tirto.id - Oktober 1965, upaya pemusnahan sistematis terhadap kaum kiri Indonesia dimulai. Tak sampai setahun, Partai Komunis Indonesia (PKI), partai komunis terbesar ketiga dunia hancur bersamaan dengan rontoknya rezim Sukarno. Peristiwa itu menginspirasi aksi pemusnahan komunis di berbagai tempat di dunia.
Buku The Jakarta Method: Washington's Anticommunist Crusade and the Mass Murder Program that Shaped Our World menelusuri jejak “Operasi Jakarta”, sebuah metafor dan kode untuk pemberantasan kaum komunis dan penggulingan pemerintahan kiri populis di seluruh dunia, dari Jakarta hingga Cile, Guatemala hingga Ghana. Buku yang baru terbit pada 19 Mei 2020 ini juga merekam bagaimana kaum kiri di Asia dan Amerika Latin bereaksi terhadap pembantaian 1965. Sebagian kelak meninggalkan jalan demokratis menuju sosialisme dan kembali mengangkat senjata karena Washington “tidak bisa dipercaya”. Tirto mendapat izin dari penulis dan penerbit Public Affairs untuk menerbitkan rangkuman bab delapan The Jakarta Method.
Setelah 1965 Indonesia menjadi "mitra yang kalem dan patuh" terhadap Amerika Serikat. Ini menjelaskan mengapa banyak orang Amerika saat ini nyaris tak pernah mendengar tentang Indonesia. Namun, pada 1965-1966 situasinya sangat berbeda.
Penghancuran PKI—partai komunis terbesar ketiga di dunia—kejatuhan pendiri gerakan Dunia Ketiga (Third World movement), dan kebangkitan kediktatoran militer antikomunis fanatik di Indonesia memicu tsunami politik di hampir setiap sudut dunia. Dalam jangka panjang, corak ekonomi global berubah. Skala kemenangan gerakan antikomunis dan metode pemusnahan yang kejam di Indonesia lantas mengilhami pembasmian komunis yang sama di berbagai tempat. itu menjadi bayang-bayang di balik Ibukota Jakarta. Namun, pertama-tama, banjir darah di Jakarta juga memiliki konsekuensi jangka pendek di seluruh dunia.
Vietnam
Sebagian besar strategi AS di Asia Tenggara didasarkan pada logika "teori domino": jika satu negara di Asia jatuh ke tangan komunis, negeri-negeri lain di kawasan yang sama akan mengikutinya. Teori ini diingat dengan baik hingga hari ini. Tapi, fakta bahwa Indonesia adalah domino terbesar justru terlupakan. Maka, ketika para pejabat top Washington menyadari pentingnya kemenangan di Jakarta, mereka berani menyimpulkan bahwa kekalahan di Vietnam bukan masalah. Pasalnya, perang sudah mereka menangkan.
Jatuhnya PKI "sangat mengurangi beban pertaruhan Amerika di Vietnam," tulis Robert McNamara merangkum pendapat George F. Kennan, arsitek strategi penangkalan (containment) Perang Dingin pada 1966. "Sekarang lebih sedikit kartu domino, dan kartu-kartu ini lebih kecil kemungkinan untuk jatuh."
Uni Soviet
Menghadapi kejatuhan Sukarno dan kehancuran PKI, Uni Soviet mundur perlahan namun tidak memprotes pembantaian. Waktu itu Soviet tengah bersaing dengan Tiongkok berebut pengaruh sebagai pemimpin gerakan komunis global. Di satu sisi, Moskow tak ingin Beijing sukses. Di sisi lain, Leonid Brezhnev—sekjen Partai Komunis Uni Soviet (PKUS) sejak Oktober 1964—masih berharap PKI dan Aidit kembali berpaling ke kubu Soviet. Bagaimanapun, Partai Komunis Indonesia masih "revisionis" di mata Beijing, dan Aidit—yang tidak pernah begitu menyukai Khrushchev—mencoba memulai kerja sama dengan Brezhnev. Setelah 1965, Soviet mengurangi bantuan senjata untuk Indonesia dan hubungan kedua negara memburuk.
Guatemala
Hampir satu dekade setelah kudeta bikinan CIA di Guatemala, belum ada kabar baik dari negara terbesar di Amerika itu. Washington masih memiliki sekutu Perang Dingin yang berkuasa di sana. Meski Guatemala masih terintegrasi erat dengan ekonomi AS, keadaan belum benar-benar berubah seperti yang diharapkan para pejabat AS. Hingga akhir 1950-an, CIA menyaksikan Guatemala kembali mengalami "penindasan feodal".
Peristiwa 1965-66 di Indonesia dipercaya telah memperkenalkan penghilangan orang sebagai taktik teror negara di Asia. Pada 1965, dua orang yang secara langsung mengetahui aktivitas-aktivitas AS di Indonesia tiba di Guatemala City. Sejumlah sejarawan yang mempelajari kekerasan di Amerika Latin percaya bahwa pada 1966 Guatema adalah negara Amerika Latin pertama yang mengalami penghilangan orang sebagai taktik teror.
Republik Rakyat Cina
Ketika Soeharto tengah mengkonsolidasikan rezim barunya, kaum antikomunis menuduh Cina telah menggerakkan Gerakan 30 September. Pasalnya, tanggal 1 Oktober adalah hari pendirian Republik Rakyat Cina.
Beijing tidak memiliki kemampuan atau niat untuk mengganti pemerintahan di Indonesia. Sebaliknya, para pejabat Cina malah sangat bingung dengan apa yang terjadi. Awalnya, mereka bahkan percaya kudeta sayap kanan telah dihentikan; mereka juga berpikir Sukarno akan kembali memegang kendali pemerintahan dengan dukungan PKI. Namun, akhirnya RRC pun khawatir Sukarno tidak bisa menghentikan razia Angkatan Darat terhadap rumah para staf kedutaan Cina di Jakarta.
Rupanya, hingga Desember, Mao Zedong masih berpikir kaum kiri masih akan bangkit di Indonesia. Padahal, kaum kiri dibantai. Para demonstran antikomunis dan kelompok-kelompok mahasiswa pun semakin mengincar kedutaan China.
Pada Februari 1966, lebih dari seribu pemuda kelompok sayap kanan menyerang kedutaan RRC. Para staf kedubes berusaha mempertahankan diri dengan botol bir, bola lampu, dan juga kung fu.
Amerika Serikat
Pemerintah AS sebetulnya ingin merayakan pembantaian di Indonesia, bahkan ketika cakupan dan tingkat kekejamannya semakin jelas. Ironisnya, satu suara tak sepakat datang dari orang dengan reputasi menyokong operas-operasi rahasia yang paling kejam dan gegabah pada awal 1960-an.
Pada Januari 1966, Senator Bobby Kennedy menyatakan, “Kami menentang pembantaian tak manusiawi yang dilakukan oleh Nazi dan Komunis. Tapi, apakah kita juga akan menentang pembantaian yang tidak manusiawi di Indonesia, di mana lebih dari 100.000 terduga Komunis menjadi korban alih-alih pelaku?” Tak ada politisi terkemuka AS yang mengutuk pembantaian itu.
Pada waktu itu Robert F. Kennedy (RFK) kian vokal atas isu-isu yang tak disuarakan politisi lain. Entah apa yang membuatnya berubah. Mungkin karena dia mengetahui pemerintahan Lyndon B. Johnson secara aktif mendukung pembantaian. Mungkin juga RFK akhirnya menyadari watak operasi rahasia setelah kematian kakaknya, John F. Kennedy. Atau boleh jadi itu semua sekadar politik. Apapun yang terjadi, Washington tidak pernah berhenti menyokong pelaksanaan Operasi Pemusnahan.
Cile
Pada 1964, Partai Demokrat Kristen dengan mudah memenangkan pemilihan presiden di Cile, salah satu negara paling stabil dan makmur di Amerika Latin. Demokrat Kristen adalah pihak yang disukai Washington dan CIA. Mereka menerima bantuan yang sangat berarti dari Paman Sam.
CIA menggelontorkan 3 juta dolar AS ke pemilu itu. Kira-kira setara dengan satu dolar per suara untuk Eduardo Frei. Jumlah tersebut lebih besar dari yang dihabiskan Presiden AS Lyndon Johnson dalam kampanye 1964. Selain dana, CIA juga menggarap "kampanye ketakutan" di Cile. Organisasi itu juga menggunakan pers, radio, film, pamflet, dan poster, hingga corat-coret di dinding-dinding kota untuk berkampanye melawan kaum kiri.
Dua kelompok sayap kiri yang aktif di Cile saat itu adalah Partai Komunis (PCCh) dan Gerakan Kiri Revolusioner (MIR), sebuah organisasi avant garde baru 1960-an. Tak seperti PCCh yang para anggotanya sangat konservatif dalam berperilaku, aktivis-aktivis MIR lebih bohemian. Mereka tidak membosankan seperti Brezhnev. Mereka mengidolakan Che Guevara dan terinspirasi pengalamannya di Guatemala pada 1954.
Pada 1966, surat kabar MIR Punto Final menerbitkan panduan tentang kegiatan CIA di Indonesia, Kongo, Vietnam, dan Brasil. Mereka juga menerbitkan sebuah teks yang kabarnya ditulis oleh filsuf Bertrand Russell. “Saya takut kengerian pembantaian di Indonesia hanya mungkin terjadi karena kita di Barat sangat jenuh dengan rasisme, sehingga kematian orang Asia, bahkan yang jumlahnya ratusan ribu, tidak membuat kita terkesan. Orang kulit hitam di Amerika Utara tentu sangat paham,” tulisnya.
"Memahami hal ini, rakyat di seluruh dunia harus melakukan perjuangan terbuka."
Thailand
Thailand adalah negara yang sangat pro-Barat. Tak heran markas regional Perserikatan Bangsa-Bangsa terletak di sana. Di sana pula aktivitas CIA di Asia Tenggara berpusat. KGB juga memiliki beberapa agen di sana.
Pada 1967, perwakilan negara-negara Asia Tenggara berkumpul di Bangkok untuk membentuk organisasi baru, yang disebut ASEAN. Sebelumnya, hanya Filipina, Federasi Malaya, dan Thailand—ketiganya dekat dengan Barat—mendirikan Asosiasi Asia Tenggara (ASA). Ketika Soeharto berkuasa di Indonesia—negara terbesar di Asia Tenggara—dan Singapura yang masih muda ikut bergabung membentuk ASEAN. Ada beberapa hal yang menyatukan mereka: pemerintahan otoriter, hubungan dekat dengan Washington, dan—yang paling penting—antikomunisme.
Pada 1970-an, pemerintah Thailand membunuh ribuan orang dalam pembersihan antikomunis.
Kuba
Konferensi Tricontinental (nama resmi: Konferensi Solidaritas Rakyat Afrika, Asia, dan Amerika Latin) berlangsung di Havana pada Januari 1966, tanpa partisipasi negara yang mempelopori gerakan Dunia Ketiga: Indonesia.
Ada satu sosok yang hadir dan kelak memainkan peran sentral di Amerika Latin, yakni Salvador Allende, seorang aktivis sosialis Cile dan pendukung gerakan Dunia Ketiga. Pada pemilu 1964, ia mendapat perolehan suara kedua terbanyak.
Taiwan
Republik Cina dibentuk di Taiwan oleh tokoh nasionalis Chiang Kai-shek yang masih bersikeras mengklaim Cina daratan. Saat itu Taiwan telah lama menjadi salah satu markas gerakan antikomunis di Asia. Kediktatoran kecil yang dijalankan dari Taipei menaruh perhatian besar pada pembantaian di Indonesia. Taiwan mensponsori serangan terhadap kedutaan Cina di Jakarta sebagai cara untuk melemahkan rezim Sukarno dan Mao di Beijing.
Pada 1966, Taiwan dan Korea Selatan—yang masih dipimpin Park Chung-hee, diktator yang naik ke tampuk kekuasaan dengan bantuan Marshall Green sebelum Green menggantikan Howard Jones sebagai duta besar AS di Indonesia—bersama-sama mendirikan Liga Anti-Komunis Dunia (WACL). Anggota Kongres Walter Judd dan tokoh-tokoh agama dari AS hadir pada pertemuan pertamanya. Organisasi global yang dibangun di atas fondasi Liga Antikomunis Rakyat Asia itu menyatukan kaum konservatif moderat dan juga kelompok-kelompok radikal sayap kanan—termasuk yang melakukan kekejaman di kubu Hitler pada Perang Dunia II di Rumania dan Kroasia.
Hawaii
Pada 1965, tepat setelah ia pensiun dari Departemen Luar Negeri dan meninggalkan Indonesia, mantan Duta Besar Howard Jones menduduki jabatan kanselir di East-West Center, Universitas Hawaii. Dia terus melakukan kontak dengan kedutaan dan menyaksikan situasi memburuk dengan cepat. Tak seperti sebelumnya, kini ia sama sekali tak mampu mengendalikan peristiwa yang terjadi.
Pada tahun yang sama, Lolo Soetoro bekerja di East-West Center sebagai pegawai TNI. Dia bukan tentara, namun mengerjakan kerja-kerja topografis TNI dan memperoleh beasiswa untuk sekolah di Hawaii, di mana ia jatuh cinta dan akhirnya menikahi antropolog Ann Dunham, ibu dari Barack Obama. Sebelumnya Lolo pernah merasakan langsung ganasnya kekerasan di bawah kolonialisme. Dalam perang kemerdekaan Indonesia, Belanda membunuh ayah dan saudara kandungnya, serta membakar rumahnya.
Pada 1966, ketika Soeharto mengukuhkan kekuasaannya. Lolo dipanggil untuk pulang dan mengabdi. Selama beberapa bulan, ia, Ann, dan Barack melakukan persiapan untuk pindah ke Indonesia. Memoar Obama Dreams of My Father menggambarkan dengan jelas kehidupan di Jakarta setelah pembantaian. Saat itu tak ada yang berani menyinggung secara terbuka pembantaian yang terjadi pada tahun sebelumnya.
Barack dan Ann melihat perubahan besar pada diri Lolo setelah pindah dari Hawaii. “Dia seperti ditarik ke sebuah tempat yang gelap dan misterius … yang menghisap cahaya dari dirinya,” tulis Barack.
==================
Rangkuman dan terjemahan dikerjakan oleh Irma Garnesia
Editor: Windu Jusuf