tirto.id - Prabowo Subianto pernah menyampaikan keinginannya menjadikan Ganjar Pranowo sebagai calon wakil presidennya di Pilpres 2024. Banyak pihak berandai-andai bagaimana jika hal itu benar terjadi?
Keinginan Prabowo untuk meminang Ganjar secara terang-terangan diungkapkan oleh Prabowo dalam diskusinya dengan Najwa Shihab di acara Mata Najwa, Jumat, 30Juni 2023.
"Jujur ya, kalau chemistry, saya oke sama beliau (Ganjar). Orangnya easy to get along with. Orangnya baik, niatnya baik. Tadinya aku berharap sebenarnya saya bersama beliau (sebagai pasangan capres-cawapres). Tadinya," ungkap Prabowo.
Tetapi, Prabowo menyadari harapannya bersama Ganjar sulit diwujudkan karena Gubernur Jawa Tengah itu telah diusung oleh PDIP sebagai Capres. Alih-alih berlayar di dalam perahu yang sama, keduanya akan berhadapan sebagai lawan dalam Pilpres 2024.
Namun demikian, Prabowo berkelakar, apabila nantinya Ganjar ingin menjadi Cawapresnya, dia menyambut dan mempertimbangkan dengan terbuka.
"Siapa tau nanti ujungnya Ganjar mau jadi wakil saya, nanti kita pertimbangkan. Tapi enggak ada masalah kita bersaing dengan baik," kata Prabowo.
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto menegaskan pada Senin, 24 April 2024 bahwa Ganjar tetap akan maju sebagai Capres bukan Cawapres, sebagaimana telah diputuskan oleh Ketua Umum PDIP, Megawati Sukarnoputri.
Hasto bilang, jika Megawati sebagai Ketua Umum dan tokoh sentral PDIP sudah mengambil keputusan, maka tidak akan ada perubahan, meskipun matahari terbit dari barat.
Bagaimana Bila Ganjar Jadi Cawapres Prabowo?
Merujuk hasil survei elektabilitas atau tingkat keterpilihan dari sejumlah lembaga survei, Ganjar dan Prabowo dari awal selalu bersaing ketat.
Keduanya konsisten menempati posisi satu atau dua dengan perbedaan perolehan sangat tipis. Ganjar maupun Prabowo juga didukung oleh koalisi partai politik yang sama-sama kuat.
Kekuatan ini pula yang menyebabkan Prabowo dan Ganjar sulit bersatu selain adanya tuntutan partai. Pasalnya, masing-masing kubu ngotot maju sebagai Capres.
Namun demikian, dunia politik itu sangat dinamis dan cair, berbagai macam manuver politik yang mengejutkan sangat mungkin terjadi jelang Pemilu.
Lalu, yang menjadi pertanyaan: bagaimana jika seandainya Ganjar menjadi Cawapres Prabowo?
Setidaknya ada tiga simulasi apabila Ganjar memutuskan untuk menjadi Cawapres Prabowo. Pertama, bergabung tanpa PDIP.
Kedua, Gerindra dan PDIP bergabung dalam satu kekuatan. Ketiga, seluruh partai yang sudah bergabung dengan PDIP dan Gerindra dilebur menjadi satu.
Sebagai partai penguasa, PDIP memiliki 128 kursi atau 22,26 dari total 575 kursi di DPR RI dan sudah melampaui syarat ambang batas presidential thershold untuk mengusung Capres dan Cawapres secara mandiri.
Sebagaimana tertuang dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017, Capres dan Cawapres harus didukung oleh parpol atau gabungan parpol yang memiliki setidaknya 115 kursi di DPR RI atau 20 persen dari jumlah parlemen.
Bermodalkan posisi ini, PDIP sejak jauh hari mantap mengusung kadernya, Ganjar Pranowo sebagai Capres dengan cara berkoalisi atau pun tidak berkoalisi.
Apabila Ganjar memilih bergabung dengan Prabowo tanpa PDIP, maka tentu dia harus melepaskan status keanggotaannya sebagai kader PDIP.
Dengan demikian, Ganjar akan jadi tokoh independen yang akan mengandalkan koalisi Prabowo untuk mendukungnya maju sebagai Cawapres.
Prabowo sudah didukung oleh koalisi empat partai yaitu Gerindra, PKB, Golkar, dan PAN. Saat ini, koalisi kubu Prabowo berhasil mendominasi jumlah keseluruhan partai, dengan rincian sebagai berikut:
- Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra): 78 kursi (13,57 persen)
- Partai Kebangkitan Bangsa (PKB): 58 kursi (10,09 persen)
- Partai Golongan Karya (Golkar): 85 kursi (14,78 persen)
- Partai Amanat Nasional (PAN): 44 kursi (7,65 persen)
- Total: 265 kursi (46,09 persen)
Pada asumsi simulasi ini, koalisi gabungan kubu Prabowo dan kubu Ganjar akan berhadapan dengan Anies Baswedan yang diusung Nasdem, Demokrat, dan PKS.
Apabila kedua kubu sepakat untuk melebur menjadi satu dalam rangka memenangkan Prabowo-Ganjar, maka koalisi super gemuk akan terbentuk.
Koalisi ini akan diisi oleh enam dari sembilan partai di DPR RI, dengan rincian perolehan kursi sebagai berikut:
- Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP): 128 kursi (22,26 persen)
- Partai Persatuan Pembangunan (PPP): 19 kursi (3,30 persen)
- Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra): 78 kursi (13,57 persen)
- Partai Kebangkitan Bangsa (PKB): 58 kursi (10,09 persen)
- Partai Golongan Karya (Golkar): 85 kursi (14,78 persen)
- Partai Amanat Nasional (PAN): 44 kursi (7,65 persen)
- Total: 412 kursi (71,65 persen)
Simulasi lain yang mungkin saja bisa terjadi adalah bergabungnya PDIP dan Gerindra. Namun, di sini posisi tawar Gerindra akan menjadi sedikit lemah berhadapan dengan PDIP. Dengan demikian asumsi ini paling tipis kemungkinannya untuk terwujud.
Sebab, Gerindra yang hanya mengantongi 78 kursi tentu tidak sebanding dengan partai penguasa PDIP yang memiliki 128 kursi. Tentu, dalam hal ini PDIP tidak akan bermurah hati untuk membiarkan Ganjar sebagai Cawapres Prabowo.
Meski begitu, jika memang terwujud, gabungan kedua partai akan memperoleh 206 kursi atau 35,57 persen dari total 575 kursi di DPR RI.
Namun, untuk meningkatkan peluang kemenangan dalam Pilpres 2024, tidak cukup melihat perolehan kursi dalam koalisi. Faktor elektabilitas atau tingkat keterpilihan menjadi hal yang sangat krusial.
Pada akhirnya, pasangan Capres dan Cawapres yang akan memenangkan Pilpres 2024 adalah mereka yang mampu mendulang suara terbanyak.
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Alexander Haryanto