tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menolak perkara dengan pokok permohonan penghapusan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Putusan Perkara Nomor 155/PUU-XXIII/2025 itu dibacakan MK di Jakarta, Senin (29/9/2025), dengan hasil menolak permohonan pemohon atas nama Taufik Umar.
Taufik Umar mengajukan pengujian materiil Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 24/2013.
Taufik mempersoalkan kolom agama dalam KTP dan Kartu Keluarga (KK) yang dianggap mengakibatkan peningkatan risiko keselamatan sehingga merugikan hak konstitusionalnya. MK menilai petitum yang diajukan pemohon tidak konsisten dan tidak memiliki dasar hukum. Permohonan juga dinilai MK tidak jelas atau kabur (obscuur).
Terlebih, pemohon disebut tidak menjelaskan hubungan dan keterkaitan antara menghapus kata "agama dan kepercayaan" dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) pada UU Adminduk dengan pencatatan agama dalam data kependudukan yang dilakukan secara terbuka.
Namun, kemudian dalam petitum, pemohon memohon agar pencatatan data kependudukan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip statistika yang bersifat isian terbuka. Ketiadaan uraian yang cukup menyebabkan MK tidak dapat menilai adanya pertentangan norma yang diuji dengan UUD 1945.
"Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, telah ternyata terdapat ketidaksesuaian antara dalil pemohon dalam posita dengan petitum. Oleh karena itu, tidak terdapat keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan permohonan pemohon adalah tidak jelas atau kabur (obscuur)," demikian bunyi Putusan MK.
Sebelumnya dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar daring pada Rabu (3/9/2025), Teguh Sugiharto yang bertindak sebagai kuasa hukum Taufik Umar menuturkan pemohon atau kliennya pernah menjadi salah satu korban sweeping KTP yang terjadi selama konflik di Kabupaten Poso.
Pemohon mengaku mengetahui banyak orang terluka hanya karena status agama di KTP yang diperiksa ketika terjadi sweeping. Karenanya, tidak ada kesempatan melakukan white lie atau mengelak karena informasi yang tercantum di KTP diyakini kebenarannya untuk membedakan kawan atau lawan ketika tragedi Poso.
Pemohon mengatakan hadirnya kolom agama di KTP dan KK pernah membahayakan keselamatannya di lokasi kerusuhan Poso. Menurutnya, risiko tersebut bisa saja terulang kembali, setidak-tidaknya dapat menimbulkan perlakuan diskriminasi.
Karena itu, dalam petitum, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) UU 23/2006 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang kata agama dan kepercayaan tidak dihapuskan.
Pasal-pasal yang diuji tersebut, menurut pemohon, bertentangan dengan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945. Negara juga tidak melakukan upaya yang cukup bahkan kerap jadi aktor yang secara langsung atau tidak langsung menyebabkan ancaman terhadap hak hidup.
Selain itu, pasal-pasal yang diuji dipandang bertentangan dengan Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi: “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

Sebagai informasi, Teguh Sugiharto sebelumnya juga pernah menjadi kuasa dari Raymond Kamil dan Indra Syahputra sebagai pemohon dalam Perkara Nomor 146/PUU-XXII/2024. Permohonan Raymond dan Indra itu pada pokoknya serupa dengan permohonan Taufik, yakni menginginkan kolom agama di KTP dan KK dihapuskan. MK menolak permohonan tersebut lewat putusan yang dibacakan pada Januari 2025.
MK mempertimbangkan pembatasan kebebasan bagi warga negara, di mana setiap warga negara mesti menyatakan memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Menurut MK, hal tersebut merupakan keniscayaan sebagaimana diharapkan Pancasila dan diamanatkan UUD 1945.
MK berpendapat pemohon ingin warga negara diberi hak untuk tidak memeluk agama atau tidak menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. MK menilai bahwa agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah salah satu unsur penting karakter bangsa sebagaimana ditentukan dan disepakati dalam Pancasila serta UUD 1945. Dengan begitu, MK menolak permohonan pemohon untuk menghapuskan kolom agama di KTP.
Diskriminasi Masih Jamak
Direktur Eksekutif Harmoni Mitra Madania sekaligus pegiat kebebasan beragama, Ahmad Nurcholish, menilai putusan MK kali ini berpotensi memperburuk kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Penghapusan kolom agama di KTP sudah lama diperjuangkan para pegiat KBB, tapi MK dinilai masih melihat persoalan tidak secara mendalam.
"Kolom agama KTP itu pernah menjadi masalah pengalaman kaum minoritas, jadi pengalaman buruk kehidupan mereka," kata Ahmad kepada wartawan Tirto, Rabu (1/10/2025).
Menurut Nurcholish, sudah banyak negara yang tidak lagi memuat identitas agama di KTP mereka. Penghapusan kolom agama di KTP bukan berarti seseorang otomatis tak beragama. Lagi pula, pencatatan agama itu adalah kepentingan administrasi kependudukan semata.
Menurut Nurcholish, MK gagal melihat persoalan diskriminasi yang selama ini masih membayangi kelompok minoritas di Indonesia. MK dinilai selalu berlindung pada sila pertama Pancasila yang tafsirannya kerap kali bias dengan pemahaman kelompok mayoritas.
"Saya kira MK dalam hal ini cenderung bias ideologi agama tertentu. Sila pertama ketuhanan itu seolah menjadikan semua warga itu beragama," ucap Nurcholish.
Nurcholish menilai, kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana diatur dalam UUD 1945, bisa dipahami juga sebagai kebebasan untuk tidak beragama. MK masih terjebak dalam tafsir kelompok mayoritas sehingga menyamaratakan seluruh warga Indonesia untuk beragama.
MK memang sudah melakukan suatu gebrakan progresif ketika mengeluarkan putusan bahwa penghayat kepercayaan dapat mencantumkan aliran kepercayaannya dalam kolom agama di KTP. Putusan itu dikeluarkan MK pada 7 November 2017 setelah mengabulkan gugatan uji materi atas Pasal 62 UU 23/2006 dan Pasal 64 UU 24/2013 yang mewajibkan mengisi kolom agama di KTP.
Namun, menurut Nurcholish, putusan itu pada faktanya di lapangan tidak otomatis menghapuskan tindakan diskriminatif terhadap kelompok minoritas, termasuk para penghayat kepercayaan. Pengalamannya, mereka masih sering kali dipersulit dalam mengurus perihal administrasi di instansi pemerintah karena kolom agama di KTP mereka tidak tercantum satu dari enam agama utama di Indonesia.
"Padahal, beragama dan berkeyakinan tidak pada dokumen administratif, tetapi ada pada keyakinan masing-masing orang," tegas Nurcholish.
Sementara itu, Manajer Advokasi Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Tantowi Anwari, memandang prinsip kebebasan beragama harus memastikan negara sebagai duty bearer (pemangku kewajiban) untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak serta kebebasan setiap orang. Menurutnya, kebebasan beragama atau berkeyakinan berdasar aturan hukum dan hak asasi manusia (HAM) harus dijamin negara.
Jaminan kebebasan beragama ini juga termasuk kebebasan untuk memilih tak beragama. Penolakan MK atas dua permohonan uji materi penghapusan kolom agama di KTP dinilai pelanggaran KBB dan pengurangan penikmatan hak-hak warga pemeluk agama minoritas.
"Diskriminasi mereka alami mulai dari mengakses beasiswa-beasiswa pendidikan [universitas], pekerjaan PNS dan TNI, mendapat akta nikah, dan sebagainya," ucap Thowik, sapaan akrabnya, kepada wartawan Tirto, Rabu (1/10/2025).
Putusan MK yang menolak penghapusan kolom agama di KTP mencerminkan negara dengan sengaja membiarkan praktik diskriminasi tumbuh terus terhadap kelompok minoritas.
Padahal, tak sedikit diskriminasi itu sampai mengancam nyawa, seperti konflik sektarian atas nama agama di Ambon dan Poso tahun 1998-2001. Termasuk, pengurangan hak-hak warga negara yang sering kali menyasar para penghayat kepercayaan.
Thowik mencontohkan pada Desember 2023 lalu, hak menjadi atau berprofesi sebagai TNI belum bisa dinikmati oleh penghayat Masade di Sangihe karena bukan salah satu agama utama. Teranyar pada Maret 2025, ada kasus penghayat kepercayaan yang mendaftar TNI, tapi terpaksa memasukkan identitas nonpenghayat (memilih Hindu saat mendaftar dan memilih Kristen saat pelantikan). Itu terjadi karena sistem pendaftaran mengalami kendala saat diisi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di kolom agama.
"Penghayat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan juga gagal menjadi PNS ketika ketahuan dirinya bukan pemeluk 6 agama yang 'diakui'," ungkap Thowik.
Menagih Peran Negara Jamin Kesetaraan Hak
Ketika perbedaan identitas agama atau kepercayaan menjadi sumber diskriminasi, praktik persekusi, bahkan tindak kekerasan, pemerintah seyogianya menyerap aspirasi dari warga yang paling rentan dan terdampak. Penghapusan kolom agama di KTP, ujar Thowik, berpotensi menekan berbagai praktik diskriminasi yang akut menyasar kelompok minoritas agama atau penghayat kepercayaan.
Lembaga yang mengawasi pelanggaran HAM, Imparsial, dalam laporan tahunan teranyarnya mengungkap setidaknya 13 kasus pelanggaran HAM dalam konteks kebebasan beragama atau berkeyakinan yang terjadi dalam rentang Desember 2024 sampai Juli 2025.
Kasus-kasus ini dihimpun lewat pemantauan berbagai sumber media dan sangat mungkin hanya mewakili sebagian kecil dari realitas di lapangan. Dengan kata lain, angka ini seperti puncak dari “gunung es” yang lebih besar.
Apalagi, pada 2024 sendiri, kasus pelanggaran KBB mencapai ratusan dan semakin memburuk. SETARA Institute mencatat sepanjang tahun lalu, ada sebanyak 260 peristiwa pelanggaran KBB yang terdiri dari 402 tindakan pelanggaran.
Angka itu melesat dari tahun sebelumnya yang berada di kisaran 217 peristiwa dengan 329 tindakan.
Masih dari laporan SETARA Institute, sebanyak 244 tindakan (60,45 persen) dari 402 tindakan yang tercatat selama 2024, pelakunya berasal dari sektor nonnegara, sementara sisanya merupakan aktor negara.
Pelanggaran terbanyak oleh aktor nonnegara berasal dari organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan (49 tindakan), disusul kelompok warga (40 tindakan), warga (28 tindakan), Majelis Ulama Indonesia (MUI), individu, dan tokoh masyarakat.
Peneliti dari Wahid Foundation, Alamsyah M. Dja'far, memandang langkah sebagian warga mengajukan uji materi penghapusan kolom agama di KTP muncul dari pengalaman diskriminasi yang nyata. Menurutnya, inti persoalan bukan terletak pada kolom agama itu sendiri, tetapi pada peran negara dalam menjamin kesetaraan hak.
“Poin dasar dari fenomena pengajuan uji materi untuk menghapus atau meniadakan kolom agama sebenarnya bersumber dari jaminan negara untuk memastikan bahwa warga negara mendapat jaminan keamanan, bebas dari rasa takut, termasuk menjalankan hak beragama berkeyakinan,” ujar Alamsyah kepada wartawan Tirto, Rabu (1/10/2025).

Alamsyah menilai, jika negara benar-benar mampu melindungi warga dari diskriminasi, keberadaan kolom agama tidak akan menjadi masalah besar. Dalam pandangannya, kebijakan tersebut bisa diterima sepanjang tidak digunakan untuk membatasi atau mendiskriminasi mereka yang memiliki keyakinan berbeda, termasuk kelompok penghayat kepercayaan.
Alamsyah mengingatkan bahwa banyak negara lain, termasuk negara mayoritas muslim, sudah tidak mencantumkan kolom agama di kartu identitas. Karena itu, Indonesia perlu memastikan perlindungan terhadap semua warga sesuai prinsip International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang sudah diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.
Keberadaan agama mayoritas tidak boleh menjadi alasan untuk mengurangi hak kelompok lain yang berbeda keyakinan.
Meski uji materi ditolak, Alamsyah memandang langkah hukum warga ke MK penting sebagai bagian dari proses mencari keadilan dan ruang pembelajaran publik. Penyelesaian persoalan diskriminasi membutuhkan langkah menyeluruh, mulai dari reformasi kebijakan publik hingga pendidikan yang menanamkan penghormatan terhadap keberagaman keyakinan.
Negara, tegas Alamsyah, harus hadir secara aktif melindungi semua warga tanpa kecuali.
“Forum-forum semacam ini, termasuk juga sidang-sidang di dalam Mahkamah Konstitusi, harus menjadi semacam edukasi termasuk deliberasi di mana masing-masing pihak yang memiliki pandangan berbeda bisa berdebat, berbagi pandangan, berbagi gagasan yang pada akhirnya ditujukan untuk mencari keadilan dan mengatasi kasus-kasus diskriminasi,” katanya.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id


































