengat. Mereka menjadi bergairah, antusias, dan liar tak terkendali. Dari sinilah hip hop mulai dirayakan.
Popularitas hip hop kian bersinar saat The Sugar Hill Gang merilis lagu bertajuk “Rapper’s Delight”. Sejak saat itu, hip hop menjelma sebagai subkultur yang digandrungi anak-anak muda—memengaruhi fashion hingga bahasa.
Dunia hip hop di AS terbagi ke dalam dua kutub: East dan West Coast. Wilayah East berpusat di New York dan turut mengenalkan talenta-talenta bernas macam Public Enemy, Beastie Boys, Wu-Tang Clan, Notorious B.I.G, A Tribe Called Quest, hingga Big Daddy Kane. Sedangkan kutub West, mekar di daerah Los Angeles dan sekitarnya, diwakili nama-nama seperti N.W.A., Dr. Dre, Tupac Shakur, Snoop Dogg, hingga Kendrick Lamar.
Di AS, hip hop tak tumbuh di tempat-tempat elite yang biasa didatangi orang-orang dari kelompok kelas menengah ke atas. Sebaliknya, hip hop tumbuh di ruang-ruang terpinggirkan macam Bronx maupun Compton yang acap jadi sarang kriminal, peredaran narkoba, perang antar-gangster, hingga TKP kekerasan polisi yang menyasar orang-orang kulit hitam.
Faktor tersebut kemudian turut membantu terciptanya lirik-lirik penuh umpatan. Contoh terbaik mungkin bisa dilihat lewat lagu milik Wu-Tang Clan berjudul “Shame On a Nigga.” Di lagu ini, mereka menulis, “Shame on a nigga who try to run game on a nigga. I'll fuck your ass up!”. Bila tak cukup, lirik yang termaktub di nomor “Fuck Tha Police” garapan N.W.A. juga dapat dimasukkan dalam referensi. Di sana, mereka berkata dengan lantang:
“Fuck the police comin' straight from the underground
A young nigga got it bad 'cause I'm brown,
And not the other color so police think,
They have the authority to kill a minority”
Kendrick Lamar pernah mengatakan bahwa kendati dipenuhi dengan hal-hal buruk, Compton berperan penting membentuk jalan kariernya hingga jadi seperti sekarang ini.
“Semuanya bergerak cepat. Aku tidak tahu bagaimana harus mencernanya,” jelas Lamar, seperti dilansir Los Angeles Times. “Hal terbaik yang aku lakukan adalah kembali ke Compton, bertemu orang-orang yang tumbuh denganku, serta menceritakan kepada mereka tentang kisah orang-orang yang pernah aku jumpai di seluruh dunia.”
Membentuk Aliansi
Studi Jenell Navarro bertajuk “Word: Hip-Hop, Language, and Indigeneity in the Americas” (PDF, 2015) menyatakan bahwa lirik dan bahasa dalam hip hop berperan sebagai medium perlawanan ketika dunia masih didominasi oleh logika kolonialisme dan rasisme.
Dengan lirik-lirik dalam hip hop yang vulgar, ofensif, dan kasar, publik diingatkan bahwa rasisme bukan ilusi: ia nyata dan menjadi ideologi kelompok-kelompok kulit putih sayap kanan untuk menghapus kebudayaan dan realitas kaum minoritas rasial di AS.
Tak heran, ada hubungan erat antara hip hop dan aktivisme. Momentumnya, sebagaimana yang dilaporkan Rolling Stone, terjadi kala gerakan Black Lives Matters muncul sebagai gerakan sosial untuk menolak kekerasan dan praktik-praktik diskriminasi ras lainnya oleh aparat kepolisian.
Musik dalam gerakan sosial kulit hitam menjadi alat protes dan pernyataan sikap. Para rapper, dari Jay-Z, Kanye West, sampai Kendrick Lamar, beramai-ramai membuat lagu yang menyuarakan kegeraman mereka terhadap fenomena kekerasan aparat terhadap warga kulit hitam.
Jay-Z membuat “The Story of O.J.” yang bertutur tentang kesenjangan sosial—dan ekonomi—yang menimpa orang-orang kulit hitam. Kemudian Kanye West berupaya menggambarkan sikap rasis yang kerap dilakukan orang kulit putih dalam “Black Skinhead.” Sementara di nomor “Alright”, Lamar ingin mengubah citra negatif yang melekat pada Compton.
Dalam ketiga lagu itu, mereka menyelipkan kata-kata kasar dan umpatan supaya pendengar paham bahwa ketidakadilan yang dialami warga kulit hitam adalah nyata.
Dalam studi bertajuk “From Criticism to Political Activism: Hip Hop Music and the Black Lives Matter Movement” (PDF, 2018), Donna Rijkers menjelaskan bahwa hip hop juga berperan sebagai sarana pencarian identitas orang-orang kulit hitam.
Lagu-lagu yang tumbuh bersama gerakan Black Lives Matter memperlihatkan bahwa hip hop tak hanya berbicara tentang seks, pesta, dan narkoba, sebagaimana yang dipahami tak sedikit orang, tetapi dapat pula membuka kembali dialog tentang representasi.
Untuk itulah hip hop tetap tampil apa adanya: frontal dan vulgar—tak ada yang ditutup-tutupi dari situ.
Editor: Windu Jusuf