Menuju konten utama

Benarkah Psychosocial Distress Bikin Lebih Rentan Positif COVID-19?

Benarkah "Psychosocial Distress" membuat seseorang menjadi lebih rentan positif COVID-19?

Benarkah Psychosocial Distress Bikin Lebih Rentan Positif COVID-19?
Ilustrasi Psychosocial Distress. FOTO/REUTERS

tirto.id - Masa karantina di rumah selama beberapa bulan terakhir akibat Pandemi COVID-19 telah mengurangi banyak aktivitas, pekerjaan, dan sosialisasi dengan orang-orang.

Imbauan pemerintah untuk mengisolasi diri dan selalu berada di rumah telah berdampak pada banyak hal, di antaranya menambah pengangguran karena banyak perusahaan serta bisnis yang tutup, masalah keuangan pribadi, dan tentu saja ancaman infeksi COVID-19 serta kematian.

Seperti dilansir Medical Daily, semua hal tersebut secara signifikan juga telah meningkatkan tingkat stres bagi banyak orang.

Seorang peneliti dari Amerika Serikat baru-baru ini menerbitkan sebuah karya yang menyatakan bahwa tekanan psikososial meningkatkan kerentanan terhadap virus pernapasan atas seperti Coronavirus jenis baru (SARS-CoV-2).

Peneliti itu adalah Sheldon Cohen, PhD, seorang psikolog sosial dan profesor di Robert E. Doherty Profesor Psikologi di Carnegie Mellon University, di Pittsburgh, PA, yang tidak melakukan penelitian dengan Coronavirus, tetapi menggambarkan temuannya secara paralel.

Dalam makalahnya yang diterbitkan pada 8 Juli di jurnalPerspectives on Psychological Science, Cohen mengutip penelitiannya di masa lalu dalam seluruh penelitian untuk menekankan pendapatnya.

Dia beralasan bahwa korelasi dapat ditarik ke infeksi SARS-CoV-2 dengan menganalisis faktor perilaku dan psikologis yang berpotensi meningkatkan risiko tertular penyakit pernapasan yang serupa.

Perilaku seperti penerapan jarak sosial dan memakai masker telah dikaitkan dengan penurunan risiko infeksi COVID-19 di kalangan masyarakat. Tetapi mungkin ada lebih banyak cara untuk bisa tertular ataupun mencegah infeksi pernapasan.

"Dalam pekerjaan kami, kami sengaja membuat orang terkena virus flu dan influenza dan mempelajari apakah faktor psikologis dan sosial memprediksi seberapa efektif sistem kekebalan dalam menekan infeksi, atau mencegah atau mengurangi keparahan penyakit," ujar Cohen.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Cohen dan timnya mengaku menggunakan desain tantangan virus yang unik di mana peneliti menilai faktor perilaku, sosial, dan psikologis pada orang dewasa yang sehat.

“Kami kemudian mengekspos orang dewasa ini dengan virus flu atau influenza dan kemudian memantau mereka dikarantina selama 5 hingga 6 hari untuk timbulnya penyakit pernapasan," jelas Cohen.

Demi mendukung penelitian, para peneliti merekrut 394 peserta yang sehat dan mengumpulkan data dari kuesioner yang mengukur peristiwa stres, persepsi stres, dan emosi seperti kecemasan dan depresi.

Mereka juga menggunakan indeks stres untuk menghitung tingkat stres secara keseluruhan. Para relawan kemudian diekspos melalui tetes hidung ke lima virus pernapasan: rhinovirus tipe 2, 9 dan 14, virus syncytial pernapasan, dan coronavirus 229E.

Kemudian mereka dikarantina selama enam hari untuk mengamati siapa yang akan tertular infeksi.

Para peneliti mengatakan, sukarelawan yang mendapat skor lebih tinggi pada indeks stres adalah 2,16 kali lebih mungkin terinfeksi flu dibandingkan dengan mereka yang berada di ujung bawah indeks.

Dan dalam penelitian lain, 276 peserta diwawancarai tentang peristiwa kehidupan mereka yang paling traumatis di mana para peneliti menemukan bahwa semakin lama mereka mengalami tekanan interpersonal, pendidikan dan keuangan, semakin tinggi peluang mereka untuk masuk angin.

Cohen dan timnya juga menilai apakah risiko penyakit dapat diprediksi oleh peningkatan tingkat stres, merokok, alkohol, kebiasaan makan dan tidur yang buruk, dalam kombinasi dan sendiri.

Sementara penelitian itu sendiri tidak dapat menjelaskan atau menyimpulkan mengapa stres meningkatkan risiko terkena flu, itu dihipotesiskan bahwa memproduksi terlalu banyak sitokin proinflamasi memicu gejala penyakit, seperti hidung tersumbat dan pilek.

“Kami dengan hati-hati menyarankan bahwa temuan kami dapat memiliki implikasi untuk mengidentifikasi siapa yang menjadi sakit ketika terpapar Coronavirus 2 sindrom pernapasan akut (SARS-CoV-2), virus yang bertanggung jawab untuk penyakit Coronavirus 2019 (COVID-19),” kata para penulis.

Baca juga artikel terkait KESEHATAN MENTAL atau tulisan lainnya dari Dhita Koesno

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Dhita Koesno
Editor: Agung DH