Menuju konten utama

Belajar dari Dugaan Kasus Intimidasi Penulis Kolom Opini

LBH Pers berpendapat tulisan opini atau kolom tidak semestinya ditanggapi dengan teror, atau kriminalisasi.

Belajar dari Dugaan Kasus Intimidasi Penulis Kolom Opini
Ilustrasi menulis. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Dugaan intimidasi yang dialami penulis kolom opini di detik.com mendapatkan perhatian dari masyarakat sipil. Pasalnya, dugaan intimidasi terjadi tak lama setelah tulisan tayang di laman rubrik kolom detik.com.

Tulisan tersebut mengkritisi pengangkatan Letnan Jenderal Djaka Budi Utama sebagai Direktur Jenderal Bea Cukai. Djaka Budi merupakan tentara eks sekretaris utama Badan Intelijen Nasional atau BIN.

Sebelumnya, dilansir situs detik.com, tulisan tersebut berjudul, 'Jenderal di Jabatan Sipil: Di Mana Merit ASN?'. Tulisan tersebut tayang Kamis 22 Mei 2025. Mulanya turut terpampang jelas pula, nama penulis rubrik opini tersebut. Namun, isi dari tulisan tersebut sudah hilang, diganti pengumuman dari Redaksi detik.com, yang menyebut tulisan tersebut dihapus atas rekomendasi Dewan Pers, “demi keselamatan penulisnya”.

Belakangan setelah ramai diperbincangkan, judul dan keterangan dalam lama itu ikut berubah. Judul tertera: 'Tulisan Opini Ini Dicabut'. Nama penulis juga sudah tidak tercantum. Selain itu, Redaksi detik.com turut meralat keterangannya. Redaksi menjelaskan bahwa tulisan opini dihapus atas permintaan penulis, bukan atas rekomendasi Dewan Pers.

“Kami memohon maaf atas keteledoran ini. Sedangkan mengenai alasan keselamatan, itu berdasarkan penuturan penulis opini sendiri,” tulis Redaksi detik.com dalam artikel tersebut.

Peristiwa ini tak ayal menjadi perhatian sebab dinilai sebagai bentuk dari pembungkaman kebebasan berekspresi. Dalam Pasal 28E ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945), beropini atau berpendapat merupakan bagian hak asasi manusia. Termasuk berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksana Prakasa, memandang bahwa tindakan perenggutan, pendisiplinan, hingga serangan terhadap mahasiswa serta masyarakat sipil yang ditandai dengan praktik membungkam kebebasan berekspresi dan kebebasan akademik, adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Satria menjelaskan, kebebasan untuk berkumpul, berserikat, dan menyampaikan aspirasi dalam dunia pendidikan tinggi merupakan hak yang melekat pada seluruh sivitas, termasuk dalam Pasal 19 Kovenan SIPOL (diratifikasi Indonesia dalam UU Nomor 12/2005) sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Selain itu, juga terdapat Pasal 13 Kovenan EKOSOB (diratifikasi dalam UU Nomor 11/2005) sebagai bagian dari hak atas pendidikan.

“Teror atas tulisan, pendapat, upaya konstitusional, harus didesakkan pertanggungjawabannya, diuji dalam mekanisme penegakan hukum yang adil nan lugas,” kata Satria dalam keterangannya, Senin (26/5/2025).

Selain peristiwa dugaan intimidasi terhadap penulis rubrik opini detik.com, KIKA menyoroti pula dugaan intimidasi terhadap tiga mahasiswa UII yang sedang mengajukan uji materi UU TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK). KIKA mendapat informasi, ketiga mahasiswa diintimidasi orang-orang tak dikenal (OTK) mengatasnamakan MK, dan juga dilakukan Babinsa (militer). Mereka mendatangi tempat tinggal para mahasiswa dan menggali informasi pribadi.

“Pihak kepolisian wajib menyidik dan menindak pelaku-pelaku intimidasi di atas yang menghalangi dan berupaya membungkam kebebasan berekspresi dan kebebasan akademik warga sipil,” ucap Satria.

Apa yang Bisa Dilakukan Penulis yang Merasa Diintimidasi?

Menurut informasi yang dihimpun Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), intimidasi dari orang tak dikenal terhadap penulis opini detik.com terjadi dua kali. Peristiwa pertama, penulis diduga diserempet dan didorong hingga terjatuh oleh dua orang yang memakai helm full face ketika hendak mengantar anak ke sekolah.

Kejadian kedua, penulis turut mendapat serangan pengendara motor tidak dikenal hingga terjatuh. Semua berlangsung sejak tulisan penulis soal pengangkatan Letnan Jenderal Djaka Budi Utama tayang di detik.com.

Dugaan tindakan intimidasi itu membuat penulis merasa terancam keselamatannya. Alhasil penulis meminta kepada Redaksi detik.com agar menghapus artikelnya. Permintaan penulis sempat ditolak sebab prosedur penghapusan artikel opini memerlukan rekomendasi Dewan Pers. Penulis yang juga mahasiswa magister di salah satu perguruan tinggi ini, akhirnya mengadu ke Dewan Pers.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers – bagian dari KKJ – menilai peristiwa ini merupakan salah satu bentuk dari teror dan kekerasan terhadap individu yang menimbulkan rasa takut serta kecemasan. Hal ini berpengaruh terhadap kemerdekaan menyampaikan pendapat dan opini di media massa.

Direktur LBH Pers, Mustafa Layong, menyatakan pihaknya mendorong kasus dugaan teror atau intimidasi yang dialami penulis opini detik.com agar diproses secara hukum oleh aparat penegak hukum.

“Kemudian bahwa apakah (intimidasi) itu terkait dengan liputan atau tulisan penulis di detik.com atau tidak, itu perlu ditelusuri lebih lanjut. Tapi secara kronologis memang sangat dekat jaraknya pengiriman naskah, kemudian terbit, dan beberapa jam berikutnya dia mengalami serangkaian teror,” ucap Mustafa kepada wartawan Tirto, Senin (26/5/2025).

Menurutnya, penulis opini atau kolom sama posisinya sebagai seorang narasumber. Maka, dalam kondisi tertentu sebagaimana diatur dalam Kode Etik Jurnalistik, media pers punya hak untuk melindungi narasumber lewat hak embargo atau menunda berita.

Pasal 7 Kode Etik Jurnalistik menyatakan: “wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan.

Mustafa menjelaskan, ketika narasumber meminta penundaan/embargo atau tidak berkenan menyiarkan pernyataannya, media wajib menuruti. Dalam kasus penulis opini detik.com, hal yang kemudian menjadi prioritas adalah memberikan rasa aman kepada penulis.

Pasalnya, redaksi media pers punya tanggung jawab untuk melindungi narasumber. Dalam konteks penulisan opini atau kolom, tentu karya tulis yang masuk sudah dikurasi oleh editor atau redaktur kantor media. Maka, redaktur tentu idealnya sudah mengukur seberapa besar risiko dan dampak dari tulisan opini atau kolom yang akan tayang.

Di sisi lain, semestinya tulisan opini atau kolom tidak pantas ditanggapi dengan teror, atau kriminalisasi. Selama tulisan tidak melanggar etik pers dan ketentuan perundang-undangan, pihak yang merasa dituding bisa mengirimkan hak jawab atau bahkan opini tandingan.

Ilustrasi Media Berita

Ilustrasi Media Berita. ANTARA FOTO

“Ini tanpa membenarkan praktik intimidasi yang kita melihat dulu bagaimana agar penulis ini mendapatkan kembali rasa amannya. Tapi di luar daripada itu, kita mengecam tindakan intimidasinya yang menyebabkan orang takut untuk menuliskan opini,” jelas Mustafa.

Penegasan mengenai kebebasan berpendapat ini juga tertuang dalam Pasal 23 ayat (2) UU HAM. Disebut bahwa setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik. Batasnya, “memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.”

Hal tersebut juga merupakan mandat dari media pers untuk menjadi corong hak kebebasan berpendapat. Menurut Pasal 6 huruf c UU Pers, salah satu peranan pers nasional adalah mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.

“Menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk melindungi setiap warga negara bebas dan merdeka menulis dan menyampaikan opininya, pendapatnya di muka publik,” tegas Mustafa.

Ancaman Kebebasan Berekspresi

Sejumlah organisasi masyarakat sipil dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai, dalam negara demokratis yang berdasarkan prinsip negara hukum, kritik merupakan bagian sah dari partisipasi publik yang dilindungi konstitusi. Tindakan kekerasan terhadap warga sipil hanya karena menyampaikan kritik merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi.

Koalisi menyoroti peristiwa intimidasi yang dialami penulis opini detik.com bukan kejadian tunggal. Hal itu bagian dari pola kekerasan berulang yang muncul semenjak gelombang penolakan terhadap revisi Undang-Undang TNI bergulir.

Salah satu anggota koalisi sekaligus Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menyampaikan bahwa dalam dua bulan terakhir, koalisi mencatat sejumlah dugaan teror berupa, pengintaian, intimidasi, serta serangan fisik dan digital.

“Kejadian itu dialami oleh akademisi, aktivis, jurnalis, dan warga sipil yang menyampaikan pandangan kritis terhadap keterlibatan TNI dalam urusan sipil,” kata Julius dalam keterangannya, Senin (26/5/2025).

Misalnya, pengiriman kepala babi dan bangkai tikus yang ditujukan ke kantor Tempo. Lalu adanya serangan terhadap pembela HAM berupa ancaman fisik dan kriminalisasi terhadap Andrie Yunus dan Javier yang menginterupsi rapat tertutup DPR di Hotel Fairmont.

Selanjutnya. teror yang menyasar kantor KontraS setelah membongkar adanya rapat tertutup di Hotel Fairmont yang dilakukan DPR untuk membahas Revisi UU TNI; serta intimidasi dalam bentuk pengintaian yang menyasar kantor KontraS pasca Pengesahan UU TNI.

Terakhir, dugaan intimidasi yang ditujukan terhadap mahasiswa UII yang menjadi pemohon judicial review UU TNI di MK.

“Koalisi memandang, tindakan pembiaran terhadap pola kekerasan seperti ini—tanpa penyelidikan menyeluruh, akuntabilitas, dan pemulihan korban—adalah bentuk pengabaian tanggung jawab konstitusional oleh pemerintah dan aparat penegak hukum,” ucap Julius.

Sementara itu, Dewan Pers turut mengecam dugaan intimidasi terhadap penulis opini di detik.com. Ketua Dewan Pers, Komaruddin Hidayat, mendesak semua pihak menghormati dan menjaga ruang demokrasi dan melindungi suara kritis dari warga dan mahasiswa.

Ia menyebut, Dewan Pers menghargai dan menghormati kebijakan redaksi media, termasuk melakukan koreksi atau pencabutan berita dalam rangka menjaga akurasi, keberimbangan, dan memenuhi kepatuhan pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

"Namun setiap pencabutan berita harus disertai dengan penjelasan yang transparan kepada publik agar tidak menimbulkan spekulasi serta tetap menjaga akuntabilitas media," ujar Komaruddin Hidayat.

Kemudian, Komaruddin menilai penghapusan sebuah artikel opini atas permintaan penulis adalah hak yang perlu dihormati oleh redaksi. Sama seperti halnya permintaan pencabutan pendapat dari narasumber yang diwawancarai oleh sebuah media.

Meski begitu, Dewan Pers menegaskan belum memberikan rekomendasi, saran, ataupun permintaan kepada redaksi detik.com untuk mencabut artikel opini tersebut. Namun Dewan Pers telah menerima laporan dari penulis dan kini tengah diverifikasi dan mempelajarinya.

Dewan Pers mengimbau semua pihak menghargai dan menghormati ruang berekspresi dan berpendapat atas sebuah kebijakan penyelenggaraan negara. Dewan Pers juga mengimbau kepada semua pihak untuk menghindari penggunaan kekerasan serta tindakan main hakim sendiri.

"Dewan Pers menghargai, menjunjung tinggi kebebasan dan kemerdekaan pers sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers," turut Komaruddin Hidayat.

Serah terima jabatan anggota Dewan Pers

Ketua Dewan Pers periode 2025-2028 Komaruddin Hidayat memberikan sambutan saat serah terima jabatan anggota Dewan Pers 2025-2028 di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Rabu (14/5/2025). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/nym.

Di sisi lain, TNI membantah terlibat dalam dugaan intimidasi terkait pencabulan artikel opini di detik.com mengkritik penempatan sejumlah jenderal militer di berbagai jabatan sipil dalam pemerintahan. Hal ini disampaikan Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Mayjen Kristomei Sianturi dalam keterangannya, Senin (26/5/2025).

Kristomei mengatakan TNI berkomitmen penuh dalam mendukung kebebasan berpendapat sebagai bagian dari nilai-nilai demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia.

Setiap warga negara, kata Kristomei, memiliki hak untuk menyampaikan aspirasi, pendapat, maupun kritik secara terbuka dan bertanggung jawab. Ia menilai dalam sistem demokrasi, perbedaan pandangan adalah hal yang wajar dan menjadi kekuatan membangun bangsa yang lebih baik.

Ia menegaskan TNI memegang teguh prinsip netralitas dan tidak akan pernah terlibat dalam upaya membungkam suara publik. Tugas utama TNI, kata dia, adalah menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah, sera melindungi segenap bangsa Indonesia, bukan mencampuri urusan politik praktis.

“TNI tidak pernah dan tidak akan melakukan tindakan-tindakan intimidatif terhadap warga yang menjalankan hak konstitusionalnya dalam menyampaikan pendapat,” kata Kristomei.

Baca juga artikel terkait KEBEBASAN BERPENDAPAT atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Alfons Yoshio Hartanto