tirto.id - Siang di akhir pekan itu, Zulaikha tengah duduk santai di kursi plastik miliknya yang berwarna merah muda. Raut wajahnya terlihat lelah dan tatapannya sedikit menerawang penuh kekosongan.
Tak lama berselang, ia buka suara; menceritakan pengalamannya menghadapi banjir yang menerjang tempat tinggalnya di Johar Baru, Jakarta Pusat pada awal tahun ini.
Dari penuturannya, saya menangkap kata “stres,” “sedih,” dan “enggak bisa ngapa-ngapain” lebih dari sekali. Ia juga menegaskan bahwa banjir tahun ini adalah “yang terparah dibanding tahun-tahun sebelumnya.”
Zulaikha tak sekadar bicara. Tahun 2020 baru berjalan dua bulan dan Jakarta sudah dikepung banjir sebanyak enam kali, imbas dari curah hujan yang tinggi. Banjir menyebabkan puluhan ribu orang mengungsi, aktivitas bisnis tersendat, puluhan ruas jalan terbenam air, sampai kerugian materiil yang jumlahnya tak sedikit.
Ketika banjir meluap ke permukaan, pembahasan tak mungkin lengkap tanpa menyebut nama Johar Baru, salah satu pemukiman padat di Jakarta.
“Saya Enggak Pengen Pindah”
Kendati kerap jadi langganan banjir, Zulaikha tak punya niat untuk pindah dari Johar Baru. Baginya, Johar Baru tak sekadar tempat tinggal; ia merupakan bagian yang turut andil dalam membentuk jati dirinya sebagai seorang manusia.
“Saya cari makan di sini, dibesarkan di sini, dan anak-anak saya juga mengalami masa kecilnya di sini,” terangnya seraya membenarkan posisi kacamatanya yang menurun. “Banjir [memang] bikin sedih. Tapi, saya enggak pengen pindah karena bagaimanapun ini rumah saya, tempat tinggal saya.”
Untuk sebagian orang, pilihan tetap tinggal di tempat yang sudah pasti jadi langganan banjir, seperti yang dilakukan Zulaikha, tentu meninggalkan tanda tanya sekaligus dipandang tak rasional. Asumsi “tak rasional” tersebut kian memperoleh justifikasinya manakala Anda melihat kondisi riil Johar Baru.
Johar Baru merupakan kecamatan yang terletak di daerah administrasi Jakarta Pusat. Ada empat kelurahan di dalamnya: Johar Baru, Kampung Rawa, Tanah Tinggi, serta Galur. Keempat wilayah ini direkatkan satu kesamaan: padat penduduk.
Wajah kepadatan itu bisa Anda lihat ketika deretan rumah berdiri dan saling berhimpit di tengah gang kecil yang hanya bisa dilewati satu motor, dan di dalam gang-gang kecil ini pula hadir banyak manusia yang menaruh harapan dan penghidupan.
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada 2018 menerangkan ada 143.227 orang tinggal di daerah seluas 2,37 km persegi ini. Angka tersebut membuat Johar Baru memiliki tingkat kepadatan penduduk sebesar 60.433/km persegi dan menjadikannya sebagai kawasan permukiman terpadat di Asia Tenggara.
Ihwal predikat tersebut turut diakui Sandiaga Uno, mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta, pada 2018. Sandiaga, sebagaimana dilaporkan Kompas, menyatakan Johar Baru memiliki tingkat penduduk terpadat di Asia dan mengalahkan India.
Tetangga Tak Ubahnya Keluarga
Windar Agus terlihat sedang membersihkan latar depan rumah ketika saya menyapanya pada Sabtu (22/2/2020) sore. Ia menyambut dengan ramah, mempersilakan duduk, dan menawarkan saya segelas minuman━kopi, air putih, atau teh manis hangat. Sama seperti Zulaikha, Windar tinggal di Johar Baru, tepatnya di Gang Pelita VII, sejak lahir serta menempati rumah peninggalan orang tuanya.
Kepada saya, Windar bercerita tentang suka dan duka selama hidup di Johar Baru. Ia sadar betapa banjir bikin masyarakat Johar Baru kesusahan; air yang masuk ke rumah menyebabkan barang-barang semacam kasur, baju, hingga kursi menjadi basah. Belum lagi kotoran yang ditinggalkan air-air yang menggenangi rumah penduduk.
“Pokoknya, kalau banjir datang itu semua tegang, panik, dan secepat mungkin menyelamatkan barang-barang di dalam,” ujar lelaki berusia 50 tahun ini.
Pengalaman menghadapi banjir, mau tak mau, suka tak suka, mendorong Windar untuk beradaptasi. Saat hujan mulai turun dengan deras, Windar segera meminta anggota keluarganya siaga dan mengangkat barang-barang yang ada. Selain itu, ia juga telah menyiapkan karung berisi tanah yang nantinya dipasang di depan rumah agar air tak masuk.
Pendeknya, banjir membuat Windar belajar untuk bertahan.
Rencana untuk pindah ke tempat yang lebih aman bukannya tak pernah terlintas di pikirannya. Berkali-kali ia melemparkan wacana tersebut kepada anggota keluarga yang lain.
“Saya coba menawarkan untuk pindah ke rusun, yang aman dan kalau ada banjir enggak kena,” Windar bilang. “Tapi, rencana itu tak terlaksana.”
Alasan Windar bertahan cukup sederhana: ia kadung betah tinggal di Johar Baru. Ia merasa nyaman karena kehangatan yang timbul antara satu tetangga dengan tetangga lainnya. Sikap guyub ini pun seketika mengurungkan niatnya untuk angkat kaki dari Johar Baru.
“Warga sini kompak. Ketika ada yang seneng, semua ikut seneng. Sebaliknya, ketika ada yang susah, pasti dibantu,” tegasnya. Ia takut jika memutuskan pindah, kehangatan semacam itu tak tersedia di tempat barunya kelak.
“Kekompakan itu yang mungkin jadi kekuatan kami di sini buat bertahan, meski jadi langganan banjir,” pungkasnya.
Dikepung Konflik Sosial
Banjir bukannya satu-satunya perkara yang mesti dihadapi masyarakat Johar Baru. Masalah lain yang juga muncul adalah tawuran.
Pada Juni 2019, misalnya, tawuran antarwarga meletus di persimpangan Jalan Narada, depan Pos Polisi Tanah Tinggi, Johar Baru, menjelang malam. Mereka yang terlibat kebanyakan remaja, dengan memanfaatkan benda-benda seperti batu sampai petasan sebagai senjata tempur.
Satu bulan setelahnya, Juli, tawuran lagi-lagi terjadi. Kali ini berlokasi di Galur pada dini hari. Menurut keterangan polisi, mengutip pemberitaan CNN Indonesia, satu orang terluka akibat sabetan senjata tajam.
Dua kasus di atas hanyalah gambaran kecil dari potret Johar Baru yang keras. Cecep Supriatna, 37, warga Johar Baru, mengakui di daerah tempat tinggalnya kerap terjadi tawuran. Penyebabnya, kata Cecep, yang sehari-hari bekerja menjadi juru parkir, adalah hal-hal sepele.
“Kayak ledek-ledekan antarorang sampai urusan cinta-cintaan,” tegasnya seraya tertawa.
Namun, urusan kecil berubah jadi besar manakala individu yang bermasalah melibatkan campur tangan kelompok yang ada. Paling tidak, demikianlah kesimpulan penelitian Setyo Sumarno berjudul “Problema dan Resolusi Konflik Sosial di Kecamatan Johar Baru-Jakarta Pusat” (PDF, 2014).
Studi Sumarno menyebut ada puluhan geng di Johar Baru, seperti Geng Bengal, Salah Dikit Golok (Sadigo), Golongan Dayak (Golday), Lelaki Poyah-Poyah (Lepoy), sampai Bocah Nekat Kampung Rawa (Bonekar).
Meski begitu, konflik sosial yang lahir di Johar Baru juga turut disumbang oleh kepadatan penduduk dan ruang di dalamnya. Pendapat ini dikemukakan Made Suryanatha Prabawa, Wita Indriani, dan Heni Dewiyanti lewat penelitian bertajuk “Mitigasi Spasial terhadap Bencana Sosial di Pemukiman Johar Baru” (2019).
Ketiganya berpendapat konflik sosial di Johar Baru dapat lahir sebab warga tidak memperoleh akses akan ruang hunian yang proporsional. Sehari-hari mereka harus berhadapan dengan jalan kampung yang sempit maupun rumah yang berhimpitan. Faktor ini, tulis Made dan kawan-kawan, lantas membuat warga tak mampu membentuk interaksi sosial yang maksimal.
Walhasil, “mereka memanfaatkan jalan utama sebagai tempat berkumpul sehingga rentan [muncul] provokasi berujung tawuran.”
Made dan kawan-kawan menegaskan minimnya ruang interaksi warga bukanlah kondisi tunggal penyebab tawuran di Johar Baru. Keadaan tersebut berkelindan dengan masalah lain seperti pengangguran, kemiskinan, sampai kurangnya sosok panutan yang dihormati.
Cecep bercerita tawuran kerap terjadi di daerah Rawa Tinggi dan eskalasinya tidak ada yang menyamai bentrok pada 2003, yang melibatkan warga Johar Baru dan Paseban. Sama seperti jejak tawuran yang lainnya, bentrok 2003 dipicu saling serang secara verbal antar orang-orang di dua kampung tersebut.
“Waktu itu [tawuran] gede banget dan lama, dari malam sampai pagi. Yang ikut [tawuran] juga banyak. Kita yang di sini sampai berani mati pokoknya,” kenang Cecep. “Baru berakhir setelah polisi dan TNI datang mengamankan.”
Cecep menambahkan bentrok antar warga yang terjadi dalam kurun waktu belakangan kian mudah diredam berkat bantuan organisasi masyarakat seperti Pemuda Pancasila (PP) dan Forum Betawi Rembug (FBR).
“Ketika mereka sudah turun, bentrok enggak lama kemudian akan selesai,” ucapnya, yakin. “Karena pada dasarnya PP atau FBR punya wilayah [kekuasaan] di Johar Baru.”
Wilayah kekuasaan dua ormas tersebut, Cecep bilang, terbentang dari lahan parkir, pasar, sampai zona ekonomi yang banyak diisi para PKL (Pedagang Kaki Lima).
Saat saya tanya apakah PP dan FBR punya riwayat bentrok di Johar Baru, Cecep dengan cukup bangga menjawab:
“Enggak. Mereka akur. Kalau ada kemungkinan bentrok, pasti bisa dicegah oleh para petingginya.”
Kuncinya Ada di Pendekatan
Masalah yang ada di Johar Baru tak dapat selesai dalam satu malam. Perlu proses yang panjang, tenaga yang besar, serta sinergi kuat antar pemangku kepentingan, entah itu warga maupun pemerintah.
Kendati begitu, menurut Amalia Nur Indah Sari, peneliti RUJAK Center for Urban Studies, lembaga think-act-tank yang berfokus pada isu tata kota, kunci penyelesaian terletak pada pendekatan yang dipakai pihak-pihak terkait.
“Kepadatan di kota-kota besar itu pasti akan terjadi. Entah padat orang, bangunan, atau infrastruktur. Masalahnya bukan ada pada kepadatan itu, melainkan bagaimana cara mengatasinya,” tuturnya kepada Tirto.
Bila memang kawasan pemukiman padat penduduk seperti Johar Baru ingin ditata, kata Amalia, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mesti melakukan pendekatan terlebih dahulu, secara komprehensif, kepada masyarakat sekitar. Karena, bagaimanapun, penataan bisa terealisasi selama penduduk di dalamnya punya kesiapan yang utuh.
“Artinya, penduduk punya kesadaran untuk memperbaiki daerah tempat mereka tinggal. Kesadaran itu adalah elemen yang krusial dalam menentukan semuanya,” tegas perempuan lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) ini saat ditemui Tirto di kantor RUJAK di Cikini, Jakarta Pusat.
Pemerintah, dalam konteks penataan pemukiman padat, tak boleh sekadar mengusulkan rencana relokasi ke rusun tanpa melibatkan peran dan kontribusi warga. Keterlibatan warga dalam setiap keputusan yang hendak diambil, apakah ingin bertahan atau pindah, harus tetap jadi prioritas.
“Selama ini pemerintah sering menganggap warga resisten dengan wacana-wacana semacam itu. Padahal, enggak juga demikian. Warga perlu tahu kemungkinan-kemungkinan yang tersedia dan berhak menentukan apa yang ingin mereka dapatkan,” papar Amalia.
Argumen Amalia memang benar. Keterlibatan warga adalah kunci. Jika dialog dan, pada akhirnya, konsensus itu tercapai, maka penggusuran paksa maupun cara-cara yang bersifat represif lainnya tak akan lagi relevan dipakai.
Dan ini berlaku pula di Johar Baru.
==========
M. Faisal Reza Irfani adalah penulis independen asal Surakarta. Minat kepenulisannya terbentang luas dari musik indie hingga politik internasional; dari film non-mainstream sampai hukum tata negara. Di kala mahasiswa ia pernah menjadi Presiden BEM FH UNS.
Editor: Irfan Teguh