Menuju konten utama

Berkejaran dengan Masa Kedaluwarsa Vaksin COVID-19

Masa simpan vaksin COVID-19 terhitung pendek. Ini jadi alasan lain mengapa program vaksinasi harus lekas.

Berkejaran dengan Masa Kedaluwarsa Vaksin COVID-19
Petugas medis menunjukkan vaksin COVID-19 di Mataram, NTB, Rabu (17/3/2021). ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/aww.

tirto.id - Vaksin COVID-19 memiliki masa simpan yang cenderung lebih pendek. Oleh karena itu pemerintah harus lekas sebelum masa simpan vaksin habis atau kedaluwarsa.

Sebanyak 1,2 juta dosis vaksin CoronaVac dari Sinovac yang datang pada Desember 2020 dan mulai disuntikkan pada pertengahan Januari lalu akan habis masa simpannya pada akhir Maret 2021, kata Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, Selasa (16/3/2021). Sementara 1,8 juta dosis yang dikirim pada Januari habis pada Mei.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR RI, Senin (15/3/2021), mengatakan di luar Papua, vaksin tersebut “semuanya sudah terpakai.” “Kami masih cek di Papua karena saat pertama kami kirimnya ke 34 provinsi. Kami konfirmasi lagi daerah Papua, tapi di luar Papua semuanya sudah terpakai.”

Sehari kemudian Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito memastikan vaksin “telah habis digunakan.” Ia disuntikkan dalam vaksinasi tahap pertama yang menyasar tenaga kesehatan dan petugas layanan publik yang jumlahnya 1,5 juta. Karena satu orang mendapatkan dua dosis, maka memang totalnya sudah sesuai dengan stok.

Selain CoronaVac, vaksin COVID-19 AstraZeneca yang baru datang di Indonesia sebanyak 1,1 juta dosis juga memiliki masa simpan yang cukup pendek, yakni akhir Mei 2021. Menkes Budi mengatakan vaksin ini critical karena masih menunggu rekomendasi dan arahan dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) untuk bisa didistribusikan dan digunakan. Semakin lama rekomendasi keluar, maka semakin singkat pula waktu distribusi dan penyuntikan.

“Kenapa pemerintah menunda dulu pendistribusian AstraZeneca? Ini lebih karena kehati-hatian,” Siti Nadia Tarmizi saat memberikan keterangan pers melalui daring, Selasa. BPOM kata dia akan mengkaji produk dan akan menentukan sasaran pengguna vaksin tersebut.

Sebelumnya dilaporkan di beberapa negara vaksin ini berefek membekukan darah.

Namun demikian, Nadia optimistis vaksin AstraZeneca akan selesai disuntikkan sebelum masa simpan berakhir. Diperkirakan dalam dua sampai tiga pekan ke depan semua proses dari mulai rekomendasi BPOM, quality control, pengepakan, hingga distribusi akan selesai.

“Kami cukup yakin bahwa akan habis bahkan sebelum masa simpannya di bulan Mei itu berakhir karena kemampuan penyuntikan kita saat ini sudah 300 ribu lebih per hari. Kita bikin 200 ribu saja maka akan selesai dalam lima hari,” ujarnya.

Berdasarkan data per 15 Maret 2021, dari 181.554.465 target vaksinasi--syarat minimal untuk mencapai kekebalan kelompok--sudah ada 4.116.862 orang yang menerima vaksin dosis pertama, bertambah 146.738 dari dari sebelumnya. Kemudian yang menerima dosis kedua 1.572.786, meningkat 112.564 dibanding hari sebelumnya. Jika ditotal, cakupan vaksin dalam sehari sebanyak 259.302.

Bila memang tak berjalan sesuai rencana, Nadia memastikan vaksin-vaksin tersebut “tidak akan kita gunakan lagi.”

Ahli biologi molekuler Indonesia di John Curtin School of Medical Research Australian National University Ines Atmosukarto menjelaskan estimasi masa simpan vaksin tidak bisa dipukul rata. Karena semua vaksin COVID-19 adalah produk baru, maka pengetahuan tentangnya masih sangat terbatas dan risetnya terus berjalan.

“Karena ini masa pandemi dan produk diberi edar di bawah naungan EUA, maka umumnya kedaluwarsa ditetapkan 6 bulan. Tetapi biasanya bisa diperpanjang kalau produsen menunjukkan data stabilitas,” kata Ines kepada reporter Tirto, Selasa.

Ines yang saat ini mengepalai Lipotek, sebuah rintisan usaha peneliti tentang obat dan vaksin yang berbasis di Australia, menjelaskan pengetahuan tentang stabilitas vaksin penting sebab ia terkait dengan khasiat. “Kalau misalnya terjadi degradasi, maka vaksin tidak akan sama bekerjanya.”

Uji stabilitas produk sendiri dilakukan oleh BPOM. Mereka juga yang bakal menentukan berapa lama vaksin disimpan dan bisa digunakan.

Epidemiolog Indonesia di Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan selain karena faktor masa simpan, percepatan vaksinasi memang perlu dilakukan. “Vaksinasi memang harus dipercepat karena ada strain baru dan akan terbatasnya masa tahan dari imunitas yang terbentuk yang mungkin maksimal satu tahun. Artinya, kalau lebih dari satu tahun, itu akan harus ada booster sehingga ada upaya yang lebih besar,” kata Dicky kepada reporter Tirto.

Percepatan dapat dilakukan dengan memastikan suplai, distribusi, dan operasional berjalan baik. Dari sisi operasional, pemerintah dapat meningkatkan jumlah sumber daya manusia dan lokasi vaksinasi dengan melibatkan swasta, katanya.

Baca juga artikel terkait VAKSIN COVID-19 atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino