tirto.id - Bank Indonesia (BI) memutuskan menaikkan suku bunga acuan BI Rate di level 6,25 persen. Selain itu, bank sentral juga menaikkan suku bunga deposit facility menjadi sebesar 5,5 persen dan suku bunga lending facility di 7 persen.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebut bahwa kenaikan BI Rate menjadi 6,25 persen memang didorong untuk meredam pelemahan nilai tukar rupiah dalam jangka pendek. Namun, kenaikan tersebut memiliki efek domino ke masyarakat.
Menurut dia, efek dari kenaikan suku bunga acuan membuat masyarakat makin terbebani karena pembelian rumah dan kendaraan bermotor sebagian besar pakai fasilitas kredit. Terlebih, kenaikan tersebut juga membuat kredit konsumsi lainnya mengalami pelambatan.
"Bunga di Indonesia sudah tinggi ditambah naiknya bunga acuan BI makin tinggi lagi. Pendapatan masyarakat yang dialokasikan untuk bayar cicilan kredit bisa makin besar porsinya dan mengurangi alokasi pembelian barang lainnya," kata Bhima saat dihubungi, Kamis (25/4/2024).
Secara terpisah, Analis Kebijakan Ekonomi APINDO, Ajib Hamdani, menyampaikan dengan kebijakan moneter yang cukup agresif untuk menaikan BI Rate, setidaknya ada tiga hal yang akan menjadi tantangan.
Pertama, kebijakan perbankan yang cenderung akan menaikkan suku bunga kredit, sehingga di sektor usaha akan mengalami kenaikan cost of fund. Hal ini akan mendorong kenaikan Harga Pokok Penjualan (HPP) atas produksi.
"Inilah hal pertama yang perlu dimitigasi, yaitu timbulnya inflasi karena kenaikan harga pokok produksi atau cost push inflation," kata Ajib.
Kemudian, hal kedua yang menjadi tantangan adalah pelemahan daya beli masyarakat. Dengan semakin sedikitnya likuiditas dan potensi kenaikan harga barang, maka daya beli masyarakat akan mengalami tekanan.
Dalam hal ini, pemerintah juga mempunyai ruang fiskal yang relatif terbatas untuk menopang daya beli masyarakat dengan skema bantuan sosial.
Tantangan ketiga adalah pelambatan ekonomi. Tren kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik pasca pandemi, karena bisa di atas 5 persen. Tetapi, di sisi lain, pertumbuhan ekonomi ini sedang menghadapi masalah, yaitu tren yang menurun.
"Ketika pemerintah membuat kebijakan moneter dengan menaikkan tingkat suku bunga acuan, semakin tidak mudah mencapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan," ucap dia.
Dengan adanya risiko tersebut, pemerintah perlu membuat program dan kebijakan yang komprehensif dan berorientasi jangka panjang. Untuk mengendalikan inflasi dan bisa tetap dalam kisaran 2,5 plus minus 1 persen.
"Pemerintah perlu membuat ekosistem bisnis yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah, dengan melibatkan semua stakeholder ekonomi yang ada. Termasuk untuk sektor pertanian, perkebunan, maritim, energi dan lainnya," kata dia.
Penulis: Faesal Mubarok
Editor: Anggun P Situmorang