Menuju konten utama

Benarkah Kualitas Hidup Mitra Gojek Meningkat?

Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia (Puskakom UI) merilis riset yang menyatakan kualitas hidup 80 persen pengemudi Go-Jek meningkat. Sementara di lapangan, banyak pengemudi Go-Jek mengeluhkan penurunan pendapatan.

Benarkah Kualitas Hidup Mitra Gojek Meningkat?
Ribuan pengemudi Gojek melakukan aksi unjuk rasa meminta dihapuskan sistem performa, penghapusan "autosuspend" dari sistem di depan kantor pusat Gojek di Jl. Kemang Selatan, Jakarta, Senin, (3/10). TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Warga kota besar seperti Jakarta sudah semakin tergantung dengan jasa dari ojek online, seperti Gojek, Grab, ataupun Uber Motor. Layanan yang lengkap membuat ojek online merupakan pilihan utama masyarakat Jakarta dan kota besar lainnya yang sudah dijangkau layanan ini. Inilah yang membuat permintaan terhadap jasa ojek online terus meningkat.

Kabar tentang membaiknya kehidupan sebagai mitra ojek online membuat orang berbondong-bondong melamar. Pendapatan yang lebih pasti membuat mitra ojek online dipandang memiliki kehidupan yang lebih baik. Benarkah demikian?

Jika melansir survei yang dilakukan Puskakom UI bekerjasama dengan Gojek, hasilnya memang menguatkan kabar tersebut.

Selama lima hari, sejak 6 hingga 11 April 2017, Puskakom UI melakukan survei. Sebanyak 6.014 pengemudi di 15 lokasi operasional Go-Jek menjadi responden. Mereka dipilih menggunakan metode sampling pencuplikan acak murni dari total seluruh pengemudi Go-Jek, baik Go-Ride maupun Go-Car, yang sudah menjadi mitra selama minimal tiga bulan.

Dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan secara online itu, ditemukan beberapa temuan, di antaranya soal kepuasan menjadi mitra. Menurut hasil riset Puskakom UI yang didukung oleh Go-Jek itu, sebayak 88 persen pengemudi Go-Ride dan 85 persen pengemudi Go-Car merasa puas menjadi mitra Go-Jek. Go-Car adalah layanan transportasi roda empat sedangkan Go-Ride menggunakan angkutan roda dua.

Riset itu juga memaparkan soal peningkatan kualitas hidup. Sebesar 83 persen pengemudi Go-Ride menyatakan kualitas hidupnya meningkat. Untuk pengemudi Go-Car, jumlahnya 80 persen. “Salah satu alasan kualitas hidup mereka meningkat adalah mereka bisa mengatur waktu kerja dan memiliki lebih banyak waktu dengan keluarga,” ujar Alfindra Primaldhi, Peneliti Utama Puskakom UI.

Sayangnya, Alfindra tidak bisa menjelaskan alasan responden lainnya yang merasa tidak ada peningkatan kualitas hidup atau merasa tidak puas bermitra dengan Go-Jek. “Saya juga sebenarnya penasaran, tetapi karena proses pengumpulan data tidak face to face, kami tidak bisa mewawancarai lebih lanjut,” katanya.

Infografik Pendapatan GoJek Meningkat

Pendapatan Pengemudi Berkurang

Lain survei, lain di lapangan. Sejumlah mitra Gojek yang ditemui Tirto menyampaikan keluhan tentang pendapatannya yang kini terus turun. Mimpi indah kehidupan yang lebih baik secara perlahan pudar. Mereka pun berniat mengajukan sejumlah tuntutan, terutama terkait penetapan tarif.

“Harusnya hari ini kami demo, tetapi ditunda jadi Jumat (12/5/2017),” ujar Indrawan di hari yang sama saat riset itu diluncurkan. Indrawan adalah seorang mahasiswa yang bekerja sebagai pengemudi Go-Ride di waktu senggangnya.

Demo Jumat nanti, kata Indrawan, akan digelar di Istana Negara, bukan lagi di Kantor Go-Jek. Mereka akan memprotes tindakan Go-Jek yang sesuka hati menentukan harga dan terus menurunkan bonus. “Ini saya nganter mbak, dapet-nya cuma Rp10.400. Itu belum dikurangi bensin dan biaya pulsa,” katanya. Indrawan mengantar saya sejauh lima kilometer.

Go-Jek memberikan bonus kepada para pengemudinya. Jadi, setiap mengantar penumpang dengan jarak 1-5 kilometer, para pengemudi Go-Ride mendapat satu poin. Poin itu harus terus dikumpulkan dan ditukarkan dengan uang tunai. Setiap 14 poin bisa ditukarkan dengan Rp20 ribu. Sedangkan 20 poin bisa ditukarkan dengan Rp40 ribu.

Sebelumnya, bonus maksimal yang bisa dikumpulkan para pengemudi senilai Rp140 ribu. Sekarang, dibatasi hanya Rp90 ribu. “Hampir tiap bulan mereka turunkan pelan-pelan,” imbuh Indrawan.

Muhammad Lukman, pengemudi Go-Ride lainnya juga mengeluhkan hal serupa. Tahun 2015 dulu, kalau Lukman mengambil order-an terus seharian, ia bisa mendapat penghasilan sampai Rp500 ribu sehari. Sekarang, mendapat Rp100 ribu sehari saja, dia cukup kesulitan.

“Kalau dulu iya, benar, Go-Jek itu meningkatkan kualitas hidup kami, kalau sekarang mah malah menjatuhkan,” ungkap Lukman.

Para pengemudi yang disebut mitra dan dipakai tenaganya oleh Go-Jek ini memang tak pernah dilibatkan dalam penentuan tarif. Sejak Go-Jek berdiri, start-up yang kini sudah menjadi unicorn itu terus menurunkan tarifnya.

Tahun 2015, pengemudi mendapatkan Rp4.000 tiap kilometer. Kalaupun Go-Jek memberikan tarif promo flat untuk bersaing dengan Grab dan Uber, para pengemudi tetap mendapatkan pennghasilan sesuai jarak yang ditempuh. Tahun ini, para pengemudi Go-Ride cuma mendapatkan Rp2.500 setiap kilometernya.

Bagi para konsumen, itu kabar baik, tetapi bagi para pengemudi, itu tentu kabar buruk. Mereka tak punya daya untuk menentukan harga meskipun yang tenaganya dikuras untuk menjemput para konsumen adalah mereka.

Salah satu co-founder Go-Jek Indonesia, Monica Oudang mengamini bahwa para pengemudi tak pernah dilibatkan dalam menentukan harga. Tarif per kilometer ditentukan sepihak oleh Go-Jek sebagai aplikasi penyedia layanan. “Kami menentukan tarif berdasarkan supply and demand juga berdasarkan persaingan. Kami melihat apa yang Uber dan Grab lakukan dan kami menyesuaikan diri dengan itu,” jelas Monica.

Demo Jumat nanti, para pengemudi Go-Jek juga meminta pemerintah mengatur tarif, seperti taksi dan angkutan umum lainnya. Menurut Indrawan juga Lukman yang ditemui terpisah, langkah itu bisa mencegah Go-Jek menentukan tarif sesukanya.

Sayangnya, keinginan mitra Gojek itu sepertinya akan bertepuk sebelah tangan. Ojek tidak termasuk dalam kategori transportasi umum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan. Sementara, revisi Peratuan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 yang 11 poin hanya mengatur tentang kendaraan roda empat yakni taksi online. Poin tersebut meliputi, soal KIR dan STNK berbadan hukum, kuota, tarif batas atas dan batas bawah, kapasitas silinder, jenis angkutan sewa, pool, bengkel pajak, akses dashboard dan sanksi.

Tanpa adanya payung hukum yang jelas, sulit untuk membuat penetapan tarif. Batas bawah tarif akan ditentukan secara sepihak oleh pengelola ojek online. Jika ini yang terjadi, maka perbaikan taraf hidup mitra sepertinya hanya akan menjadi kenangan.

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI ONLINE atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti