tirto.id - Kelangkaan organ untuk keperluan transplantasi di ranah medis membuat peneliti dunia putar otak mencari substitusinya. Sumber organnya bukan dari primata—ordo dari mamalia yang kekerabatannya paling dekat dengan manusia, melainkan dari babi yang beberapa organnya menyerupai manusia secara fisiologis.
Sedari dulu hingga sekarang, manusia terus berusaha memperbarui ilmu kesehatan, mencari jalan keluar, dan mengakali kematian. Mereka membuat penawar berbagai macam penyakit, memulai rekayasa genetik, terapi pembedahan, hingga pada akhirnya menemui jalan buntu dari ketiadaan organ cadangan.
Selama ini, solusi dari kerusakan organ hanya bergantung pada donor. Masalahnya angka pendonor organ terlampau sedikit dibanding jumlah orang yang membutuhkan donor. Tak ada angka pasti jumlah pendonor pada skala global, namun statistik AmerikaSerikat mungkin dapat menjadi gambaran kasar krisis organ pada skala wilayah.
Hingga Oktober 2021, lebih dari 106 ribu orang di Amerika Serikat berada dalam daftar tunggu transplantasi organ. Jumlah itu terus bertambah satu orang setiap kelipatan 9 menit. Dalam sehari, setidaknya 17 orang meninggal karena tak mendapat donor.
Ginjal menjadi organ paling banyak dibutuhkan dalam daftar tunggu itu—menyentuh angka 90 ribu, menyusul kemudian hati, jantung, dan paru-paru. Di Cina, perbandingan jumlah kasus per tahun dengan daftar tunggu transplantasi—hanya untuk kornea saja—bisa mencapai 1:40.000.
Sementara itu di negara kita, donor organ belum menjadi hal yang lazim sehingga kebutuhan donor masih dicukupi dari Amerika dan Belanda. Sebagai contoh, menurut Bank Mata Indonesia, daftar tunggu pasien transplantasi kornea berjumlah lebih dari 20 ribu orang per tahun.
Itu tidak sebanding dengan jumlah pendonor yang hanya mencapai 35 dalam jangka waktu 3 tahun. Impor kornea pun cuma menutupi 5-10 persen kebutuhan kornea dalam negeri. Untung saja baru-baru ini tim dokter dari University of Maryland School of Medicine melakukan langkah progresif dalam solusi kelangkaan organ.
The Guardian mewartakan pada 7 Januari 2022, tim dokter telah melakukan transplantasi pertama jantung babi ke seorang pasien bernama David Bennett (57 tahun). Tidak ada reaksi penolakan organ selama tiga hari pertama pemantauan pascaoperasi. Meski begitu, transplantasi itu belum sepenuhnya bisa dikatakan sukses.
Bennett tidak memenuhi syarat untuk menerima donor jantung manusiasehingga dia tak punya pilihan selain menerima tawaran sebagai kelinci percobaan. Tapi, penanggung jawab operasi itu Dokter Bartley Griffith juga tak sembarangan menempelkan jantung hewan pada pasiennya.
“Jantung babi telah melalui rekayasa genetik untuk menghilangkan gula dalam sel yang mengakibatkan penolakan pada organ tubuh penerima,” papar Griffith.
Sang ahli bedah jantung itu sebelumnya telah melakukan puluhan uji coba xenotransplantasi (transplantasi organ hewan). Selama lima tahun terakhir, dia sibuk menjahit jantung-jantung babi ke sekitar 50 babun hingga akhirnya yakin dan menawarkan opsi serupa kepada Bennett.
Kenapa Babi?
Griffith memasuki ruang operasi pagi-pagi sekali. Ketika banyak orang tengah lahap menikmati sarapan, dia berjibaku dengan deretan bovie, scalpel, dan peralatan lain di kamar operasi. Tepat pukul 8.30, Griffith memulai pembedahan paling menegangkan dalam hidupnya: memotong jantung pasien dan menggantinya dengan jantung babi.
“Sesederhana dia (pasien: Bennet) tidak mau mati, sangat tak mau mati. Dia bilang ‘mungkin Anda punya cara lain untuk menyelamatkan hidupku’. Saya berpikir, inilah saatnya (melakukan xenotransplantasi babi),” Griffith bercerita panjang lebar dalam video dokumentasiyang dirilis University of Maryland School of Medicine.
Sore hari setelah operasi berjalan sekitar tujuh jam, Griffith menyudahi proses panjang xenotransplantasi pertama jantung babi ke manusia itu. Pasiennya bangun dan mulai ngobrol, sementara Griffith dan timnya beralih kesibukan menyiapkan terapi penunjang untuk menghindari penolakan organ.
“Jika proses ini berhasil, akan ada pasokan organ tak terbatas untuk mengobati pasien yang tak bisa menerima organ manusia atau tidak mendapat donor secara cepat,” kata Griffith. Dia juga menekankan bahwa kesuksesan operasi itu bergantung pada masa pemulihan pasien selama hitungan bulan, bahkan tahun.
Sejarah mencatat xenotransplantasi jantung sebelumnya pernah dilakukan terhadap seorang bayi bernama Fae pada 1984. Bayi Fae mendapat donor hati babon, tapi tubuhnya dengan cepat menolak organ donor itu. Dia pun hanya mampu bertahan hidup sampai 21 hari.
Anda pasti bertanya-tanya, mengapa babi menjadi pilihan para ahli medis dunia sebagai alternatif organ manusia.
Setidaknya meski bukan jantung secara keseluruhan, katup jantung babi sudah berhasil dipakai manusia selama beberapa dekade. Bahkan jaringan subtitusi ini dapat bertahan hingga lebih dari 15 tahun.
Michael Swindle, dokter hewan sekaligus peneliti dan penulis buku Swine in the Laboratory, menjelaskan banyak sistem biologis babi serupa dengan manusia. Kemiripan sistem organ ini bahkan mencapai 80-90 persen, baik secara anatomi maupun fungsinya.
“Jika sesuatu bekerja di tubuh babi, ada kemungkinan besar itu juga bekerja pada tubuh manusia,” kata Swindle.
Kardiovaskular alias jantung dan pembuluh darah babi menjadi sistem organ yang paling mirip dengan manusia. Selain mirip, dari segi ukuran dan bentuk, jantung babi juga mengembangkan radang pembuluh darah (aterosklerosis) dan serangan jantung seperti manusia.
Kesamaan ini membuat para peneliti menggunakan babi untuk memahami cara kerja jantung, menguji perangkat kateter intervensional (tabung kecil untuk memperbaiki struktur jantung), dan melakukan metode operasi kardiovaskular (jantung).
Maka pilihan Griffith melakukan xenotransplantasi jantung babi untuk Bennett bukanlah pilihan yang aneh.
Di Daratan Cina, transplantasi kornea babi sudah lebih dulu dikomersilkan sejak 2015. Sebuah penelitian pada 2010 menyebut transplantasi Acornea—hasil rekayasa kornea babi—punya tingkat keberhasilan sampai 94,44 persen.
Keberhasilan China menciptakan subtitusi kornea telah menyelesaikan sepertiga hingga setengah kasus kebutaan kornea di negara tersebut. Saat ini, ahli rekayasa genetika dari Amerika Craig Venterjuga tengah mengembangkan xenotransplantasi paru-paru babi.
Otot-otot kaki manusia juga dapat ditumbuhkan menggunakan implan dari jaringan kandung kemih babi. Sementara itu, kulit babijuga memiliki fungsi penyembuhan seperti kulit manusia sehingga dimanfaatkan dalam proses operasi plastik.
Paparan panjang lebar di atas belum lagi mencantumkan manfaat babi di industri farmasi. Jika boleh beranekdot, babi-babi di bidang medis adalah gambaran sejati dari petuah, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.”
Editor: Fadrik Aziz Firdausi