Menuju konten utama
Sejarah Perusahaan

Berkat Om Liem, Kita Semua jadi Pelahap Indomie

Indofood bukan yang pertama membangun industri mie instan, tapi belakangan jadi rajanya.

Ilustrasi Indomie. FOTO/Istimewa

tirto.id - Meski Indofood sudah jadi raksasa penghasil mie instan, namun Liem Sioe Liong, pemiliknya, bukan pelopor yang merintis industri ini dari awal. Merek Indomie bukan dibangun Liem. Begitu juga merek lainnya yang sama-sama terkenal, Supermie.

Menurut majalah Informasi volume 14 Masalah 167-172 (1994), pada April 1968, PT Lima Satu Sankyu didirikan sebagai perusahaan patungan antara Sjarif Adil Sagala dan Eka Widjaya Moeis dengan Sankyu Shokushin Kabushiki Kaisha (Jepang). Inilah perusahaan yang memproduksi Supermie. Tepungnya, juga bantuan teknisnya, datang dari Negeri Sakura.

Pada 1977, perusahaan itu berganti nama menjadi PT Lima Satu Sankyu Indonesia. Setelah berstatus Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada 1989 dan diambil alih Indofood Group, ia berubah nama lagi menjadi PT Lambang Insan Makmur dengan 100% saham dimiliki PT Indofood International Corporation.

Sementara itu, perusahaan yang semula memproduksi Indomie punya kisah yang agak berbeda. Pada April 1970, Sanmaru Food Manufacturing didirikan Djajadi Djaja, Wahyu Tjuandi, Ulong Senjaya, dan Pandi Kusuma. Pabrik mereka baru beroperasi pada 1972 dan menghasilkan produk bernama Indomie, yang kelak menjadi legenda. Indomie merupakan singkatan dari "Indonesia mie."

Djajadi Djaja Chow Ming Hua adalah pengusaha keturunan Cina asal Medan. Dia mulai berbisnis sejak 1959. Pada mulanya, ia bersama kawan-kawannya mendirikan firma yang bergerak di bidang penyaluran barang.

“Bermula tahun 1964, saat itu sejumlah anak muda lulusan SMA di Medan bersepakat mendirikan perusahaan kecil yang diberi nama Firma Djangkar Djati (belakangan namanya diganti Wicaksana Over- seas International),” tulis buku Kontribusi Dunia Bisnis Menyambut Lima Puluh Tahun Indonesia Merdeka (1995).

Menurut catatan majalah Warta Ekonomi (1994: 66), “Firma ini dipercaya oleh British American Tobacco (BAT) sebagai distributor perusahaan rokok multinasional itu.” Begitulah bisnis Djajadi dan kawan-kawan ketika muda sebelum Indomie mulai diproduksi pada 1972.

Dalam hal penyebutan merek, baik Indomie maupun Supermie bernasib sama seperti Honda. Lidah orang Indonesia tak biasa menyebut mie instan. Apapun mereknya, mereka akan sebut "Supermie" atau "Indomie".

Om Liem Si Raja Gandum

Liem Sioe Liong baru terjun ke industri mie instan belakangan. Ketika Lima Satu Sankyu merintis Supermie dan Sunmaru merintis Indomie, Liem masih sibuk menginvestasikan duitnya di pabrik pengolahan tepung gandum—yang merupakan bahan dasar mie instan—bernama Bogasari. Liem, yang punya nama Indonesia Sudono Salim dan akrab dipanggil Om Liem itu, akhirnya mendirikan PT Sarimi Asli Jaya yang memproduksi mie instan pada 1977.

“Produknya diberi nama Sarimi, yang berarti inti sari mie,” tulis Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group: Pilar Bisnis Soeharto (2016: 301).

Ketika Sarimi mulai merambah pasar pada akhir 1970-an, industri mie instan lokal baru dirintis dan Indonesia sedang mengalami krisis beras. Ada pemikiran di kalangan penguasa untuk menggantikan beras dengan tepung gandum. Stok beras di dalam negeri dicukupi dengan cara impor. Begitu juga tepung, sama-sama diimpor.

“Kami didorong untuk mulai melancarkan kampanye iklan di televisi dan bioskop, menonjolkan kelebihan mi dan roti kepada masyarakat,” tulis Piet Yap dalam memoarnya, My Grains of My Life (2010: 64), seperti dikutip Richard Borsuk dan Nancy Chng (hlm. 301).

Menurut Borsuk dan Chng, Liem hendak memproduksi sendiri mie instan dalam jumlah besar dan melemparnya ke pasar. Namun, membaiknya stok beras berkat pestisida dan pupuk membuat produksi mie menjadi terlalu banyak. Itu juga menyebabkan langkah Liem kian mustahil. Padahal, taipan kelahiran Fujian itu sudah menginvestasikan uang untuk membangun sarana produksi dari Jepang dan tak mungkin dibatalkan.

Liem kemudian mencoba mendekati Djajadi. Ia berharap agar Indomie mau bermitra dan memakai sarana produksi milik Liem. Menjadi pesaing Liem di masa Orde Baru bukan hal mudah. Semua tahu, Liem adalah orang dekat Soeharto sejak presiden ke-2 itu masih berpangkat kolonel. Liem juga punya bank yang cukup kuat di Indonesia, bernama Bank Central Asia (hlm. 302).

src="//mmc.tirto.id/image/2018/02/10/mie-instant-indonesia--mild-01_ratio-9x16.jpg" width="859" height="1527" alt="infografik mie instan" /

Awalnya Djajadi enggan. Namun belakangan, ia merasa tak punya pilihan lagi setelah Liem berani menginvestasikan US$10 juta untuk memasarkan merek barunya dengan harga dibawah Indomie. Usaha patungan pun diadakan dibawah bendera PT Indofood Interna pada 1984. Sosok yang menjadi CEO masih terhitung orang dekat Djajadi, Hendy Rusli. Pembagian sahamnya, Liem memegang 42,5 persen dan sisanya sebesar 57,5 persen dikuasai Djajadi.

Merek-merek mie instan terkenal akhirnya dikuasai Liem dalam kurun waktu kurang dari dua dekade. Produk-produk mie instan yang dimiliki Salim Group tak hanya menyasar pasar dalam negeri, tapi juga luar negeri. Indofood punya pabrik di benua Afrika dan Eropa.

Liem bukan tipikal pengusaha industri yang membangun merek legendaris dari bawah. Dia lebih terkenal sebagai pengusaha pedagang dan investor kelas kakap. Di luar lini mie instan, dalam lini distributor mobil, Liem mengambil alih Indomobil dari Atang Latief, yang sedang butuh uang karena kasinonya ditutup. Di perusahaan yang diambil alih itu, Soebronto Laras duduk sebagai pimpinan.

“MoU pada waktu itu menyertakan satu persyaratan yaitu, saya harus kembali lagi menjadi nahkoda di Indomobil,” aku Soebronto Laras dalam bukunya, Soebronto Laras, Meretas Dunia Automotif Indonesia (2005: 334)

Belakangan, produk-produk mie instan yang dikuasai Salim Group punya saingan bernama Mie Sedap—dari pabrikan Group Wings—yang muncul di pasaran pada era 2000-an. Tentu saja, legenda lawas yang sudah jadi kata ganti untuk menyebut mie instan sulit dilawan. Mie instan milik Salim Group terus mengembangkan rasa dan berusaha tampil menarik lewat produknya.

Mie instan berbagai merek, di beberapa kota yang banyak mahasiswa macam Yogyakarta, kerap dijual dalam bentuk makanan cepat saji di warung yang disebut "burjo". Dulunya, warung-warung itu menjual bubur kacang ijo (burjo). Kini sulit menemukan burjo, lebih mudah menemukan berdus-dus Indomie di sana.

Baca juga artikel terkait MIE INSTAN atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Marketing
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan