tirto.id - Belajar mengajar tatap muka dinilai terlalu berisiko ketika vaksin COVID-19 untuk anak belum tersedia. Pemerintah diminta jangan buru-buru merealisasikan kebijakan tersebut.
Rencana membuka kembali sekolah pada Juli 2021 disampaikan oleh Presiden Joko Widodo saat mengunjungi SMAN 70 Jakarta, Rabu (24/2/2021). Ia bilang sekolah dibuka setelah semua guru dan tenaga pendidikan selesai divaksin. Program akan dimulai di DKI Jakarta, baru berlanjut di provinsi lain.
“Targetnya pada Juni nanti 5 juta guru, tenaga pendidik dan kependidikan, semuanya Insya Allah sudah bisa kita selesaikan (program vaksinasi), sehingga Juli, saat mulai ajaran baru, semuanya bisa berjalan normal kembali,” kata Jokowi.
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menilai rencana tersebut terlampau optimistis. “Saya merasa terlalu prematur sekolah dibuka Juli. Kami menolak kalau serentak dibuka normal. Itu berbahaya dan berisiko,” kata Satriwan melalui sambungan telepon, Senin (1/3/2021).
Untuk bisa membuka sekolah serentak dengan aman, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah, katanya. Pertama soal vaksinasi guru itu sendiri. Total guru, tenaga pendidikan, dan juga dosen di Indonesia itu sekitar 5 juta. Dengan jumlah sebanyak itu dan melihat progres vaksinasi saat ini, ditambah lagi bulan puasa, waktu yang tersedia menurutnya terlalu mepet. “Jangan dulu [vaksin] anak, untuk para guru saja saya masih ragu untuk terlaksana,” katanya.
Kedua, karena belum banyak yang divaksin, ia ragu kekebalan kelompok sudah muncul. “Guru dan tenaga pendidikan sudah divaksin, sementara anak belum divaksin, masyarakat banyak yang belum. Jadi belum herd immunity. Anak-anak berpotensi jadi carrier (pembawa virus).”
Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan sebenarnya sekolah telah diizinkan melakukan kegiatan belajar di sekolah mulai Januari lalu dengan syarat dan ketentuan tertentu. Di antaranya sekolah berada di zona hijau, siap melaksanakan protokol kesehatan, dan siswa diizinkan oleh orang tua.
Sebagian sekolah ada yang telah melaksanakan pembelajaran langsung dan sebagian besar telah menyatakan kesiapan melalui pendataan Kemendikbud.
Satriwan lagi-lagi sangsi itu benar-benar aman sebab klaim kesiapan sekolah yang dibuat secara online tersebut belum betul-betul diperiksa.
Hal senada diungkapkan oleh Ketua Umum Jaringan Sekolah Digital Indonesia (JSDI) Muhammad Ramli Rahim kepada reporter Tirto, Senin. Menurutnya pembukaan sekolah serentak saat anak belum mendapatkan vaksin sangat tidak aman. “Karena sesungguhnya yang membutuhkan perlindungan adalah anak didik,” katanya.
“Pemerintah jangan terlalu pede tatap muka jika siswa belum divaksin, pemerintah tetap harus siap dengan dua alternatif, yakni online dan offline,” ujarnya.
Keraguan para aktivis pendidikan itu diperkuat dengan pernyataan epidemiolog sekaligus peneliti dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Mouhamad Bigwanto. “Rencana membuka sekolah bulan Juli menurut saya perlu dikaji ulang. Hal yang perlu diperhatikan di antaranya kesiapan infrastruktur di sekolah-sekolah dalam menerapkan protokol kesehatan,” kata Bigwanto kepada reporter Tirto, Senin.
Vaksin COVID-19 untuk kelompok usia anak yang sampai saat ini belum tersedia di seluruh dunia juga seharusnya menjadi pertimbangan. Anak-anak, kata dia, sangat rentan tertular karena pemberlakuan protokol kesehatan terhadap mereka bisa lebih sulit dibandingkan dengan orang dewasa. “Harusnya selain vaksinasi, pedoman pelaksanaan dari sekarang sudah ada dan dibagikan ke sekolah-sekolah,” ujarnya.
Syarat
Berdasarkan SKB 4 Menteri, pembelajaran tatap muka hanya diperbolehkan untuk sekolah yang telah memenuhi daftar periksa--meliputi ketersediaan sarana sanitasi sampai pengukur suhu badan. Daftar periksa berikutnya adalah memiliki pemetaan warga satuan pendidikan yang memiliki komorbid yang tidak terkontrol, tidak memiliki akses transportasi yang aman, memiliki riwayat perjalanan dari daerah dengan tingkat risiko COVID-19, dan belum menyelesaikan isolasi mandiri.
Terakhir, mendapatkan persetujuan komite sekolah atau perwakilan orang tua/wali.
Kemudian pembelajaran tatap muka dilakukan dengan mengikuti protokol kesehatan yang ketat menerapkan jaga jarak 1,5 meter. Jumlah siswa dalam kelas pada jenjang Sekolah Luar Biasa (SLB) maksimal 5 per kelas dari kapasitas normal 5-8, pendidikan dasar dan pendidikan menengah maksimal 18 dari standar awal 28-36, dan pada jenjang PAUD maksimal 5 peserta didik dari standar awal 15.
Penerapan jadwal pembelajaran, jumlah hari, dan jam belajar dengan sistem pergiliran rombongan belajar ditentukan oleh masing-masing sekolah sesuai dengan situasi.
Mendikbud Nadiem Makarim, dalam pernyataan pers melalui daring, Senin (1/3/2021), mendorong agar lebih banyak sekolah membuka sekolah sesuai dengan syarat ketentuan tersebut. “Kami mendorong semua daerah untuk mulai melakukan [pembelajaran] tatap muka secara terbatas. Bahkan kalau satu dua kali seminggu, tapi proses latihan ini luar biasa pentingnya. Vaksinasi harapannya bisa mengakselerasi proses itu dalam beberapa bulan ke depan,” kata Nadiem.
Ia mendorong ini karena banyak daerah kesulitan untuk menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) karena berbagai kendala termasuk sinyal.
“Tolong sekali para pemerintah di daerah segera melakukan [pembelajaran] tatap muka karena kita tidak mau anak-anak lebih tertinggal lagi,” ujarnya.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino