tirto.id - Ratusan pelajar SMA dan sederajat berbondong-bondong memasuki kawasan gerbang depan Kompleks Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senayan, Jakarta Pusat, pada Senin (25/8/2025) siang. Mereka berhasil masuk ke Jalan Gatot Subroto pada pukul 11.56 WIB setelah sempat dihadang oleh personel kepolisian yang berjaga di Jalan Gerbang Pemuda.
Dua menit setelahnya, tepatnya pada pukul 11.58, kericuhan pecah di depan pintu masuk Restoran Pulau Dua. Para pelajar yang masih mengenakan seragam putih abu-abu itu tampak berupaya menyerang sejumlah petugas kepolisian yang tak berseragam.
Para polisi lalu langsung berlarian masuk ke dalam area restoran dan menutup rapat pagarnya. Dari luar, para pelajar melempari mereka dengan botol air mineral hingga kayu.
“Woi, jangan anarkis woi!” ucap salah seorang massa aksi ke kerumunan pelajar yang terus melempari seraya meneriakkan umpatan ke arah polisi.
Setelahnya, para pelajar lalu melanjutkan perjalanannya menuju gerbang depan Kompleks DPR/MPR. Di sana, mereka bertemu dengan ratusan massa aksi lain yang sudah lebih dulu hadir sejak pagi untuk mengikuti Aksi 25 Agustus. Mereka membawa seruan penolakan terhadap tunjangan perumahan Rp50 juta bagi para anggota DPR sampai menuntut DPR dibubarkan.
Reporter Tirto melakukan pemantauan langsung di gerbang depan Kompleks DPR/MPR yang menjadi titik utama aksi demonstrasi. Selama dua jam berada di sana, tidak terdengar adanya satu pun orasi yang disampaikan oleh massa aksi. Massa aksi juga tidak membawa instrumen aksi, seperti spanduk ataupun poster, untuk menyuarakan tuntutan sebagaimana umumnya ditemukan pada saat demonstrasi.
Pada pukul 12.29 WIB, terlihat dua pria berpakaian sipil yang mengoordinasikan para pelajar untuk maju ke arah barikade polisi di persimpangan antara Jalan Gatot Subroto dan Jalan Palmerah Timur. Salah seorang pria itu mengenakan kaos lengan panjang berwarna merah, celana putih, dan bucket hat berwarna biru dongker.
“Nanti kita jalan ke sana [ke arah polisi], tapi jangan ada yang anarkis ya,” ucapnya kepada para pelajar.
Tepat pukul 12.33 WIB, ratusan pelajar berjalan menghampiri barikade polisi sambil menyanyikan lagu “Buruh Tani”. Sesampainya di depan barikade polisi, pria yang sempat memberikan arahan kepada para pelajar itu langsung menaiki mobil water cannon milik Direktorat Samapta Polda Metro Jaya.
Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombes Pol Susatyo Purnomo Condro, melalui pengeras suara langsung memerintahkan personelnya untuk maju dan memukul mundur ratusan pelajar yang mulai menendang pagar besi milik polisi.
“Pasukan, maju!” seru Susatyo.
Di titik itu, situasi makin tak terkendali. Massa pelajar dan juga pengemudi ojek daring (ojol) terus menendang pagar besi milik polisi. Mereka juga menendang tameng para polisi yang berjaga di sisi kanan pagar besi. Tak lama setelahnya, mobil water cannon langsung menembakkan air ke arah kerumunan massa. Botol dan batu beterbangan dilemparkan massa ke arah polisi.
Polisi terus memukul mundur massa hingga ke arah Jalan Gerbang Pemuda. Berkali-kali, polisi menembakkan gas air mata, membuat kawasan itu dipenuhi asap yang menyesakkan. Belum sempat menyuarakan apa yang menjadi tuntutan mereka, massa aksi malah terus-terusan terlibat bentrok dengan aparat kepolisian. Situasi ini terus berlanjut hingga sore dan malam hari.
Pukul 17.00 WIB, reporter Tirto berada di kawasan Slipi, Jakarta Pusat, tepatnya di depan Halte Transjakarta Petamburan. Di sana, ratusan pelajar kembali berhadap-hadapan dengan aparat kepolisian. Massa pelajar terbagi menjadi dua sisi, ada yang datang dari Jalan Palmerah Utara, ada juga yang datang dari Jalan K.S. Tubun.
Reporter Tirto sempat mencoba mewawancarai sejumlah pelajar yang berada di Jalan Palmerah Utara untuk mengetahui apa alasan mereka turun aksi pada hari itu. Salah seorang pelajar langsung menghindar ketika dihampiri, terutama setelah melihat reporter Tirto berkalung kartu pers.
Reporter Tirto akhirnya berhasil mewawancarai salah seorang pelajar yang berasal dari sebuah SMK di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat. Namun, sesaat sebelum menjawab pertanyaan, remaja laki-laki itu langsung menggunakan masker terlebih dahulu.
“Gak mahasiswa doang, pelajar juga ikut [aksi ini], Bang,” katanya saat ditanya mengapa dia ikut turun ke jalan.
Pelajar itu tampak kebingungan ketika ditanya lebih lanjut tentang poin-poin tuntutan yang hendak mereka suarakan. Dia hanya berkata singkat bahwa saat ini banyak masyarakat Indonesia yang sudah muak dengan kinerja para anggota DPR. Meski begitu, dia tidak mengelaborasikan lebih lanjut apa saja hal yang menjadi pemicu kemuakan tersebut.
“Iya Bang, [kami muak dengan kinerja anggota DPR]. Warga di Indonesia ini sudah ngerasain semua gitu,” tuturnya singkat.
Sirkulasi Informasi di Jagat Maya
Ajakan untuk terlibat dalam Aksi 25 Agustus memang bergaung di media sosial beberapa waktu sebelum hari H. Aksi tersebut dinarasikan berfokus untuk mengkritisi kinerja para anggota DPR yang dinilai tidak mewakili kepentingan rakyat banyak. Di TikTok, contohnya, ramai penggunaan tagar #BubarkanDPR disertai ajakan kepada masyarakat untuk mendesak penghapusan DPR sebagai lembaga legislatif.
Narasi itu, misalnya, disuarakan oleh pemilik akun @hendrixfendi. Lewat unggahannya, Minggu (24/8/2025), @hendrixfendi menampilkan sebuah video yang mengatakan bahwa keberadaan DPR sebagai lembaga legislatif bukanlah suatu syarat berdirinya negara. Sehingga, kehilangan DPR bukanlah suatu masalah yang berarti.
“Kalau DPR sudah enggak jelas fungsinya, saya setuju bubarin aja,” ujar pengisi suara dalam video tersebut.
Setelah ditelusuri lebih lanjut, pengguna TikTok itu juga pernah mengunggah video dengan narasi bahwa Presiden Prabowo Subianto berdiri bersama-sama dengan rakyat untuk berjuang membubarkan DPR.
“Pak Prabowo itu butuh bantuan kita sebagai rakyat supaya bisa membubarkan DPR, karena yang bisa membubarkan DPR itu rakyat,” tulisnya dalam keterangan konten yang diunggah pada Rabu (20/8/2025) itu.
Narasi yang mendikotomikan Prabowo sebagai representasi eksekutif dan DPR sebagai legislatif memang ramai diunggah di media sosial menjelang Aksi 25 Agustus. Seorang pengguna TikTok dengan nama akun @wahyu_sibua_19 bahkan menyebut Prabowo sengaja tidak melarang pengibaran bendera One Piece agar nantinya masyarakat bisa berdiri di sisinya untuk berjuang membubarkan DPR.
“Yang berhak melengserkan [DPR] itu rakyat. Gas kita bubarkan, Prabowo belajar dari kisah Gus Dur yang ingin hapus DPR, namun dia yang dilengserkan.” begitu bunyi takarirnya, Rabu (20/8/2025).
Seruan Aksi 25 Agustus 2025 ini memang tampak terfragmentasi dan bikin publik bertanya-tanya. Narasi umum yang mencuat di media sosial adalah “Revolusi Rakyat Indonesia”. Namun, masing-masing platform memiliki kekhasan.
TikTok diwarnai narasi-narasi mengkambinghitamkan DPR dan membela Prabowo. Di Facebook, narasi yang muncul berbeda. Sebuah akun Facebook dengan nama “Mas Rahmat Santosa”, misalnya, menyebarkan ajakan demonstrasi di Kompleks DPR/MPR dengan mengangkut 5 poin utama beserta 20 poin turunan.
Lima poin itu adalah: hukum mati mantan Presiden Jokowi, keluarga, dan kroni-kroninya perusak NKRI; makzulkan Gibran pelanggar konstitusi; sita harta Jokowi, keluarga, dan kroni-kroninya; usut tuntas kecurangan Pilpres 2024 dan batalkan kemenangan 02 Prabowo-Gibran; serta laksanakan pemilu presiden ulang yang jujur adil, bebas, dan rahasia.
Unggahan itu menggunakan beberapa tagar sekaligus, di antaranya #hukummatijokowi&keluarganya, #hukummatibobbynasutionkorupsinikel, #hukummatibobbynasutionperusaknkri, dan #hukummatibobbybosmafia.
Jika menilik pemakaian tagar #hukummatibobbybosmafia, dijumpai paling tidak ada lima postingan yang didominasi oleh unggahan dengan video ilustrasi seseorang memegang poster bertuliskan “DEMO 15 AGUSTUS 2025” di tengah situasi penuh api. Hal yang sama juga dijumpai pada tagar #hukummatibobbynasutionkorupsinikel dan #hukummatibobbynasutionperusaknkri.
Berdasarkan analisis Drone Emprit, setidaknya ada tiga agenda terkait Aksi 25 Agustus yang terlihat di media sosial secara umum. Agenda-agenda itu dibawa oleh klaster yang berbeda.
Pertama adalah agenda pembubaran DPR yang dibawakan oleh sebagian besar klaster. Seruan ini bermunculan dalam narasi bahwa DPR tidak mewakili rakyat, arogan, hingga tidak sensitif.
Agenda kedua adalah meminta Prabowo membubarkan DPR. Agenda Ini dibawa oleh satu klaster tersendiri. Narasi paling dominan dalam klaster ini antara lain DPR korup, tidak mendukung rakyat, dan membebani anggaran.
Terakhir, seperti tercermin dalam unggahan Facebook di atas, adalah seruan mengadili “Geng Solo” dan membubarkan DPR. Ini juga dibawa oleh satu klaster sendiri.
“Apakah beda agenda dan narasi di media sosial ini juga terepresentasi di lapangan?
Menjadi kelompok-kelompok aksi dengan tuntutan dan narasi berbeda?,” kata Peneliti dari Drone Emprit, Nova Mujahid, kepada Tirto.
Nova menjelaskan bahwa gagasan pembubaran DPR RI konsisten muncul dalam percakapan publik setiap kali terdapat pemberitaan negatif terhadap “wakil rakyat” tersebut, bahkan jauh sebelum aksi.
Dalam konteks Aksi 25 Agustus 2025, ajakan pembubaran DPR RI semakin menguat di X dan YouTube sejak 15 Agustus 2025, di Facebook dan Instagram sejak 19 Agustus, dan TikTok 22 Agustus.
“Dari SNA dan perjalanan tren percakapan, terlihat adanya partisipasi akun-akun terindikasi pendengung yang mendukung pembubaran DPR RI. Keterlibatan akun ini cukup signifikan dalam meramaikan percakapan,” kata Nova lewat keterangan yang diterima Tirto, Selasa (26/8/2025).

Sederhananya, kekecewaan terhadap DPR sudah lama menumpuk, tapi tidak menjadi gerakan publik alias hanya menjadi gerundelan. Akan tetapi, untuk Aksi 25 Agustus, ada yang mengampanyekan pembubaran DPR dan diramaikan oleh akun-akun terindikasi “pendengung”. Posisi mereka berada di klaster Propembubaran DPR.
Menurut Nova, hal itu kemudian menimbulkan diskusi publik: apakah akun-akun tersebut menunggangi atau justru merekalah yang menciptakan gelombang protes di media sosial.
Narasi di jagat maya ini terpolarisasi. Di satu sisi, ada kelompok proaksi yang menyoroti DPR korup, arogan, dan tidak peduli pada rakyat. Di sisi lain, ada kelompok kontraaksi yang mencurigai aksi ditunggangi, baik untuk melemahkan DPR maupun mendesak Prabowo membubarkan DPR.
Berbagai Pihak Klaim Tak Mendorong Massa
Demonstrasi memang boleh dilakukan siapa saja karena berkumpul dan menyuarakan pendapat adalah hak konstitusional warga negara. Akan tetapi, publik perlu hati-hati terhadap seruan demonstrasi yang dicurigai atau bahkan diintervensi oleh kepentingan elite politik.
Penting digarisbawahi: masyarakat mesti waspada, tapi ini bukan berarti mendelegitimasi demonstrasi atau perjuangan rakyat.

Sebagai salah satu top influencer dalam kelompok kontraaksi, menurut Drone Emprit, adalah akun X @barengwarga. Ia melontarkan dugaan soal materi aksi yang menggunakan pola penyebaran khas buzzer kekuasaan. Selain poster yang tidak mumpuni, narasi tekstual yang beredar mengarah ke dikotomi DPR vs Presiden.
Setelah dikonfirmasi jurnalis Tirto, sejumlah pihak, dari mulai Aliansi Badan Eksekutif Seluruh Indonesia/BEM SI, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), hingga serikat buruh, mengklaim tak terlibat dalam aksi dan konsolidasi aksi tersebut.
Kepada Tirto, Senin (25/8/2025), Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, mengatakan bahwa baik Partai Buruh, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), maupun Koalisi Serikat Pekerja atau KSPPB tidak melakukan demo pada hari itu di mana pun, termasuk aksi di DPR.
“Sekali lagi, Partai Buruh dan KSPI menyatakan tidak ikut aksi pada hari ini, 25 Agustus 2025. Aksi Partai Buruh dan KSPI serta Koalisi Serikat Pekerja atau KSPPB akan dilakukan pada tanggal 28 Agustus 2025 yang jatuh pada hari Kamis di depan gedung DPR,” ungkap Said.
Selain di Gedung DPR, Said menyampaikan bahwa kelompoknya akan melakukan demonstrasi serempak di 38 provinsi. Demonstrasi partai buruh sendiri mengangkat 6 isu yang mereka sebut "HOSTUM" atau Hapus Outsourcing dan Tolak Upah Murah.
Dari 6 tuntutan tersebut, satu di antaranya adalah mendorong pemerintah menaikkan upah minimum 2026 sebesar 8,5 persen sampai dengan 10,5 persen dan menghapus outsourcing, yaitu mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 yang sudah diputus tidak berlaku lagi oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Meski mengaku tak terlibat dalam Aksi 25 Agustus, YLBHI menegaskan bahwa demonstrasi tidak harus berangkat dari koalisi NGO atau masyarakat sipil. Mengenai kejanggalan, Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, bilang bahwa pihaknya tak ingin menduga-duga.
“Memang banyak pertanyaan dilontarkan. Misalnya, kok bisa kampanyenya bernada violence. Tapi, itu ekspresi masyarakat dan memang semakin ke sini makin berubah pola aksinya. Aksinya sekarang semakin cair, semakin leaderless, semakin adaptif terhadap perkembangan,” tutur Isnur saat dihubungi Tirto, Selasa (26/8/2025).
Kampanye bernuansa kekerasan salah satunya ditemui pada poster berwarna biru yang berseliweran di X. Dalam poster dengan ilustrasi laki-laki dan gedung DPR itu tercantum keterangan bahwa massa aksi yang membutuhkan senjata perlawanan seperti molotov dan kerikil, bisa mengambil di posko darurat yang beralamat di Jakarta Timur.
“Di sosial media kemudian semua terlibat, semua bergabung. Walaupun, itu cair yang disebut oleh beberapa penduduk sebagai gerakan rimpang, berbeda dengan gerakan-gerakan yang lebih terorganisir, lebih solid, lebih terencana. Jadi, ini inisiatif yang meluas karena mengarah sekali dengan DPR,” lanjut Isnur.
Demo semacam ini dikatakan Isnur sudah terjadi beberapa kali dan seharusnya menjadi bagian dari ekspresi warga yang layak dilindungi dan layak mendapatkan tempat.
Polisi Jangan Brutal
Kapolres Metro Jakarta Pusat, Susatyo, mengatakan bahwa dalam melakukan pengamanan Aksi 25 Agustus, dia telah mengimbau anggotanya untuk bertindak secara persuasif dan humanis. Sayangnya, imbauan itu tak sepenuhnya dilaksanakan di lapangan.
Aksi represif aparat kepolisian masih ditemui saat pengamanan aksi. Reporter Tirto menyaksikan langsung bagaimana polisi melakukan kekerasan terhadap sejumlah massa aksi, seperti yang terjadi di depan Stasiun Palmerah.
Massa aksi yang saat itu tengah beristirahat di area parkir motor di seberang Stasiun Palmerah terlihat dicekik dan ditendang oleh polisi. Padahal, mereka tidak bersenjata dan juga tidak melakukan perlawanan saat polisi memukul mundur massa yang semula berada di depan Gerbang Pancasila.
Terkait dengan aksi represif polisi yang masih ditemui saat pengamanan aksi kemarin, Isnur mengatakan dalam aksi demonstrasi apa pun, pihak kepolisian tidak boleh melakukan kekerasan, apalagi secara brutal.
“Tuntutan bubarin DPR itu tuntutan hak warga juga. Jadi, kita tidak bisa memandang remeh ya tuntutan itu. Itu bagian dari ekspresi atau kekesalan yang luar biasa dari warga terhadap DPR yang dalam fakta, kita melihat perkembangannya mereka tidak lagi mewakili rakyat, tapi mewakili kekuasaan. [Mereka] bertindak korup dan semau-maunya, sewenang-wenang dalam mengatur anggaran, tidak mengawasi anggaran yang seharusnya dan membuat rakyat menderita semakin panjang,” tutur Isnur.
LBH Jakarta mencatat buntut demo ricuh di depan DPR RI, Senin (25/8/2025) lalu, ada sekitar 370 orang yang ditangkap polisi . Dari jumlah itu, 200 orang di antaranya anak di bawah umur.
"Ada sekitar 370-an orang yang ditangkap di Polda. 200-an di antaranya adalah anak di bawah umur,” kata Asisten Pengabdi Bantuan Hukum Lembaga Badan Hukum (LBH) Jakarta, Daniel Winarta, saat dihubungi Tirto, Selasa (26/8/2025).
Daniel memandang penangkapan pendemo oleh polisi tersebut cacat hukum. Polda Metro Jaya, kata dia, saat ini tengah mendata para massa aksi yang ditangkap. Meski begitu, proses pendataan itu sebenarnya tidak termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Daniel menyebutkan pedemo yang mayoritas masih berada di bawah umur itu seharusnya didampingi oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) ketika ditangkap dan dibawa ke Mapolda Metro Jaya.
Hingga kini, LBH Jakarta menyatakan pihaknya masih berfokus dalam proses pendampingan. Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan, mengatakan mereka sejak Senin (25/8/2025) malam tidak langsung diberikan akses untuk memberikan bantuan hukum.
“Karena gini, ini rata-rata anak, ini prosedur khusus. Kami enggak mau kalau cuma diperiksa gitu aja dan prosedurnya sama dengan dewasa. Itu yang kemarin kami dorong ke polisi,” ungkapnya kepada jurnalis Tirto, Selasa (26/8/2025).
==========
Addendum: Artikel ini semula berjudul "Benarkah Demo Bubarkan DPR 25 Agustus "Ditunggangi"?". Redaktur mengubah judul tersebut pada Rabu (27/8/2025) pukul 09.20 WIB dengan pertimbangan judul yang sekarang lebih mewakili isi aktikelnya.
Penulis: Fina Nailur Rohmah & Naufal Majid
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id


































