Menuju konten utama

Berbagai Kecemasan tentang Vaksinasi Mandiri

Swasta bisa menggelar vaksinasi COVID-19 mandiri. Berbagai kekhawatiran pun muncul.

Berbagai Kecemasan tentang Vaksinasi Mandiri
Petugas menyuntikan vaksin COVID-19 kepada pedagang di Pasar Tanah Abang Blok A, Jakarta, Rabu (17/2/2021). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 memungkinkan penyelenggaraan vaksinasi mandiri COVID-19 melalui penunjukan langsung badan usaha atau perusahaan. Skema itu menimbulkan kecemasan karena dinilai sarat ketidakadilan.

Desakan untuk membatalkan vaksinasi mandiri ini pun muncul dari Koalisi Vaksin untuk Semua yang diwakili oleh tiga orang ahli kesehatan, yakni Irma Hidayana, Sulfikar Amir, dan Pandu Riono. Mereka membuat petisi di laman Change.org pada 16 Februari 2021 dan sudah mendapatkan 165 tanda tangan hingga Jumat (19/2/2021) pukul 14.00 WIB.

Dalam petisi mereka menyatakan rencana vaksinasi mandiri akan menyebabkan ketimpangan yang tinggi dan justru dapat memperpanjang pandemi. Vaksinasi yang dilakukan pihak swasta dinilai hanya menguntungkan dan mengutamakan masyarakat tingkat ekonomi menengah ke atas di perkotaan saja.

Dengan suplai vaksin yang masih sangat terbatas, masyarakat yang berada di daerah dan ekonomi menengah ke bawah--yang justru berisiko penularan yang lebih tinggi--bisa tidak diprioritaskan.

Herd immunity tidak bakal tercapai. Lha wong yang divaksin pengusaha dan keluarganya dan karyawannya. Ini bukan kelompok rentan atau prioritas,” kata Irma Hidayana kepada reporter Tirto, Jumat (19/2/2020).

Kecemasan lain adalah soal potensi penyelewengan. Dalam Perpres 14/2021 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 9 Februari 2021 lalu itu diatur bahwa badan usaha atau perusahaan penyedia vaksin ditunjuk langsung oleh Menteri Kesehatan. Mekanisme seperti ini “rentan konflik kepentingan dan korupsi,” kata Irma, doktor bidang kesehatan masyarakat dari Universitas Columbia, Amerika Serikat.

Klaim Pemerintah dan Pengusaha

Juru Bicara Vaksin COVID-19 Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menjelaskan vaksinasi mandiri atau “vaksinasi gotong-royong” akan menggunakan vaksin selain yang digunakan pemerintah. “Berarti yang di luar produksinya Biofarma, di luar Sinovac, AstraZeneca, [dan] Novavax Pfizer,” kata Nadia dalam webinar yang diadakan oleh Change.org, Kamis (18/2/2021).

Dengan demikian ia mengklaim program ini tak memengaruhi kuota vaksin yang telah dialokasikan pemerintah sebanyak 181,5 juta.

Vaksin tersebut akan dilakukan oleh importir yang sama dengan vaksin milik pemerintah, yakni PT Biofarma. Hal ini kata Nadia sesuai dengan masukan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menghindari penyelewengan.

Dalam pelaksanaannya, Kemenkes akan mengatur beberapa hal. Termasuk ketentuan vaksinasi hanya mencakup perusahaan padat karya dengan maksud mengatasi penularan dan mencegah munculnya klaster perusahaan.

Vaksinasi ini akan dilakukan bersamaan dengan vaksinasi dari pemerintah. Dengan demikian Nadia mengatakan vaksinasi secara umum akan semakin cepat rampung. “Kalau swasta membantu tentunya akan lebih banyak. Tapi saya rasa jumlahnya tidak akan sebesar target pemerintah karena pemerintah 181,5 juta. Kalau swasta paling mungkin tidak lebih dari 2 juta,” kata Nadia.

Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Sarman Simanjorang juga mengklaim vaksinasi mandiri tidak akan mengganggu program vaksinasi gratis. “Tidak akan ada yang namanya menyerobot antrean atau tidak adil,” katanya kepada reporter Tirto.

Dia bilang semestinya yang bertanggung jawab dalam distribusi vaksinasi mandiri adalah Biofarma selaku importir. Sementara untuk pelaksanaan bisa saja melibatkan tenaga kesehatan di RSUD atau klinik perusahaan. Yang jelas, ia meyakini vaksinator berbeda dengan yang ditugaskan pemerintah.

Pengajar sosiologi bencana dari Nanyang Technological University Singapura Sulfikar Amir mengatakan klaim vaksinasi mandiri tidak akan mengganggu vaksinasi pemerintah hanyalah isapan jempol. Urusan vaksinasi bukan hanya soal pengadaan, tetapi juga distribusi dan pelaksanaan. Jika pengadaannya dilakukan melalui BUMN, distribusi vaksin mandiri pasti dengan mendompleng fasilitas milik Biofarma. Pelaksanaan vaksinasi pun dilakukan di rumah sakit pemerintah dan melibatkan vaksinator program pemerintah.

“Pada dasarnya Ini adalah bentuk komersialisasi. Jadi BUMN yang membeli kemudian dia jual ke perusahaan yang mau membeli,” kata Sulfikar melalui sambungan telepon, Jumat.

Sulfikar juga khawatir dengan klaim Kadin yang mengatakan vaksinasi mandiri akan dilakukan pada Maret 2021. Menurutnya itu mustahil dilakukan mengingat proses pemesanan, produksi, hingga pengiriman memerlukan waktu panjang, paling cepat Mei 2021 paket baru bisa dikirim.

"Jadi pertanyaan besarnya [vaksinasi bulan Maret] suplainya dari mana? Dan kita tahu bulan Maret-April ini akan ada suplai vaksin baru untuk vaksinasi gratis, yaitu dari Astra Zeneca," kata Sulfikar.

Pandu Riono yang juga merupakan epidemiolog dari Universitas Indonesia menyebut skema mandiri ini sarat ketidakadilan karena seolah-olah yang memiliki uang dan kuasa bisa mendapatkan vaksin terlebih dulu tanpa antre.

Pada akhirnya penanganan pandemi menjadi tidak objektif. “Objektivitasnya harus luas dan mencakup seluruh rakyat,” kata Pandu kepada reporter Tirto, Jumat.

Baca juga artikel terkait VAKSIN COVID-19 atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi & Mohammad Bernie

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi & Mohammad Bernie
Penulis: Irwan Syambudi & Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino