Menuju konten utama

Bagaimana Vietnam Memenangkan Perang Lawan COVID-19

Kendati memiliki keterbatasan faskes, Vietnam sukses memerangi COVID-19. Apa rahasianya?

Bagaimana Vietnam Memenangkan Perang Lawan COVID-19
Pengendara sepeda motor melewati petugas bertopeng di Hanoi, Vietnam, Rabu, 1 April 2020. Vietnam pada hari Rabu memulai dua minggu jarak sosial untuk menahan penyebaran COVID-19. (AP Photo/Hau Dinh)

tirto.id - "Coba sebutkan, negara mana yang berhasil menerapkan lockdown?"

Pertanyaan retorik itu dilontarkan Presiden Joko Widodo dalam wawancara dengan Najwa Shihab dalam program Mata Najwa yang tayang pada Rabu (22/4/2020) lalu.

Pertanyaan ini mudah dijawab dengan menyebut sederet nama negara. Salah satunya negara tetangga, Vietnam.

Tak ada lagi kasus positif baru COVID-19 di negara tersebut sejak 15 April. Jumlah kasus berhenti di angka 270, menurut situs WorldoMeter dan John's Hopkins University & Medicine. 222 di antaranya dinyatakan sembuh per 28 April.

Vietnam, sampai saat ini, juga belum melaporkan kasus kematian akibat COVID-19.

Data-data ini bisa saja meragukan, tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, seperti yang pernah ditudingkan ke Venezuela. Namun sejumlah ahli kesehatan Amerika Serikat mengatakan mereka percaya angka-angka tersebut.

Atas situasi tersebut, pemerintah Vietnam resmi mencabut kebijakan social distancing pada Rabu 22 April. Perdana Menteri Nguyen Xuan Phuc menyatakan sudah tidak ada provinsi yang memiliki status “sangat rawan” atau zona merah pandemi, dikutip dari Independent.

Nguyen, dengan percaya diri, juga mengatakan kalau "pada dasarnya mengendalikan pandemi ini."

Sejumlah bisnis yang bukan termasuk kebutuhan pokok memang tetap ditutup. Ibu kota negara, Hanoi, juga masih memberlakukan karantina wilayah hingga 30 April dengan pertimbangan tingkat risiko penularan virus tinggi.

Namun statistik di atas tetap saja menunjukkan bahwa Vietnam sukses berperang melawan SARS-CoV-2. Lalu, bagaimana hal tersebut bisa dilakukan, apalagi mempertimbangkan fakta geografis kalau mereka berbatasan langsung dengan daratan Cina, negara pertama COVID-19 ditemukan?

Pelacakan Masif

Pada akhir Januari, pemerintah Vietnam telah mengumumkan “perang” terhadap virus Corona kendati belum banyak kasus positif dilaporkan. Saat itu episentrum penyebaran virus masih di Cina.

“Melawan virus sama dengan melawan musuh,” ujar PM Nguyen dalam sebuah rapat dengan Partai Komunis Vietnam, mengutip Deutsche Welle.Saat itu ia mengatakan kedatangan virus ke Vietnam hanya tinggal menunggu waktu.

Kendati siap perang, 'alat tempur' mereka tak bisa dibilang mumpuni. Vietnam terbentur dengan dua isu besar yang justru menjadi faktor utama suksesnya sebuah negara memerangi COVID-19, yakni anggaran dan fasilitas kesehatan.

Vietnam tidak memiliki kapasitas kesehatan semumpuni, misalnya, Jerman dan Korea Selatan yang mampu melakukan 350 ribu tes. Jumlah dokter pun terbatas. Dari data Bank Dunia menyebut hanya ada delapan dokter untuk setiap 10 ribu penduduk di Vietnam. Bandingkan dengan Italia dan Spanyol yang memiliki 41 dokter untuk setiap 10 ribu penduduk, atau Amerika Serikat dan Cina yang masing-masing memiliki 26 dan 18 dokter per 10 ribu penduduk.

Wali Kota Ho Chi Minh City Nguyen Thanh Phong sempat mengakui mereka akan kewalahan kalau virus menyebar di kotanya, yang hanya memiliki 900 ranjang ICU.

Karena fakta-fakta itulah Vietnam segera mengambil langkah cepat: melakukan karantina wilayah. Karantina d sana bahkan lebih awal dibandingkan Cina yang memberlakukan lockdown sebagai upaya terakhir.

Pada 1 Februari, atau sehari setelah dua kasus pertama ditemukan, Vietnam langsung membatalkan penerbangan dari dan ke Cina. Kemudian pada 12 Februari, Vietnam mengkarantina 10 ribu penduduk di Son Loi, sebuah distrik sekitar 40 kilometer dari Hanoi selama tiga minggu setelah mengetahui ada pasien positif dari daerah tersebut.

Selain aktif melacak, konten media pun dikontrol pemerintah. Vietnam mengancam denda bagi siapa pun yang kedapatan membagikan hoaks maupun misinformasi terkait COVID-19. Sudah ada 800 orang yang diberi sanksi.

Selain itu, Vietnam melakukan tracing dan surveillance terhadap orang yang pernah berkontak dengan pasien positif. Tak seperti Jerman yang hanya melacak orang yang berkontak langsung, Vietnam melacak hingga orang keempat.

Vietnam juga mengkarantina pendatang dari negara zona merah COVID-19 selama 14 hari. Sementara seluruh sekolah dan kampus ditutup sejak awal Februari.

Tak seperti negara maju macam Jerman atau Selandia Baru yang memanfaatkan medis dan teknologi, Vietnam mengerahkan militer untuk membantu melacak pasien COVID-19 dan menegakkan aturan karantina. Petugas keamanan dan intelijen dari Partai Komunis juga ditugaskan memantau. Kerja-kerja mereka yang saban hari berkeliaran menjadi pemandangan lumrah di jalan-jalan dan pedesaan Vietnam.

Sistem pelacakan ini juga dibantu oleh masyarakat yang juga ikut memantau lingkungan.

Peran sentral masyarakat juga terkait dengan bagaimana mereka mematuhi peraturan dari pemerintah. Nguyen Van Trang, seorang ekonom asal Hanoi, mengatakan kalau orangtuanya bersaksi ia belum pernah melihat tingkat kepatuhan dan disiplin seperti saat ini sejak Perang Vietnam (1957-1975).

Pembicaraan di media sosial menunjukkan banyak dari warga Vietnam yang memang setuju dengan langkah pemerintah, kendati belum ada studi yang membuktikan itu. Mereka bahkan menyebut Wakil Perdana Menteri Vu Duc Dam, pejabat paling aktif dalam memerangi COVID-19, sebagai 'pahlawan nasional'.

Andil Pemerintahan Komunis?

Penduduk sebenarnya berkorban banyak selama pandemi ini. Melansir Deutsche Welle, 3 ribu bisnis di Vietnam tutup dalam dua bulan pertama 2020. Taipan seperti Vin Grup bahkan sudah menutup puluhan hotel dan resor karena pandemi memukul keras sektor pariwisata.

Pemerintah sebenarnya menyiapkan sekitar 1 miliar dolar AS sebagai bantuan likuidasi untuk menggenjot perekenomian. Namun Kementerian Keuangan mengingatkan pemasukan pajak akan seret dalam beberapa waktu ke depan.

Untuk itu, pemerintah meminta warga untuk memberi donasi dalam menghadapi pandemi, yang, lagi-lagi, dituruti oleh masyarakat.

Beberapa pihak mengatakan keberhasilan ini tak dapat dilepaskan dari konfigurasi politik Vietnam yang hanya dikuasai satu partai: Partai Komunis, juga kekuatan militer. Keduanya memiliki struktur hingga tingkat paling bawah, pun dapat membuat keputusan dan implementasi dengan cepat. Orang-orang patuh bukan karena tak mau tertular virus, tapi takut oleh aparatus.

Karena itulah weforum.org menyebut cara-cara Vietnam mungkin tidak ideal bagi negara yang memilih jalan demokrasi.

Namun bagi Viet Phuong Nguyen, seorang peneliti keamanan, penjelasan bahwa Vietnam sukses melawan COVID-19 karena berideologi komunis adalah "generalisasi" yang "mengabaikan beberapa fitur politik domestik." Fitur-fitur yang dimaksud turut berkontribusi atas keberhasilan menangani pandemi.

Pertama, katanya, sistem kesehatan Vietnam telah dibuat sedemikian rupa agar fokus melakukan pencegahan. Kedua, pemerintah pusat dan daerah transparan dalam komunikasi publik sehingga masyarakat percaya bahwa para pejabat tengah bekerja keras. Ketiga, para pejabat publik memang tengah berlomba-lomba bekerja sebaik-baiknya untuk meningkatkan jabatan di partai. Tidak becus menangani pandemi, maka mereka harus siap tersingkir dari partai. Vice versa.

"Hasil dari langkah-langkah selama pandemi ini sangat penting... selama perlombaan ke posisi teratas Partai Komunis setelah kongres ke-13 pada awal 2021," tulis Viet Phuong. "Catatan buruk selama periode genting ini dapat menyebabkan mereka tidak dipromosikan atau terpilih kembali."

Baca juga artikel terkait PANDEMI CORONA atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Rio Apinino