tirto.id - Banjir berulangkali datang dan surut di Cipinang Utara, Jatinegara, Jakarta Timur. Daerah ini sejak 19 Februari lalu sudah tergenang banjir sebanyak tiga kali.
"Air datang subuh setelah semaleman hujan turun, kemudian malamnya sekitar pukul 1.00 WIB air surut dan kemudian kembali banjir sekitar pukul 5.00 pagi," kata Ketua RT 06 RW 13 kelurahan Cipinang Muara, Jatinegara, Yamsuri, Selasa (21/2/2017).
Yamsuri bercerita bahwa jika daerahnya merupakan daerah rawan banjir. Namun banjir tahun ini lebih parah dibanding setahun lalu. Tahun ini kedalaman banjir mencapai 175 centimeter.
Akibat banjir tahun ini setidaknya warga terdampak sudah mencapai 87 KK dan 268 jiwa, angka itu baru yang terdata di Posko Jalan Cipinang Bali IV. Jumlah aslinya bisa jadi lebih besar.
Akibat banjir tahun ini Yamsuri mengaku warganya banyak yang menopang hidupnya dari bantuan. Ia merinci Dinas Sosial DKI Jakarta telah menyumbang sebanyak 350 nasi bungkus. Simpatisan dari warga, berupa roti sebanyak 3 kardus. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebanyak 100 nasi bungkus. Sementara, pasangan calon Gubernur DKI Jakarta nomor urut dua memberi bantuan berupa nasi dan obat.
Ia mengaku beruntung kendati daerahnya dilanda banjir, warganya tidak ada yang terkena penyakit darurat, hanya sebatas pusing, dan gatal-gatal. Sejauh ini, mereka keadaan dalam kondisi baik-baik saja.
Yamsuri sendiri tak tahu kapan daerahnya bisa bebas dari banjir. Menurutnya, setahun lalu Pemprov DKI sudah mensosialisasikan pembangunan tanggul dan normalisasi sungai untuk mengatasi banjir. Ia juga menyatakan jika warga sepakat dengan adanya normalisasi sebab banyak warga diantaranya banyak yang memiliki sertifikat. Hanya saja kesepakatan harga belum saling cocok.
“Juli kemarin kita sampaikan ada penggusuran ternyata sampai sekarang masih ngambang. Kemarin dari walikota,” ujar dia.
Direktur eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jakarta, Puput TD Putra, punya pikiran serupa dengan Yamsuri. Menurutnya memang belum ada solusi konkret untuk mengatasi banjir Jakarta. “Banjir terus berlanjut karena memang belum ada solusi konkret dari pemerintah DKI Jakarta. Solusi hanya sebatas bersih-bersih sungai, normalisasi dan penggusuran di bantaran sungai,” ujarnya kepada Tirto, Selasa (21/2).
Lebih lanjut, ia melihat masih belum adanya sinergisitas antar lintas wilayah penopang Jakarta seperti Bogor dan Bekasi dalam proses penyelesaian banjir Jakarta. Hal tersebut dikarenakan Banjir Jakarta tida bisa diselesaikan secara parsial.
Jakarta, kata dia, perlu gerakan kolektif untuk penyadaran akan pentingnya lingkungan yang baik dan berkelanjutan. “Jakarta perlu RTH (Ruang Terbuka Hijau) 30% dari luar wilayahnya. Ini area bisa menjadi wilayah resapan air sementara saat ini, RTH Jakarta kurang lebih masih 10%,” tutur dia.
Ia menyarankan agar Pemprov DKI untuk mengedukasi masyarakatnya dalam mengelola sampah dengan baik, tidak membetonisasi halamannya untuk resapan semacam biopori dan sumur resapan, dan mematuhi aturan bangunan di Jakarta.
Selain itu, sinergi antara Jakarta dengan kota penyangga juga dianggap penting sebagai daerah “pengirim” air banjir. Banyaknya alih fungsi lahan di Bogor-puncak, ucap dia, harus dibenahi karena terdampak terhadap hilangnya fungsi tanaman dan fungsi resapannya.
“Terakhir, pemprov harus lakukan audit tata ruang di Jakarta, bila di temukan alih fungsi wilayah pemerintahan harus tegas menindak (wilayah RTH yang di alihfungsikan untuk pemukiman elit, hotel, apartemen dll),” ucap Puput mengakhiri.
Penulis: Chusnul Chotimah
Editor: Agung DH