Menuju konten utama
Periksa Fakta

Benarkah Gelombang Kedua COVID-19 Lebih Berbahaya?

Betulkah gelombang kedua COVID-19 lebih berbahaya, dengan mutasi virus yang tidak bisa terdeteksi oleh tes nasofaring?

Benarkah Gelombang Kedua COVID-19 Lebih Berbahaya?
Header Periksa Fakta IFCN. tirto.id/Quita

tirto.id - Gelombang kedua COVID-19 telah menjadi momok yang menghantui berbagai negara di dunia saat ini. Pembicaraan terkait gelombang kedua ini pun kembali mencuat setelah kasus COVID-19 kembali mengganas di India.

Menukil data dari Our World in Data, per 16 Mei 2021, total kasus COVID-19 di India telah mencapai 24,68 juta, dengan penambahan kasus harian mencapai lebih dari 288 ribu. Angka ini sedikit melandai dibanding awal Mei yang mencapai lebih dari 390 ribu. Meski begitu, angka ini masih jauh lebih tinggi dari penambahan kasus harian pada bulan Februari hingga Maret yang masih di kisaran di bawah 20 ribu kasus per hari.

Di Indonesia, Presiden Joko Widodo pun sudah berkali-kali meminta semua pihak agar berhati-hati, supaya Indonesia tak mengalami gelombang kedua pandemi COVID-19. Sebagai perbandingan, menurut dataOur World in Data pula, per 16 Mei 2021, jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia telah mencapai 1,74 juta kasus, dengan penambahan harian sebanyak sekitar 3.700 kasus pada tanggal tersebut. Jumlahnya sedikit turun dibanding awal Februari 2021 yang penambahan kasus hariannya mencapai 12.800 kasus. Sementara dapat disimpulkan bahwa Indonesia belum mengalami gelombang kedua pandemi COVID-19.

Namun, ada pesan berantai yang beredar melalui media sosial terkait klaim bahwa gelombang COVID-19 lebih berbahaya. Pesan tersebut mengatasnamakan Satuan Tugas Penanganan COVID-19 (Satgas COVID-19) Pusat. Salah satunya diunggah akun Facebook bernama ‘Kurie New’.

Periksa Fakta Benarkah Mutasi Lebih Berbahaya

Periksa Fakta 'Benarkah Mutasi Varian Virus COVID-19 di India Lebih Berbahaya?'. instagram/Kurie New

Dalam unggahan tersebut, akun ‘Kurie New’ menyatakan bahwa COVID-19 gelombang kedua akan menjadi lebih berbahaya dibanding gelombang pertama, sebab menurutnya di gelombang kedua, virusnya tidak akan menyebabkan gejala batuk, pilek, atau demam. Gejalanya akan jauh lebih parah, karena langsung menyerang paru-paru dan menyebabkan pneumonia. Menurut akun ini juga, virus COVID-19 gelombang kedua juga tidak akan bisa dideteksi oleh tes swab karena virus tidak terdapat di tenggorokan.

Unggahan akun ini juga mengingatkan bahwa belajar dari kasus India, gelombang kedua virus COVID-19 memiliki jangka waktu sangat singkat, dengan mutasi virus India yang lebih berbahaya. Akun ini juga menghimbau bahwa protokol kesehatan seperti memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan membatasi mobilitas, masih sangat penting. Begitu pula walaupun seseorang telah vaksinasi, menurutnya, tidak berarti bisa mengabaikan protokol kesehatan.

Lantas, betulkah klaim mengenai gelombang kedua COVID-19 dan bahaya dari mutasi virus India ini?

Penelusuran Fakta

Tirto menelusuri kebenaran pesan berantai tersebut. Tim Tirto menemukan bahwa Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) pernah mengulas informasi ini dalam artikel tertanggal 30 April 2021. Klaim tersebut dibantah langsung oleh Hery Trianto, Ketua Bidang Komunikasi Publik Satgas Penanganan COVID-19 Pusat.

“Sehubungan dengan adanya informasi yang beredar di media sosial terutama di WA Group [WhatsApp Group] yang mengatasnamakan Satgas serta memakai nama Astrid - Sekretaris 1 Satgas COVID Pusat, maka dapat disampaikan bahwa informasi tersebut tidak pernah dikeluarkan dan tidak ada nama bersangkutan dari Satgas COVID-19 Pusat,” ungkap Hery, seperti dilansir di artikel tersebut.

Adapun artikel tersebut tidak mengulas secara rinci kebenaran klaim-klaim di dalam pesan berantai tersebut. Misalnya, unggahan menyebutkan bahwa mutasi virus terbaru di India lebih cepat karena tidak melalui proses transit pada tenggorokan dan hidung, melainkan langsung menuju paru-paru dan mengakibatkan pneumonia.

Mengutip dokumen Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dipublikasikan pada 11 Mei 2021, varian virus COVID-19 B.1.617 yang pertama kali ditemukan di India pada Oktober 2020, telah ditetapkan sebagai variant of concern, atau varian yang perlu mendapatkan perhatian karena risikonya terhadap kesehatan publik. Status ini naik dari status varian ini sebelumnya, yaitu variant of interest.

Sebuah mutasi COVID-19 dinaikkan ke status variant of concern ketika ada bukti-bukti yang menunjukkan satu di antara beberapa kriteria, di antaranya transmisi yang lebih tinggi, gejala penyakit yang lebih parah, dan berkurangnya netralisasi antibodi atau keefektifan dari perawatan dan vaksin.

Menurut WHO pula di dokumen yang sama, varian B.1.617 sejauh ini memang terlihat memiliki tingkat transmisi yang lebih tinggi, yang bisa juga dilihat dari naiknya prevalensi virus yang cepat di berbagai negara.

WHO juga menelisik peran varian B.1.617 dalam kenaikan jumlah kasus COVID-19 dan kematian karena virus tersebut di India. Meski begitu, WHO menyatakan bahwa ada banyak faktor yang terlibat di transmisi virus COVID-19 yang cepat di India, termasuk di antaranya varian yang tingkat transmisinya lebih tinggi, kerumunan di acara keagamaan dan politik, dan berkurangnya kepatuhan terhadap protokol kesehatan.

Namun, potensi dampak dari varian B.1.617 terhadap keefektifan vaksin dan terapi, atau risiko reinfeksi, masih belum pasti. Mengutip BBC, pemerintah India juga menyatakan bahwa memang ada bukti yang menghubungkan varian ini dengan gelombang kedua pandemi di India, tapi korelasinya belum bisa dipastikan.

Belum ada pula sumber yang menyebutkan bahwa penyebab dari tingginya tingkat transmisi ini disebabkan oleh virus yang langsung menyerang paru-paru dan tidak melalui hidung dan tenggorokan.

Ketua Pengurus Harian Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto juga menjelaskan pada Tirto (12/5/2021), paru-paru memang menjadi salah satu reseptor atau jalan masuknya virus COVID-19 ke dalam tubuh, sehingga semua variannya berisiko menyebabkan pneumonia. Namun, belum ada data publikasi ilmiah yang menyatakan bahwa varian baru COVID-19 menyebar lebih cepat karena langsung menyerang paru-paru tanpa melewati tenggorokan dan hidung.

“Saya sudah lihat dalam kajian-kajian ilmiah, hal tersebut belum bisa dipastikan. Tentu perlu evaluasi lebih lanjut mengenai hal tersebut,” tegas Agus.

Terkait klaim gejala yang “seolah tidak ada”, ia menyebutkan bahwa COVID-19 memiliki gejala “seribu wajah” sebab keluhannya dapat berhubungan dengan pernapasan maupun di luar pernapasan, seperti kelelahan, hilang indra penciuman atau diare. Pasien tanpa gejala pun ada, sehingga klaim yang disebutkan bukan hal yang baru.

Kendati demikian, mutasi virus yang baru di India tetap perlu diwaspadai, kata Agus.

Lebih lanjut, pesan berantai tersebut mengklaim bahwa hasil tes swab nasofaring (swab melalui hidung dan faring) dari virus COVID-19 gelombang kedua akan selalu negatif karena proses mutasi varian yang cepat. Swab nasofaring biasa digunakan dalam pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR). Agus pun menyebut bahwa belum ada publikasi ilmiah yang menyatakan hal tersebut.

Akan tetapi, ia menegaskan bahwa sensitivitas tes PCR dari hidung dan faring untuk mendeteksi tidak mencapai 100 persen, melainkan berada di kisaran 60-70 persen. Sehingga, bisa saja tes yang dilakukan menunjukkan hasil false negative. Selain itu, jenis alat PCR yang digunakan dan teknik pengambilan sampel juga menjadi beberapa faktor lain yang mempengaruhi hasil tes.

Terkait klaim bahwa gelombang COVID-19 kedua lebih berbahaya, Agus merujuk pada berbagai data bahwa gelombang COVID-19 yang kedua akselerasinya cenderung lebih cepat terjadi karena lebih infeksius, seperti halnya di Thailand, Malaysia dan India.

“Tapi kalau soal apakah dia lebih berbahaya, lebih mematikan, tentu perlu kajian lebih ilmiah, itu perlu data-data lagi,” ucap Agus.

Kesimpulan

Berdasarkan penelusuran fakta yang telah dilakukan, varian B.1.617 yang berkontribusi terhadap ledakan kasus COVID-19 di India memang lebih cepat menyebar dan berpotensi menghindari perlindungan vaksin. Namun, masih perlu penelitian lanjutan dan uji klinis untuk membuktikan bahwa varian tersebut memiliki mutasi yang lebih cepat serta tak dapat dideteksi oleh tes swab hidung/tenggorokan. Juga, masih perlu penelitian lebih lanjut mengenai hubungan pastinya dengan gelombang kedua COVID-19 secara umum. Dengan demikian, unggahan di Facebook terkait gelombang kedua COVID-19 dan varian India bersifat salah sebagian (partly false).

==============

Tirto mengundang pembaca untuk mengirimkan informasi-informasi yang berpotensi hoaks ke alamat email factcheck@tirto.id. Apabila terdapat sanggahan ataupun masukan terhadap artikel-artikel periksa fakta maupun periksa data, pembaca dapat mengirimkannya ke alamat email tersebut.

Baca juga artikel terkait PERIKSA FAKTA atau tulisan lainnya dari Made Anthony Iswara

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Made Anthony Iswara
Editor: Farida Susanty