tirto.id - Perayaan Iduladha telah berlalu setelah tiga hari umat muslim melaksanakan kurban berbagai jenis hewan. Perbedaan geografi dan kultural membuat hewan yang dikurbankan berbeda antara Arab Saudi, tempat lahirnya Islam, dengan Indonesia, tempat Islam bersemi sejak lama.
Menurut Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN), Syukron Kamil terdapat budaya kurban yang berbeda Indonesia, begitu juga DKI Jakarta sebagai kawasan perkotaan yang memiliki pemukiman padat.
Menjelang Iduladha, kata dia, bila kurban dikelola panitia masjid, hewan akan ditempatkan di halaman masjid. Sementara bila yang berkurban atas nama perseorangan atau keluarga, mereka biasanya menitipkan di masjid atau di sekitar halaman rumahnya.
Biasanya hewan kurban yang dikelola oleh kepanitiaan, akan ditempatkan di halaman masjid sebelum disembelih. Jika tidak memiliki halaman dan dirasa tercium aroma tidak sedap dari tubuh hewan kurban, alternatifnya adalah lapangan atau halaman yang luas.
Namun, kata dia, apabila tidak ada tempat lagi karena minimnya lahan terbuka di perkotaan, terkadang panitia penyelenggara atau warga setempat menaruh kambing kurban di pinggir jalan bahkan mungkin di sembarang tempat.
"Karena tidak ada tempat, kadang hewan kurban disimpan di depan pemukiman warga. Terkadang ini juga dilakukan oleh perorangan atau keluarga yang ikut memotong hewan kurban," kata dia kepada Tirto, Kamis (30/7).
Akibatnya, akses jalan cukup terganggu, ditambah dengan makanan hewan kurban seperti dedaunan. Apalagi ditambah parah lagi dengan kotoran hewan yang berceceran di jalanan pemukiman warga sampai mengeluarkan bau tidak sedap.
"Terkadang warga tidak masalah bau hewan kurban dan kotorannya, karena ini sudah tradisi setiap tahun dan mereka mengerti. Tapi ada saja yang tidak terima," ucapnya.
Saat penyembelihan, biasanya panitia mengalirkan darah hewan kurban ke selokan atau di lubang galian yang nantinya akan ditimbun dengan tanah.
Selain itu, terkadang panitia juga membuang limbah seperti bekas makanan hewan, kotoran, dan lainnya ke dalam selokan.
"Kalau pemukiman seperti perkomplekan biasanya mereka sanitasinya bersih. Bekas-bekas limbahnya dikumpulkan, dibuang ke tempat sampah, dan lokasi bekas pemotongan hewannya dibersihkan, agar tidak tertinggal bau tidak sedap," jelas dia.
Tetapi pada Iduladha tahun ini Indonesia, bahkan dunia tengah dilanda pandemi COVID-19. Sehingga penyelenggara kurban diwajibkan mengikuti Surat Edaran Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor: 0008/SE/PK.320/F/6/202O tentang Pelaksanaan Kegiatan Kurban dalam Situasi Wabah Bencana Non-alam COVID-19.
Begitu juga Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwa Nomor 36 Tahun 2020 Sholat Idul Adha dan Penyembelihan Hewan Kurban saat Wabah COVID-19.
Budaya Kurban di Arab Saudi
Dalam hukum Islam, berkurban hewan adalah sunnah yang artinya bila dilaksanakan memperoleh pahala dan tidak apa-apa bila tak berkurban. Sejarah kurban termaktub dalam kitab suci umat Islam, Alquran, yang menguji keteguhan keimanan Nabi Ibrahim menaati perintaah Allah untuk menyembelih putranya. Setelah mengikuti wahyu Allah, Nabi Ismail, putra Ibrahim, bukan disembelih ayahnya, tiba-tiba diganti seekor hewan yang besar. Menurut ahli tafsir, hewan tersebut adalah domba.
Dosen Jurusan Sastra Arab FIB UI, Luthfi Zuhdi menjelaskan budaya sebelum dan sesudah penyembelihan di Arab Saudi sedikit berbeda dengan Indonesia.
Misalnya dari jenis hewan yang dikurbankan, di Arab menggunakan kambing, domba, sapi, dan unta. Tak menggunakan kerbau karena tidak ada. Begitu pun sebaliknya, di Indonesia jarang menjadikan unta sebagai hewan kurban. Bahkan dalam sekali kurban, di satu tempat pemotongan dapat menyembelih puluhan ekor unta.
Kurban dengan kerbau, di antaranya di Kota Kudus, Jawa Tengah, karena ada kearifan lokal yang meyakini ada larangan dari tokoh penyebar Islam setempat bernama Dja’far Shodiq dikenal sebagai Sunan Kudus. Ia dikisahkan melarang kurban sapi dan mengganti dengan kerbau untuk menghormati warga Hindu yang saat itu telah ada di Kudus sebelum Islam masuk di era Kerajaan Demak Islam.
Menurut Luthfi, praktik penempatan hewan kurban tidak ada yang disimpan di pinggir jalan atau sembarang tempat. Sebab di Arab Saudi masih memiliki lahan yang luas untuk tempat hewan kurban.
Misalnya, apabila hewan kurban dikelola oleh kepanitiaan, akan disimpan di halaman atau lahan yang berdekatan dengan masjid. Lalu jika perseorangan atau keluarga, disimpan di halaman yang dekat dengan kediamannya.
Kemudian, ada juga yang langsung menyerahkannya ke Rumah Potong Hewan untuk langsung disembelih dan disaksikan oleh orang yang berkurban.
"Kalau di Arab Saudi itu masih banyak lahan untuk menampung hewan kurban," kata dia kepada Tirto, Kamis (30/7/2020).
Kemudian untuk pembuangan limbah hewan kurban seperti kotoran, sisa makanan, darah, dan sebagainya tidak dibuang di selokan seperti Indonesia. Sebab di Arab Saudi tidak terdapat selokan.
Biasanya mereka telah menyediakan tempat untuk menampung limbah sisa penyembelihan. RPH di Arab Saudi pun juga demikian, mereka telah memiliki standar sanitasi untuk menampung sisa-sisa hewan kurban.
Sementara beberapa suku pedalaman Arab Saudi, seperti Baduy mengubur limbah kurban di dalam pasir. "Jadi di sini [Arab Saudi] tidak ada yang membuang limbahnya di selokan, karena mayoritas lahannya gurun pasir," tuturnya.
Wakil Rektor UI itu juga menjelaskan jika di Indonesia membutuhkan empat sampai lima orang untuk menyembelih sapi. Sapi pun harus dijatuhkan dan ditindih terlebih dahulu lalu baru disembelih.
Sementara di Arab Saudi hanya satu orang saja untuk menyembelih seekor sapi. Posisi saat disembelih tak perlu dijatuhkan, sang algojo menyembelihnya saat dalam posisi berdiri. "Mereka sudah ahli, yang penting urat nadi leher putus dan sesuai syariat Islam," imbuhnya.
Kendati demikian, secara substansi budaya penyembelihan hewan kurban di Arab Saudi dengan Indonesia hampir sama. "Itu sama saja, yang penting sesuai dengan syariat, urat nadi terputus, dan aturan fikih," jelas dia.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Zakki Amali