tirto.id - Lee Ik-jun, Ahn Jeong-won, Chae Song-hwa, Kim Jun-wan, dan Yang Seok-hyeong bisa jadi bukan nama asing bagi penonton drama Korea (drakor). Kisah lima dokter yang bersahabat selama 20 tahun tersebut menjadi cerita utama Hospital Playlist 2, serial drama medis yang dimulai tahun lalu dan kembali tayang di musim kedua pada Juni kemarin dan berakhir pada 16 September.
Selain kisah lima sekawan itu, Hospital Playlist juga menyajikan kehidupan pekerja medis dan para pasien di rumah sakit Yulje Medical Center.
Hospital Playlist 2 termasuk yang paling populer menurut Nielsen Korea. Pun di Indonesia. Syarfina Mahya Nadila, dkk. dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menulis drakor seperti The World of the Married, Crash Landing on You, dan Hospital Playlist mendapatkan popularitas salah satunya berkat keharusan orang berada di rumah selama pandemi Covid-19.
Tak hanya jadi tontonan yang populer, Hospital Playlist juga menggerakkan banyak orang Korea Selatan untuk mendonorkan organ tubuh mereka. Dilaporkan Sports Chosun, Organisasi Donor Darah dan Organ Nasional Korea Selatan menyebut terdapat 16.231 orang yang mendaftar sebagai pendonor organ sejak 1 Juli hingga 11 Agustus lalu. Angka ini meningkat tiga kali lipat dibandingkan tahun lalu pada rentang waktu yang sama. Sebanyak 7.042 di antaranya mendaftar setelah episode 7 Hospital Playlist 2 tayang.
Hospital Playlist 2 memang menceritakan kisah donasi organ dengan detail. Khusus episode 7 menceritakan kisah seorang bapak yang jadi donor hidup buat anaknya serta pasien yang mendaftar sebagai cadaver (setuju mendonorkan organ setelah meninggal dunia). Para tokoh dokter juga menekankan di beberapa adegan bahwa donor organ bisa memberikan kesempatan hidup kedua bagi penerima.
Menurut Sanggi Organ Donation Movement, banyak pendonor memang “membuat keputusan setelah menonton Hospital Playlist 2.” Ada pula yang berkata bahwa setelah menonton Hospital Playlist 2 “saya mengerti bahwa donasi organ dapat membantu banyak jiwa dan memberi dampak bagi keluarga mereka.”
Donor Organ di Negeri Ginseng
Donor organ di Korea Selatan diatur dalam Undang Undang Transplantasi Organ yang berlaku sejak 9 Februari 2000. Di sana diatur dua jenis donor organ: donor mati (cadaver donor) dan donor hidup (living donor). Seperti namanya, donor mati dilakukan setelah si pendonor meninggal, sementara donor hidup dilakukan oleh mereka yang masih hidup.
Menurut Korean Network for Organ Sharing (KONOS), instansi pemerintah yang mengurusi kelayakan donor hidup dan alokasi organ, donor mati dilakukan ketika pendonor secara medis dinyatakan mati otak (brain death) atau mengalami kematian jantung.
Organ yang bisa didonorkan pada kematian otak adalah ginjal, hati, jantung, paru-paru, kornea, usus halus, dan sel islet. Sementara organ jaringan yang dapat didonasikan meliputi tulang, tulang rawan, selaput otot, ligamen, tendon, pembuluh darah, kulit, saraf, katup jantung, serta amnion. Sementara pendonor yang mengalami kematian jantung hanya dapat mendonorkan kornea.
Mereka yang mendaftar sebagai pendonor harus bersedia mendonorkan organnya tanpa memperoleh keuntungan apa pun. Selain itu, diperlukan persetujuan dari keluarga saat donasi dilakukan.
Sementara untuk donor hidup, seperti dijelaskan Ho No Joo dari Kyunghee University, dapat dilakukan hanya dengan persetujuan pendonor. Syaratnya mereka harus berusia lebih dari 16, bukan perempuan mengandung atau melahirkan kurang dari tiga bulan, pencandu narkoba, serta penyandang disabilitas mental. Anak di bawah usia 16 hanya bisa menyumbangkan sumsum tulang belakang, itu pun khusus kepada orang selain kerabat karena dinilai tidak memengaruhi kesehatan secara signifikan.
Organ donor hidup yang dapat didonasikan adalah ginjal, hati, dan sumsum tulang. Pankreas, sel islet, berikut usus halus juga bisa disumbangkan.
Selain KONOS, terdapat pula Korea Organ Donation Agency (KODA) serta organisasi pengadaan organ berbasis rumah sakit dalam sistem donasi organ dan transplantasi di Korea Selatan.
Jurnal yang dibuat Jin Park serta Claire Junga Kim dari Ewha Womans University Seoul Hospital dan Ewha Womans University School of Medicine menjelaskan tugas organisasi pengadaan organ berbasis rumah sakit meliputi evaluasi pasien yang mati otak, manajemen donor mati otak, pengambilan organ dan jaringan, serta manajemen terhadap jenazah dan keluarga yang ditinggal setelah tahapan identifikasi. Hal ini juga dilakukan KODA setelah rumah sakit yang dikontrak instansi tersebut melaporkan ada individu yang dinyatakan mati otak.
Jin Park serta Claire Junga Kim menilai usaha menemukan donor mati otak lewat lembaga di atas berhasil. Indikatornya adalah jumlahnya meningkat dari 36 pada 2002 menjadi 573 di 2016. Kecenderungan serupa juga terjadi di tempat lain. Data International Registry on Organ Donation and Transplantation menunjukkan angka donor hidup terus meningkat dari 2010 hingga 2019.
Meski meningkat sampai 2016, dua tahun kemudian angkanya mengalami penurunan. Jumlah pendonor Korea Selatan pada 2017 menjadi hanya 515 dan setahun kemudian tinggal 449. Jin Park serta Claire Junga Kim menilai ini adalah persoalan serius.
Memang, seperti yang dilaporkan Korea Biomedical Review, Kepala KODA Moon In-sung mengatakan jumlah donor mati meningkat dari 458 pada 2019 menjadi 478 pada 2020. Namun Moon juga menekankan bahwa masih ada 35.852 pasien yang menanti donor organ di 2020. Lima atau enam pasien, katanya, meninggal per hari ketika menunggu transplantasi.
Apa yang dikatakan Moon senada dengan survei yang dilakukan Korea Centers for Disease Control and Prevention (KCDC) terhadap 1.000 orang berusia lebih dari 19 tahun. Seperti yang dilaporkan The Korea Times, sebanyak 97,5% dari total responden sadar akan donor organ dan 66,5% menunjukkan keinginan mendonasikan organnya. Akan tetapi, hanya 2,6% orang yang mendaftarkan diri sebagai pendonor.
Riset yang dilakukan pada Desember 2018 tersebut juga menemukan 33% dari total responden yang menentang donor organ mengaku tidak ingin “merusak” tubuh mereka. Sisanya, yakni 30,4% orang, merasa takut dan 16,5% menyebut kurangnya informasi tentang perkara lain selain proses donasi organ, semisal bagaimana tubuh diperlakukan setelah organ diambil.
Menariknya, sebesar 60% responden belajar tentang donor organ dari televisi sedangkan 35,5% menyebut iklan daring di blog, forum, dan media sosial. Temuan terakhir ini semakin menunjukkan betapa pentingnya serial seperti Hospital Playlist.
Donor Organ di Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Global Observatory on Donation and Transplantation, praktik yang ada di sini adalah transplantasi ginjal dan hati.
Salah satu rumah sakit yang melayani transplantasi kedua organ tersebut adalah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Dilaporkan Antara, dokter spesialis bedah RSCM Dr. dr. Andri Sanityoso, SpPD-KGEH mengatakan sebanyak 47 pasien dewasa dan anak-anak menjalani transplantasi hati dari 2010 hingga Mei 2018. Organ yang diperoleh penerima berasal dari donor hidup.
Donor hidup juga jadi sumber pengadaan organ transplantasi ginjal. Tommy Supit, dkk. dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro serta RSUP Dr. Kariadi Semarang mencatat ada 629 transplantasi ginjal yang dilakukan 12 rumah sakit di Jakarta (RSCM), Surabaya (RSUD Dr. Soetomo), Yogyakarta (RSUP Dr. Sardjito), Malang (RSUD Dr. Saiful Anwar), Bali (RSUP Sanglah), Solo (RSUD Dr. Moewardi), Palembang (RSUP Dr. Mohammad Hoesin), Aceh (RSUD Dr. Zainoel Abidin), Medan (RSUP H. Adam Malik), Bandung (RSUP Dr. Hasan Sadikin), dan Padang (RSUP Dr. M. Djamil) pada 2011 hingga 2018
Tommy Supit, dkk. mengatakan terjadi peningkatan jumlah transplantasi ginjal sejak 2014 terutama pada rumah sakit di Pulau Jawa. Meski begitu, angka tersebut belum ideal karena masih jauh dari kebutuhan, juga tertinggal dari negara tetangga seperti Vietnam serta Thailand.
Menurut mereka, regulasi pemerintah dan biaya yang mahal jadi penghambat pertumbuhan transplantasi ginjal, selain kurangnya tenaga ahli serta informasi terkait donor organ yang mudah dimengerti masyarakat dan tenaga kesehatan.
Mahalnya biaya transplantasi ginjal lantas berusaha diselesaikan pemerintah lewat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Upaya ini dilakukan sebab, dibandingkan terapi hemodialisis atau cuci darah, transplantasi ginjal diyakini lebih ekonomis.
Terkait regulasi pemerintah, Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir menilai perlu pembentukan Peraturan Pemerintah (PP) agar payung hukum transplantasi organ atau jaringan di Indonesia menjadi kuat. Harapan Tony itu lalu terwujud lewat PP No. 53 Tahun 2021 tentang Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh yang diterbitkan pada Maret lalu.
Editor: Rio Apinino