tirto.id - Esther-Louise Hajj, perempuan 60 tahun asal Belanda, tak pernah bermimpi dia bisa memiliki anak. 25 tahun lalu, saat berusia 35 tahun, Esther baru saja putus dari sebuah hubungan panjang dan ia ingin tetap melanjutkan keiginan memiliki anak. Pilihannya adalah mencari donor sperma. 25 tahun lalu keputusan ini adalah sebuah langkah besar. Kelak jika anaknya dewasa, mereka akan bertanya siapa ayahnya dan Esther bisa menjawab itu.
Perdebatan tentang etika tak pernah hilang dari topik ini. Laporan panjang Guardian tentang bencana donor sperma menjadi perhatian menarik karena, lagi-lagi, meruapkan perdebatan etika dan bagaimana praktik ini semestinya dijalankan.
“Saat itu, norma yang diterima adalah anak hasil donor tidak perlu tahu,” kata Esther. “Tetapi aku merasa ini hak mereka untuk tahu. Dari mana mereka berasal, siapa orang tua mereka – hal-hal ini penting dalam hidup siapapun, dan aku ingin [hal itu] ini juga dimiliki anakku.”
Esther mengetahui bahwa ada klinik di dekat Rotterdam yang bisa membantunya memiliki anak dengan donor sperma. Dokter pengelola klinik ini adalah seorang pioner dan profesional. Dokter itu bernama Jan Karbaat. Dokter Karbaat mengatakan kepada Esther bahwa ia akan mencarikan donor dengan atribusi fisik yang diinginkannya. Ester bercerita dokter itu memintanya mencarikan sosok ayah yang diinginkan untuk dimintai spermanya sebagai donor.
Dari proses donor tersebut, Esther mendapatkan dua anak, pertama anak perempuan Lotte yang saat ini berusia 23 tahun, lahir pada 1994. Sementara dua tahun kemudian Esther melahirkan Yonathan yang juga berasal dari donor yang sama. Kemudian mimpi buruk ini muncul. Pada 2011 Esther bersama Lotte mencari tahu siapa pendonor sperma. Saat lembaga terkait dihubungi, mereka mendapatkan kabar bahwa tidak ada catatan medis terkait pendonor sperma dari klinik dokter Karbaat.
Keluarga Esther berusaha keras mencari tahu dan menembus segala birokrasi yang ada di Belanda. Pada saat yang sama berhembus kabar bahwa klinik dokter Karbaat menyebarkan donor sperma yang berasal dari dirinya sendiri. Keadaan makin diperparah saat TV meluncurkan dokumenter yang mencurigai bahwa klinik dokter Karbaat telah memproduksi 200 anak dari inseminasi buatan yang berasal dari sperma Karbaat sendiri.
Praktik donor sperma saat ini telah jauh berkembang sejak 1980an. Jika dulu perlu memenuhi birokrasi yang rumit maka dengan perkembangan teknologi yang ada kita bisa mencari donor melalui aplikasi elektronik. Di Inggris ada aplikasi donor sperma yang bisa membantu kita mendapatkan donor berdasarkan kriteria yang diinginkan.
Aplikasi yang dijuluki 'order a daddy', dibuat oleh London Sperm Bank. Di dalamnya kita bisa mencari contoh donor dengan karakteristik fisik yang disukai, rekam jejak dari donor, catatan medis, sketsa wajah, dan impresi staf terhadap donor.
Pemerintah Inggris pada 2005 mencabut peraturan anonimitas pada pendonor sperma. Ini diharapkan bisa mengatur dan menekan peredaran sperma yang tidak layak. Akibatnya pendonor dan praktik inseminasi buatan menurun. Jika pada 2005 ada 2.727 proses inseminasi, maka pada 2006 ada 2.107. Dua tahun kemudian pada 2008 angka ini terus menurun dan memaksa para perempuan di Inggris mencari pendonor dari luar negeri, seperti Belanda dan Amerika Serikat.
Aturan donor sperma di Inggris menjadi semakin ketat karena regulasi yang dibuat oleh Human Fertilisation and Embryology Authority (HFEA). Seorang pendonor di Inggris hanya boleh mendonorkan sperma kepada maksimal 10 perempuan saja. Selain itu, mereka perlu melakukan pemeriksaan medis, dan juga menyerahkan riwayat kesehatan jiwa. Aturan yang ketat dan terutama pencabutan anonimitas diduga menjadi penyebab utama pendonor sperma di Inggris semakin menurun.
Tidak hanya di Inggris dan Belanda, praktik donor sperma juga dilakukan di Amerika Serikat. Laporan Journal of Pediatrics pada 2006 menyebut ada 500 bank sperma di Amerika Serikat dengan puluhan ribu donor yang rutin datang setiap minggu. Pada 1988 Office of Technology Assessment Amerika Serikat menyebut ada 30.000 anak yang lahir melalui inseminasi buatan dan bantuan donor sperma.
Rene Almeling, asisten profesor sosiologi dari Yale University dan penulis buku “Sex Cells: The Medical Market for Eggs and Sperm” menyebut pada 2013 masih belum ada regulasi ketat terkait donor sperma. Di Amerika Serikat banyak sekali ditemukan kasus di mana anak hasil inseminasi buatan dan donor sperma terlahir dengan kekurangan yang bersifat fisikal. Setelah diselidiki mereka lahir dari donor yang kurang sehat dan memiliki catatan sejarah medis yang tidak akurat. Kasus terbaru yang terjadi di Belanda menunjukkan bahwa regulasi ini masih jauh untuk membuat para penerima donor merasa aman.
Di Amerika Serikat seorang pendonor sperma yang layak akan mendapatkan uang dari sperma yang mereka berikan dengan kisaran 60-75 dolar. Ini yang kemudian membuat praktik donor bisa jadi ladang pendapatan, meski kemudian tidak banyak yang bisa terpilih karena susahnya kriteria.
Maret tahun lalu Business Insider menurunkan laporan bahwa Amerika Serikat menjadi pengekspor sperma hasil donor terbesar di dunia. Salah satu negara yang mengekspor donor sperma beku dari negara itu adalah Kanada. Untuk negara dengan jumlah populasi 35 juta orang, Kanada hanya memiliki 60 pendonor sperma tetap.
Mengapa donor sperma harus diatur dengan ketat? Karena donor sperma bisa diberikan kepada siapa saja, sementara dunia masih mempermasalahkan inses maka perkawinan atau persenggamaan antara dua orang saudara dilarang. Jika seorang donor memberikan spermanya tanpa regulasi ketat, bukan tidak mungkin dua orang bersaudara akan menikah dan menghasilkan anak yang tidak sehat -- juga melanggar tata kepercayaan banyak agama. Universitas Stanford menyusun beberapa hal yang bisa dianggap menjadi pertimbangan etis sebelum melakukan donor sperma.
Misalnya Stanford menganggap pendonor sperma memiliki hak untuk menolak mengungkapkan identitasnya. Tapi batasan ini hanya untuk kepentingan privasi di mana si pendonor harus memenuhi kriteria bahwa ia sehat baik secara fisik maupun kejiwaan. Sementara penerima donor memiliki hak untuk diberitahu tentang keterbatasan dan potensi komplikasi yang terkait dengan sumbangan sperma. Donasi sperma tidak selalu berhasil dan beberapa perawatan mungkin harus dilakukan. Selain itu, bank sperma tidak dapat sepenuhnya menjamin bahwa sperma yang mereka berikan bebas dari penyakit atau bebas dari kelainan genetik.
Meskipun teknik pengujian genetik dan penyaringan penyakit canggih dan sensitif, teknik ini tidak mudah dilakukan. Klien juga harus mengerti bahwa dia bertanggung jawab penuh atas keturunan yang dikandung dengan menggunakan spesimen. Donor sperma dan hak klien biasanya dibentuk melalui formulir informed consent yang ditandatangani oleh klien dan diverifikasi oleh dokter klien. Formulir ini memastikan bahwa klien memahami hak dan hak dari donor sperma. Prinsip informed consent didasarkan pada prinsip etika ilmiah dan kedokteran.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Zen RS