tirto.id - Kejadian pembunuhan seorang anak berusia 11 tahun di Makassar pada awal Januari membuat geger. Pasalnya, dua orang yang telah ditetapkan sebagai pelaku adalah anak di bawah umur. Namun, yang lebih mengejutkan publik, salah seorang pelaku mengaku bahwa motif dari aksi tersebut adalah untuk mendapatkan uang lewat penjualan organ.
Kisah tragis ini membuka selubung penjualan organ ilegal yang selama ini praktiknya banyak beredar tidak hanya di Indonesia, tetapi di dunia.
Seperti apakah sebetulnya data-data dari jual-beli organ ilegal ini?
Transaksi Miliaran Dolar
Berdasar data Global Financial Integrity (GFI) dalam laporan Transnational Crime and the Developing World pada tahun 2017, setidaknya setiap tahun ada hampir 12 ribu kejadian perdagangan organ ilegal di seluruh dunia.
Laporan tersebut juga menyebut dari perdagangan organ ilegal tersebut diperkirakan ada transaksi antara 840 juta dolar AS sampai 1,7 miliar dolar AS setiap tahunnya (Rp12,7 triliun hingga Rp25,8 triliun).
Lima organ yang paling banyak diperjualbelikan secara ilegal, berturut-turut: ginjal, hati, jantung, paru-paru, dan pankreas. Nilainya berbeda untuk masing-masing organ, tetapi berdasar laporan tersebut, ginjal, sebagai yang "termurah" saja dihargai sekitar 50 ribu dolar AS (sekitar Rp75 juta). Ginjal juga disebut sebagai orang yang paling umum diambil untuk transplantasi, baik legal maupun ilegal, dan paling murah di pasar gelap, karena bisa diambil dari donor hidup.
Senada, laporan Global Observatory on Donation & Transplantation (GODT) pada tahun 2014 juga menyebut terdapat sekitar 120 ribu transplantasi organ (legal dan ilegal) di seluruh dunia, dan 12 ribu di antaranya adalah ilegal.
Karenanya, GFI memperkirakan setiap tahunnya sekitar 10 persen transplantasi organ yang dilakukan adalah operasi ilegal.
Dinamika dari jual-beli organ ini juga bukan transaksi sederhana antara penjual dan pembeli. GFI memaparkan kalau kejahatan ini umumnya dilakukan oleh jaringan profesional yang melibatkan setidaknya lima aktor kunci yaitu pemasok, penerima, makelar, tim medis transplantasi, dan oknum di institusi publik/swasta.
Pemasok, individu yang menjadi penyedia organ disebut umumnya datang dari negara berkembang, miskin, dan tidak berpendidikan. Sementara penerima, pembeli organ, kebanyakan adalah individu dengan pendapatan menengah sampai tinggi dari negara maju atau orang kaya dari negara berkembang.
Di antara kedua pihak biasa dipertemukan oleh makelar, yang juga menghubungkan dengan tim medis transplantasi. Umumnya mereka bergerak sebagai sindikat kecil yang terorganisasi dan punya jaringan yang kuat. Dalam operasinya tim medis yang terlibat biasanya terdiri dari ahli bedah, ahli anestesi, dan perawat. Mereka bertanggung jawab mencocokkan organ dari pemasok dan penerima serta eksekusi proses transplantasi itu sendiri.
Aktor terakhir yang biasa terlibat adalah oknum dari lembaga tertentu, seperti pihak rumah sakit atau laboratorium yang bisa menyediakan tempat operasi. Selain itu pihak seperti penegak hukum, maskapai penerbangan, dan bahkan agen pariwisata bisa masuk kategori ini.
Adanya jaringan profesional yang biasanya lintas negara ini membuat penjualan organ ilegal dikategorikan sebagai kejahatan transnasional.
Menurut laporan GFI, di banyak kasus, donor bersedia berpartisipasi dalam penjualan organ ilegal ini secara sukarela, tapi ada juga kasus-kasus dimana donor dipaksa atau ditekan untuk melakukan transaksi.
Laporan GFI juga menyebut bahwa salah satu korban dari penjualan organ ilegal ini juga adalah migran dan pengungsi. Kasus yang ditemukan misalnya penyelundup organ memaksa migran dan pengungsi untuk menjual ginjal mereka untuk membiayai perjalanan mereka ke Eropa, salah satunya.
Sementara itu, United Nations Office on Drugs and Crime mengelompokan aktivitas transplantasi organ bisa masuk kategori perdagangan manusia. Dalam laporan 2020 Global Report on Trafficking in Persons, Perdagangan Orang untuk Tujuan Pengambilan Organ (TIP for OR) berkontribusi terhadap sekitar 1 persen dari aktivitas perdagangan manusia yang dilaporkan pada tahun 2018 (dari 3.762 korban).
Meski cenderung kecil, tetapi prevalensi TIP for OR menunjukkan peningkatan prevalensi kasus. Pada tahun 2017 ditemukan sekitar 25 korban kasus TIP for OR dan naik menjadi lebih dari 40 orang korban setahun kemudian. Catatan dari laporan ini juga menyebut kalau kebanyakan korban adalah laki-laki dan dilaporkan dari kawasan Afrika Utara, Asia Selatan, dan Asia Tenggara.
Terkait praktik perdagangan manusia ini, GFI juga menjelaskan salah satu taktik yang umum digunakan oleh makelar transplantasi ilegal juga serupa. Calon "pemasok" kerap dijebak dengan janji bekerja di luar negeri, hanya untuk kemudian dipaksa menjual ginjal setibanya di tempat tujuan.
Pada akhirnya GFI menyimpulkan perdagangan organ ilegal kerap kali hanya menjadi pereda sementara untuk masalah finansial. Kebanyakan pemasok organ memang mendapat solusi cepat untuk masalah keuangannya. Namun, banyak yang kemudian menderita komplikasi pascaoperasi yang malah membuat mereka terlilit hutang yang lebih besar.
Kebutuhan akan Transplantasi Organ
Banyaknya operasi transplantasi organ ilegal tidak bisa dilepaskan dari terus meningkatnya permintaan organ pengganti secara umum. Data dari GODT juga menunjukkan adanya tren peningkatan transplantasi organ, hampir setiap tahunnya.
Data terakhir dari GODT menunjukkan terdapat lebih dari 144 ribu transplantasi organ (legal dan ilegal) pada tahun 2021. Angka ini naik sekitar 11 persen dibanding tahun 2020, satu-satunya tahun terjadi penurunan operasi transplantasi organ.
Membandingkan tahun 2008 (100.900 transplantasi organ), ketika pertama kali penghimpunan data terkait transplantasi dilakukan, dengan tahun 2019 (153.863 transplantasi organ), titik terbanyak transplantasi organ dilakukan, telah terjadi kenaikan lebih dari 50 persen terhadap jumlah transplantasi organ yang dilakukan.
Tren peningkatan transplantasi organ terutama yang ilegal juga sebenarnya telah diprediksi. Luc Noel, seorang dokter yang juga pejabat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bagian pemantauan transplantasi organ manusia baik legal maupun ilegal, melihat tanda-tanda itu pada satu dekade lalu."Ada kebutuhan yang meningkat untuk transplantasi dan keuntungan besar yang akan didapat," ujarnya menukil dari The Guardian.
Dia menyebut kalau lemahnya hukum serta penegakkannya terkait perdagangan organ menjadi pendorong orang-orang yang kesulitan ekonomi untuk menjual ginjal mereka.
Selain soal tren meningkat, GODT juga dalam laporannya setiap tahun juga selalu menyebut kalau jumlah transplantasi organ yang dilakukan baru memenuhi sekitar 10 persen kebutuhan di dunia. Ini menunjukkan begitu besarnya permintaan akan organ pengganti, tidak berimbang dengan ketersediaannya. Tidak aneh kalau kemudian muncul pasar ilegal untuk organ-organ ini.
Temuan yang juga konstan dari laporan tahunan, dari ratusan ribu transplantasi organ yang dilakukan, ginjal selalu menjadi yang paling banyak. Setiap tahunnya antara 62-69 persen transplantasi organ yang dilakukan melibatkan ginjal.
Kondisi ini, menurut Noel, adalah dampak dari meningkatnya tingkat diabetes, tekanan darah tinggi, dan masalah jantung.
Masalah lain yang membuat transplantasi organ ilegal akan menjadi masalah yang sulit dibendung adalah masa tunggu untuk transplantasi legal. Untuk ginjal misalnya, di Amerika Serikat (AS) rata-rata waktu tunggu untuk transplantasi ginjal adalah 3,6 tahun. Serupa, di Inggris waktu tunggu transplantasi ginjal mencapai 2-3 tahun, tidak jarang lebih lama dari itu.
Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS mencatat pada tahun 2021 ada lebih dari 90 ribu orang pasien yang berada di daftar tunggu untuk transplantasi ginjal. Sementara pada tahun yang sama "hanya" ada 24 ribuan operasi transplantasi ginjal yang dilakukan.
Berdasar hitungan mereka, setiap 10 menit ada satu orang yang masuk daftar tunggu transplantasi organ. Di sisi lain, dalam upaya mengampanyekan agar orang mau menjadi donor organ, yang legal tentunya, disebutkan kalau setiap donor bisa menyelamatkan sampai 8 nyawa.
Iran, Negara yang Melegalkan Komersialisasi Transplantasi OrganHampir semua negara di dunia melarang komersialisasi transplantasi organ alias perdagangan organ tubuh. Artinya kebanyakan negara hanya membolehkan donor organ tubuh yang dilakukan secara sukarela untuk alasan kemanusiaan.
Namun, ada Iran, satu-satunya negara yang melegalkan donasi ginjal berbayar. Sejak tahun 1988, sebuah program transplantasi ginjal dari donor hidup, tetapi bukan kerabat, yang terkompensasi dan teregulasi, diadopsi di Iran.
Mengutip artikel LA Times pada 15 Oktober 2017, sederhananya skema ini melibatkan satu yayasan di bawah Kementerian Kesehatan yang menjadi penengahnya. Mereka bertugas mendaftarkan pembeli serta penjual, mencocokkan kebutuhan organ, dan menetapkan harga yakni sebesar 4.600 dolar AS per organ. Catatan tambahan, aturan ini hanya berlaku bagi warga negara Iran.
Dampaknya, berdasar jurnal medis tulisan Ahad J Gods, transplantasi ginjal meningkat secara signifikan. Puncaknya pada tahun 1999 daftar tunggu untuk transplantasi ginjal dihilangkan.
Selain itu pihak berwenang di Iran juga percaya kalau sistem ini memberi masyarakat yang kesulitan secara ekonomi untuk mendapat uang dengan cara yang relatif aman, dan menyelamatkan nyawa seseorang di saat bersamaan. Hal ini juga mengeliminasi daftar tunggu yang menjadi kebanyakan negara lain.
"Ketimbang melakukan hal-hal ilegal untuk melunasi hutang, seperti mencuri atau melakukan penyelundupan, mereka malah menyelamatkan nyawa orang lain," ujar Nasser Simforoosh, Ketua Departemen Urologi dan Transplantasi Ginjal Shahid Labbafinejad Medical Center di Teheran utara, dikutip dari LA Times.
"Ini bukan eksploitasi. Hasil akhirnya baik untuk penerima dan donor,” tambahnya lagi.
Eksploitasi pendonor --atau penjual dalam kasus ini-- memang menjadi poin utama penolakan komersialisasi penjualan organ oleh WHO dan badan internasional lainnya. Selain itu, meski kebanyakan orang akan dapat hidup sehat hanya dengan satu ginjal, komersialisasi organ juga mendorong tenaga kesehatan untuk melakukan prosedur yang berisiko tinggi.
Sementara riset yang dilakukan Departemen Urologi Universitas Kedokteran Kermanshah, Iran menunjukkan tingginya angka penyesalan oleh para pendonor.
Terdapat 76 persen pendonor yang berpendapat penjualan ginjal seharusnya dilarang. Mereka juga mengatakan kalau bisa mengulang keadaan mereka akan memilih mengemis atau mencari pinjaman rentenir ketimbang menjual ginjal. Terdapat 75 persen pendonor yang juga mengaku tidak mencapai tujuan yang diharapkan dari penjualan ginjal yang dilakukan.
Selain itu, kembali menukil dari LA Times, dalam praktiknya ditemukan juga penjual ginjal yang kemudian "memotong jalur" dengan menjual langsung organ mereka ke orang-orang kaya Iran untuk melewati proses atau menjual ke orang asing yang dilarang oleh negara.
Editor: Farida Susanty