Menuju konten utama

Baleg: Pers dan DPR Perlu Diskusi Bahas Revisi UU Penyiaran

Pers dan DPR perlu berdiskusi untuk mencari solusi agar revisi undang-undang penyiaran tidak mengekang kebebasan pers.

Baleg: Pers dan DPR Perlu Diskusi Bahas Revisi UU Penyiaran
Ilustrasi Kontributor Pers. foto/IStockphoto

tirto.id - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Guspardi Gaus, menanggapi polemik larangan media menayangkan konten atau siaran eksklusif jurnalisme investigasi, yang termaktub dalam Pasal 50B Ayat 2 butir c RUU Penyiaran. Beleid ini dinilai membungkam kebebasan pers.

Menurut Guspardi, pers dan DPR perlu berdiskusi untuk mencari solusi agar beleid itu tidak mengekang kebebasan pers dalam menjalankan aktivitas jurnalistiknya. Hasil diskusi dijadikan DPR untuk menyempurnakan RUU Penyiaran itu.

"Pers dan DPR bisa berdiskusi secara mendalam guna mencarikan win-win solution. Agar persoalan yang digalaukan itu menjadi piranti untuk mencari solusi, sehingga dunia pers tidak merasa dikebiri. Kami di Baleg juga bisa melakukan revisi dalam rangka kesempurnaan daripada RUU itu," kata Guspardi saat dihubungi Tirto, Selasa (21/5/2024) malam.

Legislator PAN itu memberi ruang kepada pers untuk memberikan masukan dan kritik demi penyempurnaan suatu UU. Mengingat, kata dia, RUU ini baru inisiatif DPR.

"Jadi, baleg atau DPR secara terbuka memberikan ruang kepada dunia pers untuk memberikan sumbangan saran, demi perbaikan penyempurnaan terhadap hal-hal yang disampaikan tadi," tutur Guspardi.

Sejumlah isi pasal kontroversi dalam RUU Penyiaran ini yakni larangan penayangan eksklusif konten investigasi. Hal itu termaktub dalam Pasal 50B Ayat 2 butir C, disebutkan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi bagian dari larangan Standar Isi Siaran (SIS).

Kemudian, poin penyelesaian sengketa oleh KPI. Pada Pasal 42 Ayat 2 sengketa jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai aturan undang-undang, dan dalam Pasal 51 huruf E sengketa hasil keputusan KPI bisa diselesaikan lewat pengadilan.

Sebelumnya, Aliansi Jurnalis Independen atau AJI menolak RUU Penyiaran utamanya Pasal 50 B Ayat (2) butir c. Menurut AJI, beleid itu membungkam pers.

Ketua Umum AJI, Nani Afrida, mengatakan jurnalisme investigasi merupakan produk jurnalistik dengan kasta tertinggi. Pembuatan produk jurnalistik ini juga tidak gampang serta membutuhkan waktu lama. Karena itu, ia menilai pasal itu membungkam kebebasan pers.

"Pembungkaman pers. Itu udah pasti agak aneh, ya, masa jurnalisme paling tinggi investigasi dilarang," kata Nani terheran-heran saat dihubungi Tirto, Senin (13/5/2024).

Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil menilai larangan media menayangkan konten atau siaran eksklusif jurnalisme investigasi yang termaktub dalam Pasal 50 B Ayat 2 butir c pada draft RUU Penyiaran menghambat pencegahan korupsi. RUU tersebut saat ini tengah digodok DPR RI.

Koalisi ini terdiri dari ICW, LBH Pers, Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN),Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Greenpeace Indonesia, AJI Indonesia, Watchdoc, dan AJI Jakarta.

"SIS (Standar Isi Siaran) dalam RUU Penyiaran soal liputan investigasi dapat menghambat pencegahan korupsi," tulis mereka dalam keterangan yang diterima Tirto, Jumat (17/5/2024).

Masyarakat Sipil memandang karya liputan investigasi jurnalistik yang ditayangkan di media tidak hanya sekadar pemberitaan. Namun, lebih dari itu, karya tersebut juga bentuk pencegahan korupsi khususnya di sektor publik.

Hasil liputan yang dipublikasikan di media massa akan menggerakkan masyarakat untuk terlibat dalam upaya pencegahan korupsi. Selain itu, para koruptor yang berniat melakukan kejahatan bisa jadi akan makin takut karena khawatir tindakannya terbongkar.

Di sisi lain, mereka menilai ketentuan RUU Penyiaran tumpang tindih dengan regulasi lain khususnya yang menyangkut UU Pers dan kewenangan Dewan Pers. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah mengatur kode etik jurnalistik dan kewenangan Dewan Pers.

"Ketentuan dalam RUU Penyiaran bertentangan pasal 4 Ayat (2) UU Pers yang menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran," jelasnya.

Baca juga artikel terkait RUU PENYIARAN atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Flash news
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Anggun P Situmorang