tirto.id - Ketika COVID-19 mengguncang dunia, Venezuela, sebuah negara di Amerika Selatan, sedang tidak baik-baik saja. Situasi politik dan ekonomi tidak stabil karena intervensi Amerika Serikat.
Kepemimpinan Presiden Nicolás Maduro yang terpilih secara sah dan konstitusional lewat pemilu pada Juli 2018 disanggah oleh rivalnya, Juan Guaido. Guaido menyatakan jabatan presiden kosong pada 23 Januari 2019 dan mengambil sumpah sebagai Pelaksana Tugas Presiden Venezuela dengan dukungan AS.
Campur tangan AS tak cuma itu. Kamis 26 Maret kemarin, Jaksa Agung AS William Barr mendakwa Presiden Maduro dan 14 pejabat dan bekas pejabat Venezuela sebagai 'teroris narkoba'. Siapa saja yang dapat memberi informasi yang dapat berujung pada penangkapan Maduro akan diberi hadiah 15 juta dolar AS.
Pada hari yang sama, pemerintah Venezuela mengumumkan kematian pertama akibat COVID-19. Pria, 47 tahun asal Aragua itu sebelumnya menderita “penyakit paru-paru,” kata Wakil Presiden Delcy Rodriguez. Pasien itu sempat didiagnosis menderita pneumonia, sebelum tiga hari kemudian hasil tesnya positif COVID-19.
Akademisi dan diplomat AS Cynthia Arnson dan Oriana Van Praag bilang, dakwaan yang dikeluarkan AS tak mungkin datang di waktu yang lebih buruk. “Kerentanan Venezuela sulit untuk dilebih-lebihkan,” tulis mereka di Americas Quaterly. Selain miskin, sistem kesehatan negara itu sedang tidak dalam keadaan mampu menghadapi pandemi.
Indeks Keamanan Kesehatan Global yang dibikin Johns Hopkins University menempatkan Venezuela sebagai satu dari 20 negara dengan sistem kesehatan terburuk. Survei LSM Doctors for Health tahun lalu menyebut 63 persen rumah sakit di negeri itu pernah mengalami mati listrik, 20 persen di antaranya kepayahan menyediakan air, dan 70 persen menerima air hanya sekali atau dua kali seminggu. Tak hanya itu, mereka juga kekurangan stok sabun.
“Bukan rahasia lagi kalau kami tidak siap dengan (pandemi) ini,” kata dokter Martin Carballo, ahli epidemiologi di Caracas University Hospital, salah satu rumah sakit andalan pemerintah Venezuela. Masalahnya, mereka juga tengah mengalami keterbatasan stok: disinfektan, klorin, sarung tangan operasi, masker, dan dana, sebagaimana yang dialami semua rumah sakit di sana. Venezuela bahkan cuma punya dua kasur di ICU, yang tengah diupayakan ditambah jadi 30.
“Ada banyak ketakutan, baik pada masyarakat umum dan di antara dokter juga. Kepanikan nyata tentang apa yang akan terjadi,” tambah Carballo.
Bantuan Internasional dan Kesigapan Maduro
Namun, keadaan di Venezuela tak seburuk yang diprediksi ahli, juga yang digambarkan media barat. Hingga 3 April kemarin, tercatat 146 kasus positif dengan tiga kematian, sementara 43 pasien dinyatakan sembuh. Angka positif dan jumlah kematian itu adalah yang paling kecil di kawasan Amerika Latin, yang jumlah tertingginya dicatat Brasil dengan 8.066 kasus positif dengan 327 kematian.
Kevalidan data tersebut tentu dapat disanksikan. Ia bisa saja justru jadi gambaran keterbatasan sistem kesehatan Venezuela yang mungkin tidak bisa melakukan tes massal. Meski demikian, faktanya rezim Maduro telah melakukan beberapa kebijakan sigap dalam situasi politik dan ekonomi yang serba kekurangan.
Pada 12 Maret lalu, sehari sebelum kasus positif pertama diumumkan, Maduro telah menetapkan kondisi darurat kesehatan nasional. Ia melarang kerumunan orang banyak, dan membatalkan penerbangan dari Eropa dan Kolombia.
Setelah mengumumkan dua orang pertama yang terjangkit COVID-19, rezim Maduro mengambil langkah lanjutan: menutup bioskop, bar, dan klub malam, meliburkan sekolah, mewajibkan pemakaian masker di subway dan perbatasan, serta membatasi restoran untuk melakukan pesan-antar saja.
Maduro sempat mengajukan pinjaman 5 miliar dolar AS kepada Dana Moneter Internasional (IMF) untuk menanggulangi COVID-19. Namun, permohonan itu ditolak dengan alasan kepemimpinannya tidak mendapat pengakuan dunia internasional.
Pada 17 Maret, hari keempat setelah pengumuman kasus pertama, Maduro menetapkan status karantina nasional sekaligus membuka survei online untuk mengecek siapa saja yang mengalami gejala. Pada hari kedelapan, ketika 42 orang dilaporkan terinfeksi, sekira 90 persen penduduk telah dikarantina. Pada hari kesebelas, lebih dari 12 juta orang mengisi survei tersebut, dan lebih dari 20 ribu orang yang melaporkan dirinya sakit didatangi tenaga medis profesional di rumah mereka. Sebanyak 145 orang dites COVID-19.
Pemerintah Maduro sendiri memprediksi tanpa tes tersebut, Venezuela mungkin punya 3 ribuan orang terinfeksi dan angka kematian yang tinggi.
Kebijakan itu tak bisa dilakukan rezim Maduro sendiri. Solidaritas dari negara lain adalah kunci. Senin, 16 Maret kemarin, Cina mengirim alat tes COVID-19 yang memungkinkan 320 ribu warga Venezuela diuji, lengkap dengan sejumlah ahli dan berton-ton pasokan bantuan medis termasuk masker.
Kuba mengirim 130 dokter dan 10 ribu dosis Interferon Alfa-2b, obat yang diklaim digunakan Cina untuk melawan COVID-19. Sementara Rusia juga mengirim bantuan pasokan alat medis yang sampai Selasa malam, 24 Maret. Ketiga negara tersebut punya hubungan tidak baik dengan pemerintahan AS.
Selain kebijakan pemerintah, warga juga punya peran sentral untuk mencegah laju penyebaran virus lebih lanjut. Leonardo Flores, pakar kebijakan Amerika Latin, mengatakan sepanjang pandemi, “tidak ada kepanikan di jalanan; sebaliknya, orang tenang dan mengikuti protokol kesehatan.”
Ia mengatakan sikap demikian dapat muncul karena rakyat Venezuela telah terbiasa dengan krisis. Selama tujuh tahun terakhir, mereka hidup dari satu krisis ke krisis lain, dari mulai menghadapi kematian Presiden Hugo Chávez yang sangat populer, protes politik dari kelompok sayap kanan, kudeta, hingga upaya pemberontakan militer.
“Coronavirus adalah jenis tantangan yang berbeda, tetapi krisis sebelumnya telah menanamkan ketahanan rakyat dan memperkuat solidaritas masyarakat,” katanya.
Cynthia Arnson dan Oriana Van Praag mendorong agar negara-negara lain, juga dunia internasional secara umum, turut serta membantu Venezuela. Keduanya menegaskan: “Respons internasional yang kuat untuk membantu Venezuela adalah keharusan atas nama kemanusiaan, sekaligus syarat bagi stabilitas regional.”
Editor: Rio Apinino