tirto.id - Presiden Joko Widodo ingin vaksinasi COVID-19 selesai kurang dari satu tahun. Awalnya dia mengatakan mendapatkan informasi dari Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bahwa program bakal rampung 15 bulan. "Tapi masih saya tawar, kurang dari setahun harus selesai," kata Jokowi, Selasa (5/1/2021) kemarin.
Budi Gunadi bilang awalnya dalam kurun waktu 15 bulan mereka berencana merampungkan vaksinasi terhadap 181 juta rakyat. "Apakah bisa dipercepat sehingga bisa selesai dalam waktu 12 bulan? Kami akan berusaha keras," kata Budi mengomentari tantangan Jokowi, Rabu (6/1/2020).
Vaksinasi massal sendiri akan dimulai pertengahan bulan ini. Sebanyak 1,2 juta vaksin Sinovac telah dikirim ke penjuru Indonesia meski belum mengantongi izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Vaksin akan diberikan secara gratis.
Vaksinasi diharapkan dapat membentuk kekebalan kelompok alias herd immunity. Semakin cepat vaksinasi dilakukan, semakin lekas pula itu terbentuk.
Seorang pengacara kondang beralasan vaksinasi bisa dipercepat untuk mencapai tujuan imun karena "ada banyak yang mampu untuk vaksin mandiri." Logikanya, pihak-pihak yang belum mendapatkan jatah dari pemerintah bisa vaksinasi lebih cepat dengan mengeluarkan uang sendiri.
Sebuah rumah sakit misalnya telah membuka pendaftaran vaksinasi mandiri bagi mereka yang mampu bayar. Vaksinasi bakal dilakukan jika diizinkan pemerintah serta dengan "memprioritaskan pasien dari urutan pertama mendaftar hingga terakhir."
Epidemiolog dari Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) Mouhammad Bigwanto mengatakan bisa saja swasta diizinkan terlibat, baik untuk impor atau vaksinasi itu sendiri. Namun vaksin dari mereka "sifatnya optional saja," sebab "semua jenis vaksin dari semua produsen sudah didistribusikan gratis oleh pemerintah," kata Bigwanto kepada reporter Tirto, Selasa.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra PG Talattov juga mendukung usul ini. Toh mengizinkan swasta terlibat tak mengurangi kewajiban pemerintah untuk memberikan vaksin gratis pada masyarakat.
Selain itu, jika swasta diizinkan, akan ada "persaingan usaha sehat" dengan BUMN yang selama ini menguasai vaksin, jelas dia kepada reporter Tirto, Selasa.
Namun pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah punya pandangan lain. Menurutnya masuknya swasta bakal meningkatkan risiko penyelewengan yang ujung-ujungnya adalah komersialisasi vaksin. "Saya khawatirnya dia (swasta) berkoordinasi dengan rumah sakit, apalagi nanti yang mengimpornya adalah pemilik rumah sakit. Ini bahaya nanti. Cari untung. Namanya juga swasta," katanya kepada reporter Tirto, Selasa. "Toh demand-nya tinggi, kan.”
"Nanti ujung-ujungnya masyarakat dipalak. Janganlah. Kalau gratis, ya, gratis saja. Ini kan bukti pemerintah hadir," tambahnya.
Sebetulnya usul swasta dapat impor vaksin telah banyak dibahas pada akhir 2020 lalu. Ketika itu Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan belum akan memberi izin, termasuk untuk tahun 2021. Ia khawatir distribusinya tidak terkontrol, dan vaksin bakal semakin banyak jenisnya, serta dibanderol dengan harga yang berbeda-beda. Hal itu bisa menimbulkan kebingungan.
Dia lalu bilang swasta bakal terlibat "ketika mayoritas penduduk Indonesia sudah divaksin." "Nanti ada kebijakan sendiri di tahun 2022-2023. Ketika mayoritas penduduk Indonesia sudah divaksin, bukan tidak mungkin pelibatan swasta dilebihkan, misalnya bisa mengimpor vaksin sendiri dengan berbagai merek," kata Erick dalam sebuah webinar, Selasa (1/12/2020).
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino