Menuju konten utama
GWS

Inkompetensi bak Penyakit di Tubuh Organisasi

Inkompetensi bak virus berbahaya. Ia bisa menular ke segala lini dan berdampak terhadap keluaran yang dihasilkan, baik di perusahaan maupun instansi.

Inkompetensi bak Penyakit di Tubuh Organisasi
Ilustrasi inkompetensi di tubuh perusahaan atau organisasi. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Di Indonesia, sangat mudah kita menemui pengguna jalan, baik motor ataupun mobil, yang berkendara dengan buruk. Tidak jarang pula mereka dengan sengaja melanggar rambu lalu lintas. Selain mencelakakan diri sendiri, mereka berisiko membahayakan pengguna jalan lain. Begitulah kira-kira analogi inkompetensi yang menjangkiti organisasi, perusahaan, ataupun instansi.

Tom Nichols dalam The Death of Expertise menilai, kompetensi atau kepakaran merupakan perpaduan antara pendidikan, bakat, pengalaman, dan pengakuan rekan sejawat. Di antara itu, latar belakang pelatihan dan pendidikan formal adalah kriteria yang paling mudah diidentifikasi.

Sialnya, makin hari, makin banyak orang-orang tidak kompeten, baik di perusahaan swasta, organisasi, ataupun instansi pemerintahan. Bahkan, keberadaannya malah diterima sebagai pemandangan wajar.

Di ruang parlemen, ada begitu banyak orang yang jauh dari latar belakang politik, misalnya yang datang dari kalangan artis. Di dunia kesenian, mereka jelas jago dan kenyang pengalaman. Akan tetapi, di bidang hukum ketatanegaraan, politik, dan sejenisnya, perlu kita pertanyakan ulang.

Organisasi keolahragaan Indonesia menjadi salah satu wadah lain yang memampang dengan gamblang wajah orang-orang macam itu. Lebih parahnya lagi, mereka merangkap jabatan di instansi lain. Misalnya, seseorang dari kepolisian memperoleh mandat memimpin organisasi olahraga. Bahkan, jabatan sekaliber menteri olahraga juga amat jarang dipimpin oleh akademisi olahraga.

Masih banyak deretan sosok nirkompeten yang berada di dalam perusahaan, organisasi, maupun instansi pemerintah. Tak jarang di antaranya menduduki posisi strategis. Jika posisi ketua diisi dengan orang nirkompeten, bisa kita bayangkan bagaimana potensi kacaunya organisasi tersebut.

Kompetensi Adalah Kunci

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, muncullah sistem pembagian kerja agar semua hal berjalan lancar dan efektif. Hal itu membawa konsekuensi tuntutan spesialisasi. Setiap orang yang mengisi divisi masing-masing dituntut memenuhi kriteria dan kompetensi tertentu.

Idealnya, setiap domain kerja dipimpin oleh pakar di bidang terkait. Adapun jajarannya diisi oleh para profesional. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Tom Nichols, dari beberapa indikator untuk menilai kepakaran seseorang, pelatihan dan pendidikan formal bisa dibilang sebagai kriteria yang paling mudah diidentifikasi.

Dalam pekerjaan tertentu, bahkan, pendidikan formal menjadi syarat wajib. Di sektor kedokteran, misalnya, semua pekerjanya wajib berpendidikan formal S1 dan menjalani masa co-assistant sebelum bekerja menangani pasien.

Profesi di bidang kedokteran pun tidak bisa ditukar-tukar. Seorang dokter spesialis mata, sebagai misal, tidak boleh memberikan resep kepada pasien penyakit paru-paru, meskipun ia memunyai pengetahuan dasar tentang penyakit dalam.

Hadirnya spesialis dan pakar pada suatu bidang sangatlah memengaruhi keberhasilan dan ketercapaian tujuan, baik jangka pendek ataupun panjang. Seturut catatan penelitian Daniel P. Kohler dan kolega, dalam "Expertise and Specialization in Organization: a Social Network Analysis" (2025), keberhasilan organisasi bergantung pada orang-orang yang memegang keterampilan secara tepat.

Orang kompeten akan bekerja lebih baik di suatu perusahaan atau organisasi ketimbang yang tidak berkompeten. Mereka akan melakukan pekerjaan secara efektif dan efisien. Dengan begitu, produksi atau pelayanan menjadi lancar, yang pada akhirnya berpengaruh positif pada neraca ekonomi perusahaan tersebut.

Sehatnya keuangan dalam perusahaan tentu berimpak pada kesejahteraan seluruh buruh. Jika organisasi tersebut adalah penyedia jasa, layanan untuk klien pun akan makin prima. Menurut Juan Pablo Madiedo, dalam jurnal berjudul Production and Operations Management (2020), jika ditangani dengan manajerial yang baik, kinerja para buruh kompeten bakal makin efektif.

Selain memperlancar produksi dan pelayanan, orang-orang kompeten dapat menjadi sumber pengetahuan yang penting. Mereka akan mudah menyebarkan wawasan yang kredibel untuk orang-orang di sekitarnya. Ketika memberikan pernyataan di media massa atau di hadapan publik, mereka akan membagikan pendapat objektif dan mudah dipahami. Sebab, semuanya berasal dari pengetahuan yang sudah dikuasainya.

Orang-orang kompeten memunyai kesadaran kuat tentang batas pengetahuannya. Sebaliknya, menurut Tom Nichols, masih dalam buku yang sama, orang-orang nirkompeten rentan mengabaikan batas kemampuannya sendiri dan merasa tahu segala hal. Mereka pun terkesan keras kepala dan enggan menerima masukan, bahkan meskipun hal yang dikerjakannya amburadul dan tidak sesuai rencana.

Pengidap Dunning-Kruger Pembawa Bencana

Orang nirkompeten yang berhasil masuk ke dalam organisasi, terlebih bisa menjadi pemimpin, sangat mungkin mengidap sindrom Dunning-Kruger.

Dalam buku Sukacita Sains (2023), Jim Al Khalili menjelaskan, Dunning-Kruger merupakan bentuk lain dari bias kognitif: orang berkemampuan rendah dalam suatu bidang menaksir keterampilannya secara berlebihan. Mereka menganggap dirinya kompeten, bahkan di atas rata-rata, padahal sebenarnya tak berkemampuan di bidang tersebut.

Menurut penemu istilah tersebut, David Dunning dan Justin Kruger, dalam Journal of Personality and Social Psychology (1999), kesalahan dalam menaksir kemampuan diri sendiri biasanya disebabkan oleh rendahnya kemampuan metakognitif. Hal itulah yang membuatnya tidak bisa melihat kekurangannya secara akurat. Mereka tidak sadar bahwa dirinya nirkompeten.

Ilustrasi inkompetensi

Ilustrasi inkompetensi di tubuh perusahaan atau organisasi. FOTO/iStockphoto

Masalah fundamentalnya adalah ketidakmampuan menyadari kondisi diri sendiri. Mereka memunyai rasa percaya diri berlebih sehingga berani mengambil keputusan tanpa meminta pertimbangan kolega ataupun pimpinan.

Jika keputusannya ternyata salah dan membawa dampak buruk, pengidap Dunning-Kruger tidak memunyai beban moral untuk bertanggung jawab secara penuh. Mereka akan meminta maaf seadanya dan mencari-cari alasan eksternal. Orang-orang seperti itu tidak akan ambil pusing terhadap kritikan dari siapa pun sebab kadung menganggap keputusannya sebagai alternatif terbaik.

Over Confidence dalam Ruang Politik

Jika satu orang nirkompeten di organisasi kecil saja sudah menimbulkan bencana, bagaimana kalau jumlahnya terus bertambah dan membludak? Bagaimana jika mereka berada dalam instansi-instansi pemangku kebijakan publik, baik di tingkat daerah maupun pusat? Jelas bahayanya akan makin berlipat-lipat karena dampaknya dirasakan oleh masyarakat luas.

Lauri Rapeli, dalam artikel jurnal berjudul "Illusion of knowledge: Is the Dunning-Kruger effect in political sophistication more whispread than before?" (2024), menjustifikasi kekhawatiran tersebut. Revolusi digital yang terjadi dalam kurun waktu beberapa dekade terakhir, berdasarkan efek Dunning-Kruger, sangat masuk akal membuat orang nirkompeten memersepsikan dirinya cakap dalam berpolitik.

Bukti menyebutkan, angka prevalensi Dunning-Kruger dalam kurun 2008 hingga 2020 terus meningkat. Hal itu terkait erat dengan melimpahnya berita politik yang bisa diakses secara daring sepanjang waktu.

Pemimpin yang terjangkit efek Dunning-Kruger terlampau percaya diri dalam mengambil keputusan, meski hanya berbekal informasi dangkal dan seadanya. Alhasil, untuk menentukan suatu kebijakan, mereka merasa tidak membutuhkan kajian akademik ataupun pendapat para ahli—buah dari efek Dunning-Kruger yang membuat orang salah menaksir kemampuannya.

Ilustrasi inkompetensi

Ilustrasi inkompetensi di tubuh perusahaan atau organisasi. FOTO/iStockphoto

Lihat contoh nyatanya pada perubahan regulasi mengenai penjualan gas LPG 3 kg yang pada akhirnya merenggut korban jiwa. Kecerobohan itu bisa dihindari apabila pembuat regulasinya mau mendengarkan masukan dari masyarakat dan para ahli. Pada akhirnya kebijakan kontroversial tersebut dibatalkan beberapa hari setelah dihujani protes dari masyarakat.

Begitu pula program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dijalankan sejak awal 2025 lalu, perlahan tapi pasti merenggut korban. Secara beruntun, di beberapa tempat yang berbeda, ratusan siswa keracunan MBG. Namun, program yang menghabiskan alokasi dana triliunan tersebut toh tetap berjalan di tengah kritikan tajam dari berbagai kalangan.

Belum lagi proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) yang menyedot APBN, menjadi contoh nyata kengeyelan pemimpin. Bangunan, yang merusak ratusan ribu hektar lahan hijau di Kalimantan, itu toh kini tidak berfungsi sebagaimana rencana awal. Hutan habis, satwa tersingkir, utang negara menggunung, dan ternyata Ibu Kota Indonesia masih tetap di Jakarta.

Pola Pikir Kritis sebagai Solusi

Munculnya individu nirkompetem dalam organisasi, instansi, maupun perusahaan, dipengaruhi oleh beberapa faktor. Selain praktik nepotisme, rekrutmen yang hanya didasarkan pada kedekatan serta pilihan masyarakat yang tidak kritis—dalam konteks pemilu—juga menjadi penyebabnya.

Perihal ini telah dijelaskan secara terang oleh Crombach & Bohn dalam jurnal berjudul "Uninformed voters with (im)precise expectations: Explaining political budget cycle puzzles" (2022). Menurut analisisnya, pemilih yang tidak memunyai cukup informasi mengenai seorang calon akan dirugikan dengan hasil pemilu. Salah satunya adalah terpilihnya pribadi-pribadi nirkompeten.

Pemilih yang tidak teredukasi dengan baik cenderung mencoblos berdasarkan sosoknya, entah karismatik atau populer, alih-alih karena latar belakang keahlian dan visi misi. Hal itulah yang membuat orang-orang nirkompeten dengan mulus menguasai kursi yang seharusnya ditempati oleh para pakar dan profesional.

Hari-hari ini, kita makin akrab dengan pernyataan para pejabat yang membuat geram. Mulai dari musisi cum DPR yang berkomentar seksis dalam pembahasan olahraga hingga wakil presiden yang getol menggembar-gemborkan kecerdasan buatan, padahal ia tidak berlatar belakang pendidikan teknologi informasi. Sederet blunder itu melengkapi permasalahan pelik lain: polisi mulai mengurus ladang dan militer mencoba merangsek masuk ke perguruan tinggi.

Maraknya inkompetensi di ranah-ranah profesional tidak bisa dianggap remeh. Satu langkah progresif untuk menghentikannya adalah membangun masyarakat yang kritis terhadap pernyataan-pernyataan yang terlontar dari orang-orang nirkompeten, baik di instansi pemerintahan maupun perusahaan. Publik harus membekali dirinya dengan informasi yang kredibel dari pakar, profesional, dan orang-orang kompeten dengan bidangnya.

Tom Nichols berpesan, dalam konteks bernegara, republik dimaksudkan sebagai kendaraan bagi pemilih yang memiliki informasi. Harapannya, mereka dapat memilih orang lain untuk mewakili mereka, termasuk mengambil keputusan atas nama mereka. Memilih orang-orang yang kompeten sama artinya dengan menyelamatkan demokrasi.

Orang kompeten jelas bukan orang yang selalu benar. Suatu waktu mereka pasti berbuat salah. Namun, persentase kesalahannya tentu jauh lebih kecil daripada orang-orang nirkompeten. Mereka tahu batas pengetahuannya sehingga bisa memberikan pernyataan yang akurat dan terukur.

Baca juga artikel terkait MILD REPORT atau tulisan lainnya dari Kukuh Basuki Rahmat

tirto.id - Mild report
Kontributor: Kukuh Basuki Rahmat
Penulis: Kukuh Basuki Rahmat
Editor: Fadli Nasrudin