Menuju konten utama

Bahaya Kesehatan Menu Ikan Hiu dan Keracunan Berulang pada MBG

Penyajian menu ikan hiu yang tinggi kandungan logam berat dan merkuri menimbulkan tanya, apakah pemilihan menu MBG mempertimbangkan kesehatan anak?

Bahaya Kesehatan Menu Ikan Hiu dan Keracunan Berulang pada MBG
Ilustrasi Petugas SPPG menyiapkan paket Makan Bergizi Gratis (MBG). ANTARA FOTO/Jessica Wuysang/foc.

tirto.id - Siswa yang menjadi korban keracunan dari program Makanan Bergizi Gratis (MBG) terus bertambah. Kandungan makanan yang disajikan menjadi salah satu pangkal masalah ini terus berulang. Tak terkecuali bagi 24 siswa SDN 12 Benua Kayong di Ketapang, Kalimantan Barat yang diduga kuat mengalami keracunan usai menyantap MBG bermenu daging ikan hiu pada Selasa (23/9/2025).

Puluhan siswa mengalami gejala muntah dan sesak napas setelah melahap menu daging ikan hiu yang dikemas bentuk nugget tersebut. Selain murid, satu orang guru juga dikabarkan sebagai korban, dan mereka terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Hingga Kamis siang, sebanyak tiga orang masih menjalani perawatan di RSUD dr. Agoesdjam Ketapang. Gejala tambahan seperti demam mulai mereka rasakan.

Kepala Regional MBG Kalimantan Barat Agus Kurniawi melempar kasus keracunan ini ke pihak Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) setempat. Menurutnya, pemilihan menu daging goreng ikan hiu diputuskan oleh ahli gizi dari pihak SPPG. Namun, dia tidak menafikan soal bahaya ikan hiu jika dikonsumsi manusia.

“Harusnya menu yang dipilih itu yang digemari siswa. Anak-anak jarang sekali mengonsumsi ikan hiu. Bisa saja ikan hiu ini memiliki kandungan merkuri. Itu yang sangat saya sesalkan,” ucap Agus pada Rabu (24/9/2025).

Belakangan, pihak MBG Kalbar menonaktifkan Kepala Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Dapur Mitra Mandiri 2, M. Prayoga, dari jabatannya. Keputusan diambil sembari menunggu hasil investigasi pihak Badan Gizi Nasional (BGN) atas kasus keracunan yang diduga dari mengonsumsi daging ikan hiu ini.

“Ini terjadi karena kelalaian Kepala SPPG,” kata Agus.

Nanik Sudaryati Deyang

Nanik Sudaryati Deyang saat diskusi media di Jakarta, Senin (17/2/2025). (ANTARA/Anita Permata Dewi)

Adapun Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Nanik Sudaryati Deyang mengatakan pemilihan menu MBG disesuaikan dengan kearifan lokal masing-masing daerah. Ikan hiu dianggapnya bukan makanan yang tabu dikonsumsi oleh masyarakat di Ketapang.

Kayak hiu misalnya, ternyata di situ biasa memang hiu dihidangkan. Kalau enggak kan, di sini hiu mahal banget. Tapi karena di sana banyak hiu, jadi ya diberikan, dan itu dua kali dalam selama itu berjalan,” tutur Nanik pada Kamis (29/5), yang mengonfirmasi sudah dua kali menu hiu goreng disajikan dalam program MBG di Ketapang.

Nanik mengatakan investigasi yang sedang berjalan bakal memutuskan apakah daging hiu akan tetap disajikan atau sebaliknya. Jika terbukti penyebab keracunan puluhan siswa dan satu guru SDN 12 Benua Kayong karena mengonsumsi ikan hiu, maka daging itu akan dihapus dalam menu MBG.

Dia mengklaim bahwa faktor kasus keracunan pada pelaksanaan MBG selama ini bukan semata karena kandungan makanan. Tapi, katanya, kondisi penerima MBG juga turut menentukan.

“Tidak melulu karena keracunan, tapi ada juga disebabkan karena alergi makanan,” ucap Nanik.

Amankah mengonsumsi ikan hiu?

dr. Andreas Wilson mengatakan kebanyakan literasi internasional tidak menganjurkan manusia memakan ikan hiu. Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Kedokteran Universitas Dian Nuswantoro ini menekankan manusia yang mengonsumsi daging ikan hiu bakal secara otomatis terpapar merkuri dan logam berat lainnya, yang efeknya membahayakan kesehatan.

Wilson mewanti-wanti ikan hiu merupakan predator teratas dalam rantai pasok makanan di ekosistem laut, yang sejak lama tercemar logam berat. Sehingga terjadi bioakumulasi merkuri dan zat beracun lainnya di dalam tubuh ikan hiu lantaran memangsa seluruh ikan dan fauna laut lainnya. Semakin berusia ikan hiu, semakin banyak paparan logam berat dalam tubuhnya.

“Kandungan timbal pada ikan hiu dewasa itu lebih banyak dibanding ikan hiu anak-anak. Lalu kandungan arseniknya itu dua kali dari ikan hiu anak-anak. Bahayanya, bisa menyebabkan kerusakan pada sistem saraf,” kata Wilson kepada Tirto, Jumat (26/9/2025).

PERDAGANGAN SIRIP HIU

Pekerja menjemur sirip ikan hiu di Pabean Udik, Indramayu, Jawa Barat, Kamis (13/2/2020). ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/wsj.

“Jadi kita bisa kejang setelah makan ikan hiu karena banyak merkuri dan arsenik. Kenapa kejang karena zat beracun itu mengenai sistem saraf,” ia menambahkan.

Lain itu, ada urea yang juga termasuk kandungan beracun pada daging ikan hiu. Wilson mengatakan kandungan urea menimbulkan bau tak sedap dan amis berlebih dibanding ikan lainnya. Ini sejalan dengan keterangan dari pihak sekolah yang menerima hidangan makan daging hiu. Disebutkan muncul bau menyengat dari daging hiu yang tersaji.

“Saat mengonsumsi ikan hiu dalam jumlah banyak, itu kadar ureanya akan mengikat dalam tubuh sehingga efeknya bisa merusak ginjal,” kata Wilson.

Kandungan beracun lain yang ada di daging ikan hiu berasal dari mikroorganisme yang dikenal ciguatoxins. Menurutnya, bagian sirip ikan hiu paling banyak terpapar kandungan racun, termasuk ciguatoxins tersebut. Secara kumulatif, paparan zat beracun yang telah diuraikan bakal menyerang saraf.

Bicara kandungan ciguatoxins dalam ikan hiu, riset dari Lauren Meyer dkk. dalam Jurnal Toxicon, menemukan mikroorganisme itu memang terpapar dalam jumlah tertentu. Ihwal adanya bioakumulasi ciguatoxins pada ikan hiu tak terlepas lagi dari status pemangsa teratas rantai makanan.

“Setelah menetapkan hubungan antara posisi trofik (rantai makanan) dan bioakumulasi ciguatoxins, hiu yang menempati posisi tertinggi telah lama dianggap sebagai pembawa toksin,” petik riset.

"Ketika anak-anak sudah mengalami kejang pada usia dini, itu akan ada sekuel atau luka di otak sehingga pertumbuhan kognitif terhambat, akibatnya anak yang terpapar zat berbahaya dari daging ikan hiu akan memiliki IQ lebih rendah dibanding anak seusianya yang tidak mengalami kejang."

dr. Andreas Wilson

Wilson menjelaskan paparan zat berbahaya mulai dari logam berat hingga ciguatoxins pada ikan hiu yang dikonsumsi manusia bakal berdampak secara jangka pendek dan panjang. Cepat atau lambat maupun banyak atau sedikitnya paparan logam berat tergantung pula pada pengolahan daging. Dia meragukan pengelolaan daging hiu di dapur-dapur MBG dilakukan benar, semisal memastikan suhu di atas 80 derajat celcius. Ini karena produksi MBG dilakukan secara cepat dan massal.

“(Dampak jangka panjang) akan mengganggu pertumbuhan. Sebab ketika anak-anak sudah mengalami kejang pada usia dini, itu akan ada sekuel atau luka di otak sehingga pertumbuhan kognitif terhambat,” kata dia.

“Akibatnya anak yang terpapar zat berbahaya dari daging ikan hiu akan memiliki IQ lebih rendah dibanding anak seusianya yang tidak mengalami kejang,” imbuhnya kemudian.

Merujuk penelitian dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan di Amerika Serikat atau FDA, kandungan merkuri pada ikan hiu dalam ukuran maksimal mencapai 4.54 ppm. Riset ini merujuk pada populasi ikan hiu yang diambil sampelnya sejak periode 1991-2007. Kandungan merkuri pada ikan hiu menjadi yang terbesar dari hasil riset itu, selain ikan todak dan tilefish.

Merujuk riset lain dari FDA, konsumsi ikan hiu pada manusia, terlebih ibu hamil dan anak-anak dilarang. “Beberapa ikan (...) mengandung kadar merkuri yang lebih tinggi yang dapat membahayakan bayi yang belum lahir atau sistem saraf anak yang sedang berkembang,” petik hasil temuan.

Namun, paparan merkuri hasil temuan FDA itu terlampau besar jika merujuk regulasi internal pemerintah Indonesia soal batasan konsentrasi merkuri pada tubuh. Sebab, batas maksimal kandungan merkuri dalam darah yang ditetapkan pemerintah hanya sebesar 0,5 mikrogram/100 ml darah. Nilai itu termaktub dalam Bab II poin 4 pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 41/2019 Tentang Penghapusan dan Penarikan Alat Kesehatan Bermerkuri di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Urgensi Evaluasi Program MBG

Founder dan CEO CISDI, Diah Saminarsih, mengatakan perlu ada kejelasan dari pihak BGN dan SPPG setempat soal alasan memilih ikan hiu sebagai menu MBG. Tidak cukup bagi pemangku kepentingan memakai tekanan kearifan lokal sebagai alasan tunggal.

Diah tidak menyangka menu daging ikan hiu bisa masuk program MBG. Pemerintah dinilainya tidak memikirkan dampak kesehatan yang bakal diakibatkan atas kandungan logam berat daging hiu.

“Sebenarnya masih banyak sumber protein hewani selain daging hiu yang lebih berkelanjutan. SPPG setempat bisa menggantinya dengan ikan lokal jenis lain yang tidak langka. SPPG bersama pemerintah daerah dan masyarakat juga bisa mengikuti mekanisme kokreasi untuk memastikan desain menu lebih sensitif dan sesuai kebutuhan gizi anak-anak penerima manfaat program MBG,” kata Diah dalam jawaban tertulis yang ditunjukkan kepada Tirto, Jumat (26/9/2025).

Diah mendesak perlu adanya evaluasi dari pelaksanaan program MBG sebab masalah keracunan yang berulang tidak bisa dilihat secara kasus per kasus. Baginya, perencanaan dan penyelenggaraan program yang terburu-buru sejak Januari 2025 menyebabkan standar pengelolaan menu di SPPG tidak memiliki rujukan kualitas yang jelas.

“Kasus keracunan yang terjadi, menurut kami merupakan ekses dari ketiadaan payung regulasi dan ambisi untuk mencapai jumlah target penerima manfaat serta dapur,” jelasnya.

Menurutnya, mesti ada payung hukum MBG setingkat Perpres. Jika, adanya payung hukum, maka bakal terdapat pembagian peran yang lebih jelas antara pemerintah pusat (BGN), pemerintah daerah, SPPG, sektor swasta, dan sekolah. Hal ini penting demi bisa memastikan mekanisme evaluasi dan monitoring efektivitas program berjalan.

“CISDI mendesak untuk moratorium program MBG dan pemerintah harus segera melakukan evaluasi,” kata Diah.

Menyoal kasus keracunan, menukil data yang dikumpulkan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), setidaknya ada 5.360 anak korban keracunan MBG per 14 September 2025. Masuk 21 September 2025, korban keracunan bertambah menjadi 6.452 anak. Artinya, hanya dalam waktu sepekan, korban keracunan MBG bertambah 1.092 anak.

Sikap pemerintah terhadap MBG

Merespons kasus keracunan dalam program Makan Bergizi Gratis ini pemerintah akhirnya mengambil sejumlah kebijakan. Badan Gizi Nasional (BGN) selaku penyelenggara program MBG menutup dapur yang terbukti tidak menjalankan SOP (Standard Operational Procedure) dengan baik.

Setidaknya 40 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang terbukti tidak menjalankan standar operasional prosedur (SOP) dengan baik resmi ditutup BGN.

“Sampai sore hari ini kami mencatat ada 45 dapur kami yang ternyata tidak menjalankan SOP dan menjadi penyebab terjadinya insiden keamanan pangan. Dari 45 dapur itu, 40 dapur kami nyatakan ditutup,” kata Wakil Kepala BGN, Nanik S. Deyang, dalam konferensi pers yang digelar di Kantor BGN, Jakarta Pusat, Jumat (26/9/2025).

Dalam konferensi pers itu Nanik juga menyampaikan permohonan maaf atas nama BGN. Saat meminta maaf, Nanik tak kuasa menahan tangisnya.

“Atas nama BGN, atas nama seluruh SPPG di Indonesia, saya mohon maaf. Saya seorang ibu, melihat gambar-gambar di video sedih hati saya,” ucap Nanik lirih. Ia juga menyatakan bahwa BGN akan seluruh biaya perawatan korban keracunan MBG.

Selain itu, BGN juga tengah menjalankan investigasi menyeluruh atas pelaksanaan program MBG ini dan membuka kanal pengaduan untuk warga yang ingin melaporkan masalah dan sebagainya. Kepala Biro Hukum dan Humas BGN, Khairul Hidayati, mengatakan hotline pengaduan akan mulai melayani aduan setiap hari kerja, Senin-Jumat, pada pukul 09.00-22.00 WIB. Setiap laporan, dikatakannya, akan diverifikasi dan ditindaklanjuti sesuai mekanisme yang berlaku.

"Untuk memudahkan, kami menyediakan dua nomor yang bisa dihubungi, yakni 088293800268 (Operator 1) dan 088293800376 (Operator 2)," kata Hida. Selain menerima aduan, saluran pengaduan juga berfungsi sebagai pusat informasi terkait program MBG. Hida menyebut masyarakat dapat menghubungi hotline untuk menanyakan teknis program, distribusi pangan, maupun standar kualitas yang diterapkan dalam MBG.

Baca juga artikel terkait MAKAN BERGIZI GRATIS atau tulisan lainnya dari Rohman Wibowo

tirto.id - News Plus
Reporter: Rohman Wibowo
Penulis: Rohman Wibowo
Editor: Rina Nurjanah