tirto.id - YouTube kerap bikin orangtua serba salah. Meski YouTube digadang-gadang mampu menyediakan ruang edukasi buat anak, tak sedikit orangtua yang khawatir pada banyaknya konten negatif yang berseliweran di dalamnya. Walhasil, orangtua turun tangan melakukan penyensoran manual.
Pekan lalu adalah pekan yang mungkin cukup melegakan bagi orangtua di Indonesia. Pada Kamis (6/9), Google resmi merilis aplikasi YouTube Kids, aplikasi dengan konten video ramah anak di Indonesia.
Diluncurkan pertama kali pada 2015, YouTube Kids sudah tersebar di lebih dari 37 negara. Google mengklaim bahwa sudah ada lebih dari 70 miliar penayangan di aplikasi tersebut sejak 2015. Aplikasi ini juga telah digunakan oleh lebih dari 11 juta keluarga.
Tidak seperti aplikasi reguler YouTube, konten YouTube Kids lebih mudah dikontrol oleh orangtua. Meski masih terkoneksi ke aplikasi YouTube reguler, konten-konten YouTube Kids telah disaring melalui algoritma khusus.
"Prioritas utama kami adalah memberikan pengalaman terbaik bagi keluarga dan anak-anak untuk mengakses konten ramah keluarga," kata Kepala Kerjasama Anak-Anak dan Pembelajaran YouTube Asia Pacific, Don Anderson.
Melalui YouTube Kids, orangtua dapat secara manual memberikan akses pada video atau kanal yang mereka setujui untuk ditonton oleh anak. Misalnya, orangtua bisa membatasi penggunaan YouTube Kids hanya untuk mengakses kanal-kanal yang menjadi rekanan dan dikurasi khusus oleh YouTube.
YouTube Kids diklaim akan mendapatkan pembaruan sehingga orangtua bisa mengontrol penuh untuk memilih kanal di luar rekanan yang dipilih oleh YouTube.
Kontroversi Sensor di YouTube
Bagi Yosua Kristanto (31 tahun), perkara konten online yang boleh dan tak boleh ditonton anaknya adalah hal krusial. Ia khawatir akan akses digital anak yang luar biasa luas.
"Level kognisi anak 'kan masih rendah untuk bisa menilai mana yang baik dan yang tidak. Mereka cenderung menyerap semua yang mereka konsumsi," katanya pada Tirto.
Selama ini, lanjutnya, Yosua memilihkan konten apa yang boleh disaksikan sang anak. "Sering akses YouTube, tapi kita yang mencarikan. Bukan dia yang cari di YouTube-nya."
Hal yang sama dipraktikkan oleh Nabilla Utami Dhiya Rahmani (25 tahun). Ia selalu menyeleksi konten untuk anaknya yang kini berusia 3,5 tahun. "Konten internet kadang susah untuk dikontrol," kata Nabilla yang pernah melihat anaknya tak sengaja beberapa kali mengakses konten dewasa.
Kekhawatiran Nabilla bukannya tidak beralasan. Meski YouTube Kids mengklaim telah melakukan kurasi untuk video-video ramah anak, algoritmanya masih menyimpan sejumlah kelemahan. Akibatnya, konten-konten yang sesungguhnya tidak layak untuk anak masih dapat diakses di aplikasi tersebut.
"Sudah jelas bahwa sejak lama pemfilteran alogaritma di YouTube Kids tidak bekerja dengan baik," kata Josh Golin, Direktur Eksekutif the Campaign for Commercial Free Childhood, seperti dikutip dari Guardian.
Golin menyambut baik perubahan yang dilakukan oleh YouTube Kids dalam memberikan akses lebih luas pada orangtua untuk menyensor konten. Menurutnya, upaya itu adalah sebuah kemajuan.
Anak-anak di Amerika Serikat, misalnya, masih dapat mengakses konten-konten video dari kanal Jake Paul melalui kotak pencarian dalam aplikasi YouTube Kids.
Jake Paul adalah fenomena di AS. Ia dan kakaknya Logan Paul adalah bintang YouTube di AS yang usianya masih muda. Sayangnya, konten-konten yang mereka buat sering dinilai tak layak ditonton anak. Meski demikian, dalam banyak wawancara, Jake Paul mengatakan bahwa banyak dari penonton kanalnya adalah anak berusia 8-16 tahun.
Problem lain yang disoroti Josh Golin adalah fakta bahwa ada banyak anak yang masih mengakses aplikasi reguler YouTube. Pengakuan Yosua dan Nabilla mengonfirmasi masalah tersebut. Mereka tak tahu bahwa YouTube Kids telah beredar di pasar aplikasi.
Untuk diketahui, YouTube dan perusahaan induknya Google telah beberapa kali terlibat kontroversi terkait konten ramah anak.
Pada November 2017, misalnya, Vicemelaporkan bahwa YouTube telah menghapus lebih dari 270 akun dan menyingkirkan 150.000 video. Perusahaan itu juga telah mematikan kolom komentar pada lebih dari 650.000 video yang menjadi ditonton predator anak.
"Konten yang membahayakan anak itu mengerikan dan kami tak bisa menerimanya," demikian pernyataan resmi Google pada 2017.
Langkah itu diambil Google menyusul sejumlah perusahaan internasional yang menarik iklan mereka dari YouTube. Pasalnya, ada laporan yang menyebutkan bahwa iklan-iklan perusahaan tersebut muncul berdampingan dengan komentar-komentar bernada seksual di konten tontonan anaK.
Mashable melaporkan bahwa banyak pula kanal populer di YouTube dan YouTube Kids yang secara tidak langsung menyiarkan konten kekerasan. Kanal-kanal ini rupanya mengakali alogaritma. Boks pencarian YouTube juga sempat dilaporkan mempromosikan frasa-frasa yang berkaitan dengan pedofilia.
YouTube memang tidak tinggal diam. Selama tiga bulan terakhir tahun 2017, YouTube menghapus lebih dari 8 juta konten yang tak pantas.
Secara luas, Kaspersky Lab dalam keterangan tertulisnya yang diterima Tirto melaporkan bahwa pada 2018 masih terdapat anak di Indonesia yang mengakses situs web yang mengandung konten dewasa.
Perlukah Sensor?
Meski menganggap sensor penting, Yosua dan Nabilla yakin bahwa pendampingan orangtua secara langsung mutlak dibutuhkan anak.
Nabilla mengaku sempat kecolongan ketika anaknya ternyata mengakses konten-konten yang penuh adegan kekerasan. Pernah juga sang anak tak sengaja memutar video berkonten dewasa. Walhasil, sejak itu Nabilla mengawasi anaknya saat menggunakan internet. Caranya? Membatasi interaksi sang buah hari dengan gawai.
Sementara bagi Yosua, hubungan emosional antara orangtua dan anak menjadi hal yang sangat penting untuk mengurangi pengaruh negatif konten-konten di Internet yang sulit ia kontrol. "Jadi, dia bisa mengembangkan rasa ingin tahunya dan punya kebiasaan untuk bertanya pada orangtua mengenai hal-hal yang baru dia tahu."
Yosua merasa bahwa di dunia yang semakin digital ini, komunikasi riil antara orangtua dan anak adalah prioritas tidak tergantikan sebab bisa memupuk rasa percaya anak pada orangtua.
"Kalau anak lebih punya kepercayaan ke dunia virtual ketimbang ke orangtua yang secara fisik ada di samping dia, nanti orangtua akan lebih kesulitan menegur anak ketika koreksi dan teguran dibutuhkan," pungkasnya.
Editor: Windu Jusuf