tirto.id - Kabar mengejutkan bagi dunia sains menyeruak dari Jepang akhir Juli lalu. Pada 24 Juli, komite ahli dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Sains dan Teknologi Jepang memberi persetujuan kepada tim ilmuwan pimpinan Nakauchi Hiromitsu untuk mengembangkan riset embrio hibrida manusia dan hewan. Tak hanya itu, tim Nakauchi itu juga diizinkan untuk mencangkok embrio hibrida itu ke rahim pengganti.
Meski persetujuan resmi dari Kementerian Pendidikan baru akan diterbitkan sekira Agustus ini, rencana riset Nakauchi ini adalah yang pertama yang disetujui di Jepang. Sebelumnya Jepang hanya memperbolehkan ilmuwan menumbuhkan embrio hibrida manusia-hewan selama 14 hari. Transplantasi ke embrio ke rahim pengganti juga dilarang.
Tapi, sebagaimana diwartakan jurnal ilmiah Nature, pembatasan dan larangan itu dicabut pada Maret silam. Kementerian Pendidikan Jepang lantas menerbitkan aturan riset baru yang memungkinkan pengembangan embrio hibrida manusia-hewan yang dapat ditransplantasikan ke rahim hewan pengganti.
Tujuan utama riset Nakauchi adalah menghasilkan hewan dengan organ yang tersusun dari sel manusia yang akhirnya bisa ditransplantasikan ke manusia.
"Akhirnya, kami bisa memulai studi serius di bidang ini setelah sepuluh tahun persiapan. Kami tidak berharap untuk membuat organ manusia [dalam tubuh hewan] dengan segera, tapi riset ini memungkinkan kami untuk memajukan pengetahuan yang telah kami peroleh hingga saat ini," kata Nakauchi yang merupakan profesor di Institute of Medical Science, University of Tokyo sebagaimana dikutip Asahi Shimbun.
Untuk riset ini, Nakauchi memimpin tim ilmuwan dari University of Tokyo dan Stanford University, AS. Tim Nakauchi rencananya akan membuat pankreas manusia pada tubuh tikus dengan menggunakan sel batang pluripotent (iPS)—sel yang diprogram ulang ke kondisi embrio—manusia.
Skenario besarnya, tim Nakauchi akan membuat sel telur tikus yang direkayasa agar tidak punya kemampuan menumbuhkan pankreas. Sel telur yang direkayasa itu lantas diinjeksi dengan sel-sel iPS manusia sehingga terciptalah embrio hibrida.
Embrio hibrida itu lantas ditransplantasikan ke rahim tikus untuk tumbuh. Jika berhasil, bayi-bayi tikus yang lahir nantinya akan memiliki pankreas dengan susunan sel manusia. Tak habis sampai di situ, para peneliti juga akan memantau perkembangan tikus-tikus itu selama dua tahun—masa hidup alami tikus di alam.
Tapi, Nakauchi tak ingin terburu-buru mewujudkan embrio hibrida apapun dalam waktu dekat. Eksperimen akan dilakukan bertahap. Sebagai mula, timnya akan menumbuhkan embrio hibrida selama 14,5 hari dan lalu 15,5 hari. Di masa-masa itu organ-organ embrio hibrida itu sebagian telah terbentuk dan bisa diamati. Setelah tahap awal ini berhasil, Nakauchi berencana mengajukan persetujuan lagi untuk eksperimen embrio hibrida pada babi hingga 70 hari.
“Eksperimen ini memang sebaiknya dilakukan bertahap dengan hati-hati, sehingga memungkinkan adanya dialog dengan publik yang merasa cemas dan gusar,” kata peneliti kebijakan sains Tetsuya Ishii dari Hokkaido University sebagaimana dikutip Nature.
Organisme Chimaera
Pengembangan embrio hibrida seperti yang dilakukan tim Nakauchi sebenarnya bukan “permainan” baru di ranah biologi. Sejak awal abad ke-20 organisme hibrida macam itu dikenal secara populer sebagai Chimaera—yang terinspirasi dari makhluk mitologis Yunani berkepala singa, berekor ular, dan memiliki kepala domba di punggungnya.
Rodolphe Bourret dkk. dalam jurnal ilmiah Human–animal chimeras: ethical issues about farming chimeric animals bearing human organs menyebut bahwa Chimaera secara umum merujuk pada segala organisme yang memiliki perpaduan material (gen, sel, jaringan, atau organ) dari dua organisme berbeda. Organisme chimaera bisa dikembangkan dari kombinasi hewan dan hewan atau bahkan manusia dan hewan.
Tapi, cabang-cabang biologi biasanya punya definisi spesifik sendiri. Dalam genetika, misalnya, chimaera mengacu pada hibrida antarspesies. Bagal—persilangan kuda betina dengan keledai jantan—adalah contoh populer untuk ini. Sementara dalam kasus riset Nakauchi, chimaera dipahami secara embriologis sebagai embrio yang dikembangkan dari kombinasi sel dua individu berbeda.
Pelopor dari riset chimaera di awal abad ke-20 adalah embriolog Hilde Mangold. Eksperimen pertama yang menjadi dasar penciptaan embrio chimaera dilakukan oleh Hilde Mangold di laboratorium University of Friedburg, Jerman, pada 1923.
The Embryo Project Encyclopedia menyebut riset Hilde Mangold sebenarnya berfokus pada transplantasi sel. Embriolog senior Hans Spemann, mentornya saat itu, lantas menyarankannya untuk melakukan eksperimen transplantasi dengan embrio dari dua spesies kadal air, Triturus cristatus yang berpigmen gelap dan Triturus taeniatus yang berpigmen terang.
Dari sekitar 259 eksperimen transplantasi yang dilakukan Hilde Mangold, hanya enam embrio yang bisa dianggap berhasil. Embrio hibrida itu bisa mengembangkan beberapa organ penting seperti jaringan saraf dan otak. Berkat eksperimen itu, Hilde Mangold memperoleh gelar doktor bidang zoologi.
Transplantasi tingkat embrionik sebagaimana yang dilakukan Hilde Mangold hanyalah salah satu cara menciptakan organisme chimaera. Cara lain yang bisa ditempuh adalah mencangkokkan langsung organ hewan donor ke hewan penerima. Tapi, cara ini lebih berisiko karena karena sistem kekebalan tubuh hewan penerima dapat menyebabkan organ donor itu ditolak.
Seiring perkembangan teoritis dan teknologi, para saintis mulai menjajaki kemungkinan mengombinasi organ manusia dan hewan. Tentu saja, bukan untuk menciptakan organisme chimaera baru, tapi lebih khusus untuk kebutuhan medis.
Sara Reardon dalam "A New Life for Pig Organs" (PDF) menyebut bahwa para ahli bedah medis telah mencoba menjadikan babun dan simpanse sebagai donor ginjal bagi pasien manusia sejak 1960-an. Tapi usaha ini tak seberapa berhasil. Ginjal bisa ditransplantasikan, namun pasien meninggal dalam beberapa bulan setelahnya.
“Biasanya karena sistem kekebalan menyerang dan menolak organ. Namun gagasan xenotransplantasi [transplantasi organ spesies asing ke manusia] tetap bertahan. Kata para pendukungnya, itu bisa membantu menyelamatkan nyawa puluhan ribu orang di seluruh dunia yang meninggal setiap tahun gara-gara menunggu donor manusia yang cocok,” tulis Reardon.
Risiko dan Hambatan Etis
Ide memanfaatkan chimaera untuk keperluan riset medis dan sumber donor organ terus berkembang. Pada 2008 tim ilmuwan dari Newcastle University, Inggris, berhasil menciptakan embrio hibrida manusia dan sapi. Itu menjadi embrio hibrida pertama yang diciptakan di Inggris.
Embrio hibrida manusia-hewan hasil riset tim ilmuwan Newcastle University itu dikabarkan terdiri dari 99,9% manusia dan 0,1% hewan. Ia berhasil tumbuh selama tiga hari sampai memiliki 32 sel. Tim yang dipimpin Lyle Armstrong itu optimistis hasil riset mereka dapat dimanfaatkan untuk kepentingan studi penyakit seperti Alzheimer, Parkinson dan penyakit neuron motorik.
"Jika Anda amati melalui mikroskop, embrio itu terlihat seperti semolina dan akan tetap seperti itu. Tidak akan pernah ada apapun selain setumpuk sel. Embrio itu adalah alat untuk menjawab pertanyaan sederhana: bagaimana kita memperoleh pemahaman lebih baik soal proses penyakit dengan memanfaatkan sel-sel itu?" terang kepala Institute of Human Genetics dari Newcastle University John Burn sebagaimana dikutip The Guardian.
Tapi, alih-alih mendapat dukungan, pencapaian itu justru dapat kecaman dari kelompok-kelompok religius. Kelompok ini menolak total gagasan penempatan DNA manusia dan hewan dalam entitas yang sama. Kardinal Keith O'Brien, misalnya, mengecam riset itu sebagai eksperimen "setingkat Frankenstein".
Berkaca dari peristiwa itu, bukan tidak mungkin riset yang akan dilakukan tim Nakauchi juga akan mengalami hal yang sama, meskipun sejauh ini belum ada kecaman atau kritik yang menyasar mereka. Selain kaum agamawan yang pasti tidak setuju dengan dalih hal itu melangkahi kuasa Tuhan sebagai pencipta, hal itu juga merendahkan martabat manusia.
Orang Islam, misalnya, akan menentang ide babi sebagai donor paru-paru meskipun itu memungkinkan. Publik juga takut riset chimaera itu akan mengarah pada penciptaan organisme non-manusia dengan kesadaran, kognisi, dan karakter mental yang mirip manusia.
Kekhawatiran akan arah riset chimaera macam ini juga sudah disuarakan beberapa ahli bioetika sejak jauh hari. Mereka umumnya khawatir tentang kemungkinan bahwa sel-sel manusia dalam embrio hewan bisa saja melampaui pengembangan organ yang ditargetkan. Bukan tak mungkin sel-sel itu berkembang pula dalam otak hewan dan berpotensi mempengaruhi kognisi.
Menjawab kekhawatiran ini, Nakauchi meyakinkan bahwa risiko ini telah dipertimbangkan dalam desain eksperimennya. "Kami mencoba untuk melakukan pembuatan organ yang ditargetkan, jadi sel-selnya hanya menuju pankreas," katanya sebagaimana dikutip Nature.
Asahi Shimbun mengabarkan, dalam desain eksperimen itu, Nakauchi dan timnya akan memeriksa otak embrio hibrida setelah mereka mencapai tahap perkembangan tertentu. Jika mereka mendeteksi bahwa otak embrio itu tersusun dari 30 persen atau lebih sel manusia, maka eksperimen akan dihentikan.
Lagi pula, untuk saat ini sebenarnya penciptaan organ donor dalam tubuh hewan masih terlalu dini untuk dibilang berhasil. Membuat sel manusia tumbuh di spesies lain bukanlah hal mudah meskipun dengan teknologi hari ini.
Sebelumnya, Nakauchi pernah menumbuhkan embrio hibrida manusia dan domba. Embrio itu bisa hidup sampai 28 hari, tapi komposisi sel manusianya terlampau sedikit dan organ tak terbentuk. Nakauchi menduga ini disebabkan jarak genetik antara manusia dan domba yang terlalu jauh.
Hal ini dibenarkan oleh Jun Wu, peneliti chimaera dari University of Texas Southwestern Medical Center. Menurutnya, jarak evolusioner yang terlalu jauh antara manusia dan domba membuat sel-sel manusia akan tereliminasi dari embrio sejak dini.
"Pemahaman dasar molekuler dan mengembangkan strategi untuk mengatasi penghalang ini masih sangat diperlukan," kata Wu.
Risiko lain yang juga masih menghantui adalah penularan penyakit hewan ke manusia melalui organ donor. Risiko ini, misalnya, terdapat pada babi sejauh ini dianggap sebagai sumber donor paru-paru yang menjanjikan. Paru-paru babi memang punya ukuran yang mendekati ukuran paru-paru manusia, tapi genom babi dipenuhi dengan virus yang disebut PERV.
“PERV mirip dengan virus HIV penyebab AIDS dan terbukti bisa menginfeksi sel manusia. Tidak ada badan pengatur yang mengizinkan transplantasi dengan organ yang terinfeksi. Dan sampai saat ini, belum ada yang bisa membersihkan babi dari retrovirus-nya,” tulis Michael Specter di majalah National Geographic edisi Agustus 2016.
Editor: Windu Jusuf