tirto.id - Selepas lembar terakhir almanak 1999 dirobek, Fuji Research Centre mengadakan survei: apa penemuan terbaik di Jepang selama abad 20 ini. Yang jadi juara amat mengejutkan: mi instan.
"Mi instan benar-benar melambangkan 'made in Japan'. Makanan ini tidak hanya makanan nasional, tapi merupakan makanan global," kata Fuji.
Karenanya, tidak hanya warga Jepang, warga dunia berutang besar pada Momofuku Ando, pendiri Nissin Foods sekaligus pencipta mi instan yang sekarang kita kenal.
Berawal Dari Tempura
Alkisah, setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, segala bahan pokok menjadi mahal. Terutama bahan makanan. Beras langka. Ramen susah dicari. Di saat seperti itu, Menteri Kesehatan Jepang malah menyarankan warganya untuk makan roti, yang tentu saja gandumnya dipasok dari Amerika Serikat. Hal ini membuat Momofuku Ando bingung.
"Masyarakat Jepang lebih sering makan mi, tapi kenapa kalian lebih merekomendasikan makan roti?"
Menteri Kesehatan bilang, alasannya sederhana. Sebab perusahaan mi yang dipunyai Jepang masih amat kecil dan belum bisa memasok kebutuhan masyarakat. Ando lumayan tersentil dengan komentar sang Menteri. Suatu malam selepas pukul 12, Ando melihat sebaris antrean panjang. Mereka adalah orang-orang yang rela menunggu lama di pasar gelap, untuk mendapatkan semangkuk ramen hangat yang baru dibuat. Dari pengalaman getir itu, Ando mencoba membuat ramen yang mudah didapat dan harganya murah sehingga bisa disantap oleh siapapun. Terutama bagi mereka yang dompetnya tinggal berisi angin.
"Kedamaian dunia akan tercapai kalau semua orang punya makanan," kata Ando kala itu.
Tapi ada satu masalah. Ramen adalah makanan yang tak bisa tahan lama. Ini adalah pekerjaan rumahnya. Berbulan-bulan dia habiskan hanya mencari cara bagaimana ramen bisa tahan lama.
Suatu hari, Ando melihat istrinya sedang menggoreng tempura. Eureka! Itu caranya. Ando menggoreng mi selama beberapa detik, dikeringkan, lalu dikemas. Ando, yang merupakan pendiri Nissin Foods, akhirnya menjual mi instan pertamanya pada 1958.
Rasanya kaldu ayam, diberi nama Chikin Ramen. Meski pada awalnya sempat dimasukkan sebagai makanan mewah --karena harganya lebih mahal ketimbang mi atau ramen mentah yang ada di pasaran-- pada akhirnya mi instan jadi makanan yang merakyat. Hal ini terjadi karena harga gandum yang makin murah dan tingkat ekonomi warga Jepang yang membaik.
Tapi kalau kamu mengira itu adalah puncak inovasi Ando, maka kamu salah.
Inovasi Terbesar Ando
Pada 1970, Ando, pria bertubuh kecil dengan kacamata yang kebesaran itu, pergi ke Amerika Serikat untuk mengurus ekspor mi instan ke negara Paman Sam itu. Di sana, Ando melihat orang jarang makan menggunakan mangkok. Alih-alih, warga Amerika memakan mi dengan cara mematahkannya jadi dua, ditaruh di gelas, lalu diseduh dengan air panas. Selain itu, sumpit nyaris tak pernah digunakan selain oleh warga Asia. Sebagian besar orang di AS makan mi dengan garpu.
Itulah yang kemudian jadi cikal bakal inovasi terbesar Ando: noodle cup. Alias mi dalam gelas. Produk ini mulai dijual Nissin pada 1971.
Secara konsep dan praktik, mi gelas jauh lebih praktis ketimbang mi instan. Jika mi instan perlu direbus, mi gelas hanya perlu diseduh air panas. Ini artinya, konsumen tak perlu menyediakan kompor atau panci untuk memasak. Cukup sediakan air panas, bahkan air termos pun bisa. Secara ongkos produksi, mi gelas lebih murah ketimbang mi instan karena ukuran mi-nya lebih kecil. Harga jualnya jadi lebih murah. Produk ini membuat Nissin jadi perusahaan yang lebih besar lagi.
Tahun ini, mi gelas memasuki umur 45 tahun. Sebuah umur yang panjang untuk sebuah produk. Tak hanya sekadar bertahan, mi instan dan mi instan gelas berhasil jadi bagian penting panganan umat manusia. Menurut The World Instan Noodles Association, ada sekitar 97 miliar bungkus mi instan yang terjual pada 2015. Penduduk bumi pada 2015 berjumlah sekitar 7,2 miliar. Ini artinya, dalam hitungan kasar, setiap orang bumi mengonsumsi 13 bungkus mi instan setiap tahunnya. Walau tentu tak semua orang mengonsumsi makanan yang kerap dituding tak sehat ini.
Meski demikian, tak bisa dipungkiri kalau mi instan membantu banyak sekali manusia. Para mahasiswa yang sedang menunggu kiriman uang dari orang tua. Pekerja yang kantongnya cekak di akhir bulan. Atau para pecandu mi instan yang merasa makanan ini lebih enak disantap dengan nasi. Saat ada bencana alam, mi instan juga jadi logistik andalan yang dikirim untuk para korban.
Pasar terbesar mi instan adalah Tiongkok. Pada 2015, mereka mengonsumsi 40 miliar bungkus. Diikuti oleh Indonesia, yang mengonsumsi 13,2 miliar bungkus. Saat ini mi gelas sudah beredar di 80 negara.
Meski tampak sebagai produk sederhana, mi instan tetap melakukan adaptasi agar bisa diterima di seluruh dunia. Di Jepang dan banyak negara Asia lain, menyeruput mi dengan nikmat hingga mengeluarkan bunyi sluuuurrpppp yang panjang, adalah bentuk penghormatan. Mi panjang juga mengandung falsafah keberuntungan dan umur yang panjang. Tapi di tanah Amerika, suara sruput itu dianggap tidak sopan. Karena itu, bentuk mi-nya lebih pendek.
Di Indonesia, yang masyarakatnya menggemari rasa pedas, produk mi instan punya saus cabai atau bubuk cabai ke dalam kemasan. Di Eropa, mayoritas orang menghindari rasa pedas. Karena itu, Indomie di sana tak ada saus pedas atau bubuk cabai.
Mi gelas juga berubah sesuai selera pasar. Di Indonesia, awalnya mi gelas hanya muncul dalam bentuk mi kuah. Namun ternyata pasar menghendaki adanya mi goreng. Maka dibuatlah produk mi goreng dalam gelas. Walau sedikit merepotkan karena harus membuang kuahnya.
Pada 1999, Ando menunjuk Koki Momofuku, anak keduanya, sebagai Presiden Perusahaan. Untuk mengisi hari tua, Ando membuka museum mi instan yang bernama Momofuku Ando Instant Ramen Museum di Osaka. Orang Jepang yang menganggap serius nyaris dalam semua hal, tentu saja menggemari museum ini.
Setiap tahun, museum ini dikunjungi oleh sekitar satu juta wisatawan. Di tangan Koki, Nissin kembali berinovasi. Pada 2005, mereka mengeluarkan mi instan yang dikemas dalam wadah kedap udara. Dikemas khusus untuk bekal Soichi Noguchi, astronot Jepang yang melanglang ke luar angkasa.
"Aku sangat bahagia, impianku mi buatanku bisa sampai ke luar angkasa akhirnya tercapai," kata Ando.
Dua tahun kemudian, Ando meninggal dunia karena gagal jantung. Umurnya sudah 96 kala itu. Meski dia sudah meninggal, selamanya dunia akan berutang pada penemuannya. Entah para mahasiswa, pekerja, atau pecandu mi instan seperti Hans Lienesch.
Hans punya julukan sebagai The Ramen Eater. Dia sudah mencoba setidaknya 1.700 merek mi instan. Setiap tahun dia rutin menulis senarai merek mi instan terbaik. Merek Indomie rutin menjadi yang terbaik bagi lidah Hans. Dia sebagai pecandu mi, juga dikenal menambahkan aneka bahan sebagai topping. Membawa mi instan ke ranah yang lebih jauh.
Mi instan juga berkembang lebih besar. Kini ada ribuan merek dan rasa mi instan. Mulai yang paling klasik –kaldu ayam—baso sapi, kare, laksa, hingga yang modern seperti mi instan dengan tambahan gojuchang. Meski kerap dituduh sebagai makanan tak sehat, toh orang-orang masih cinta mi instan. Dan, entah ini kelakar belaka atau memang serius, suatu saat Ando yang berumur menjelang 90 tahun, ditanya apa resep panjang umurnya.
“Menyantap mi instan setiap hari.”
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Suhendra