tirto.id - Vaksin CoronaVac buatan perusahaan farmasi asal Cina Sinovac Biotech Ltd yang mengantongi izin penggunaan darurat (EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akhirnya mulai dipakai, kemarin (13/1/2021). Presiden Joko Widodo jadi orang pertama yang disuntik.
Salah satu tahap yang dilalui sebelum dipakai massal adalah uji klinis. Rini Dwi Andini adalah salah satu relawannya. Mengapa ia akhirnya mau menjadi relawan? Adakah efek samping ketika uji klinis--yang mungkin juga bakal dirasakan orang lain?
Rini sadar bahwa ia harus berbuat sesuatu untuk mengakhiri pandemi ketika suatu hari sadar suasana di sekitar kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) yang biasanya ramai sudah hampir setahun sepi lantaran kebanyakan aktivitas dialihkan ke dalam jaringan (daring). Ketika itu dia teringat Universitas Padjajaran (Unpad) sedang membutuhkan relawan uji klinis fase tiga.
“Saya pikir harus ada solusi, apakah lewat obat vaksin atau bagaimana. Saya coba review lagi informasi soal vaksin ini dan uji klinis yang dilakukan di luar negeri. Mudah-mudahan ini bentuk effort saya, semoga bisa membantu banyak orang keluar dari situasi ini,” kata Rini kepada reporter Tirto, Rabu (13/1/2021).
Setelah melalui serangkaian tes kesehatan, seperti tes PCR dan tes urine, tanggal 6 September Rini hadir di Puskesmas Dago untuk penyuntikan dosis pertama uji klinis vaksin COVID-19. Ada 20 orang yang hadir di sana hari itu, sementara total relawan yang disuntik di berbagai lokasi mulai 11 Agustus ada 1.620.
Rini dan relawan lain tidak diperkenankan pulang setelah disuntik. Mereka harus menunggu 30 menit agar tim uji bisa melihat efek samping yang mungkin muncul.
Rini tidak merasakan ada yang berbeda kecuali pusing dan lengan yang disuntik pegal. Itu pun terjadi hanya dalam skala kecil dan tidak bertahan lama. Tak sampai 30 menit efek itu sudah hilang dengan sendirinya.
“Dokter bilang itu reaksi yang wajar dan normal. Setiap vaksin begitu karena tubuh menyesuaikan sesuatu yang masuk ke dalam. Kalau bayi dan anak-anak ada yang sampai demam,” kata Rini.
Herlina Agustin, juga relawan uji klinis, pun hanya mengalami sedikit pegal di lengan yang disuntik. Pegal itu tak bertahan lama lama dan hilang dengan sendirinya. Hal itu juga dialami oleh relawan vaksin lain di kloter yang sama dengannya. Pada penyuntikan berikutnya dua minggu berselang, pegalnya semakin tak terasa.
“Saya baik-baik saja. Habis disuntik vaksin itu pegal sama ngantuk. Kalau buat saya sih enggak lama, satu jam selesai,” kata Herlina.
Relawan lain yang menceritakan pengalamannya adalah Asanilta Fahda. Ia bersama beberapa anggota keluarga lain menjadi relawan karena sang ayah yang memerintahkan, tetapi ayah sendiri absen karena usianya sudah di atas 60.
Nilta mengaku selain nyeri otot, setelah divaksin ia juga pusing hingga hampir pingsan. Semua gejala baru hilang beberapa menit setelah diberi ibuprofen. Ia menduga itu terjadi karena ketika disuntik ia sedang dalam kondisi tidak fit: kurang tidur, tidak sarapan, dan menstruasi hari pertama. Buktinya, pada penyuntikan kedua, ia mengaku tidak mengalami reaksi seperti itu lagi selain nyeri otot.
“Enggak perlu takut tentang efek sampingnya karena itu normal banget. Yang perlu ditekankan kondisi tubuh harus fit saja, untuk menghindari efek samping yang lebih intens,” ujar Nilta kepada reporter Tirto, Rabu.
Setelah penyuntikan, relawan harus mengisi kartu catatan harian selama 14 hari. Mereka diminta menulis gejala klinis seperti nyeri, kemerahan, pembengkakan, pendarahan, dan lain-lain dalam skala 0-5 (nol berarti tidak merasakan gejala). Tiga relawan yang Tirto wawancarai mengaku tidak merasakan gejala klinis apa pun, bahkan Rini dan Herlina pernah menjadi kontak erat COVID-19 tetapi hasil tes PCR menunjukkan keduanya negatif.
Ketua BPOM Penny K Lukito mengatakan berdasarkan uji klinis diketahui muncul efek samping skala ringan dan sedang yang bersifat lokal seperti iritasi, pembengkakan, dan yang bersifat sistemik seperti nyeri otot, kelelahan, dan demam. Dilaporkan pula ada efek samping berat seperti sakit kepala, diare, dan gangguan kulit, tetapi hanya sekitar 0,1-1 persen dan juga terjadi pada relawan yang diberikan plasebo.
Sementara Juru Bicara Program Vaksinasi Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menegaskan vaksin COVID-19 di Indonesia terjamin aman dan halal. Ia pun meminta masyarakat tak ragu divaksin. "Dengan divaksin kita memberikan perlindungan kepada diri sendiri dan orang yang kita sayangi. Takutlah pada virusnya, jangan dengan vaksinnya," ujar Nadia kepada reporter Tirto, Rabu.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino