tirto.id - Maguwo sedang mendung ketika kecepatan motor saya berlari ke arah 60 kilometer per jam. Sambil harap-harap cemas, sepanjang jalan saya hanya melakukan afirmasi, sembari sesekali menengok awan yang pelan-pelan menghitam.
Setelah dua jam perjalanan, saya sampai di Solo. Sesuai ekspektasi, hujan tak jadi turun dan saya merasa amat beruntung. Mungkin orang-orang juga berpikir demikian.
Sekitar pukul 19.00 WIB, saya pun berangkat ke Stadion Manahan sambil membawa penasaran: akan seperti apa pertunjukkan Dream Theater kali ini? Kejutan macam apa yang akan mereka berikan ke penonton?
Di benak saya, James LaBrie dan kawan-kawan tak mungkin menyuguhkan sesuatu yang klise, mengingat bukan kali pertama mereka menyapa penggemar di Indonesia, yang sependek ingatan saya, sudah sebanyak tiga kali. Tahun 2017 di Yogyakarta, serta tahun 2012 dan 2014 di Jakarta.
Sambil mencari posisi yang pas, saya berdiri di tengah-tengah, tak jauh dari posisi sound engineer FOH (Front of House), berdesakan dengan yang lainnya. Harapannya, bisa mendengar sound secara stereo dan mempelajari teknik panning sang engineer.
Visual panggung bergambar cover album A View from the Top of the World langsung mendominasi. Sepasang sepatu di atas dua tebing air terjun seolah menggambarkan "perjuangan" orang-orang datang ke konser itu. Tentunya dengan kesulitan masing-masing.
Atraksi Kromatik dan Stamina yang Terjaga
Dream Theater muncul tepat pukul 20.02 WIB dan langsung membuka konser dengan lagu "The Alien". Ribuan pasang mata langsung mengarah ke atas panggung: lima orang itu adalah idola yang sudah ditunggu sejak lama. Petrucci, Myung, Rudess dan Mangini pun beraksi dengan alat masing-masing. Sementara LaBrie berlari ke sana kemari, mempelajari situasi.
Saya memasang indra baik-baik. Sound berat Petrucci mulai memenuhi lapangan, dan kick Mangini terasa mengentak dada. Visual hijau bergambar makhluk luar angkasa itu semakin membuat tegang suasana, sedikit mencekam dan terancam oleh nada-nada miring khas Dream Theater. Atraksi pun dimulai. Penonton siap menerima kejutan.
Ribuan orang kompak menepuk udara tatkala Petrucci dan Rudess berduel tempo sembari memperlihatkan kecepatan jari masing-masing. Nyaris seperti adegan ulat memakan daun, lentur, cepat dan teratur.
Lagu berdurasi sembilan menit itu dituntaskan dengan baik. Tepuk tangan kembali menggema sesudahnya. Saya menyaksikan dengan seksama dari lagu ke lagu, mencatat dari menit ke menit, walau terkadang kehilangan fokus karena pertunjukkan penuh ketegangan itu berlangsung selama dua jam.
Total ada 10 lagu yang mereka bawakan: "The Alien", "6:00", "Awaken The Master", "Endless Sacrifice", "Bridges In The Sky", "Invisible Monster", "About To Crash", "The Ministry of Lost Souls", "AVFTTOTW" dan "The Count of Tuscany".
Tapi, di sinilah poin pentingnya. Selama dua jam itu kita semacam diajak menjadi “supervisor”. Siap mencari kesalahan dari masing-masing anggota. Sebab, bila ada yang salah memainkan tempo dan nada, maka pertunjukkan akan "ambyar" dan menjadi tidak menarik. Dan Dream Theater akan siap menerima konsekuensi "mendapat hujatan" karena sudah takdirnya besar di jalur progresif.
Memainkan progresif selama dua jam penuh tentu bukan perkara gampang, apalagi dengan umur yang semakin bertambah, tetapi malam itu, Dream Theater tetap menjaga performa dengan stamina luar biasa.
Harus diakui, baik John Petrucci (gitar), John Myung (bass), Jordan Rudess (keyboard) dan Mike Mangini (drumer) bermain dengan sangat kompak dan harmonis. Para supervisor (red-penonton), seperti saya, gagal menemukan kesalahan. Tak seperti pengakuan beberapa vokalis yang sering lupa lirik ketika manggung.
Sementara James LaBrie, dengan usia nyaris menginjak 60 tahun, masih mampu menyanyikan nada tinggi sesuai dengan citra vokal band asal Boston, Amerika Serikat itu: melengking dan bervibrasi. Walau sesekali bersiasat mengatasi kesulitan dengan mengarahkan microphone ke penonton.
Sebenarnya, saya pribadi lebih familier dengan album Images and Words, di mana lagu-lagunya pernah mereka bawakan secara penuh dalam konser di Yogyakarta lima tahun lalu. Waktu itu, saya diajak bernostalgia ke sebuah masa di mana festival band masih sering digelar, mulai dari "Pull Me Under", "Metropolis" sampai "Learning to Live".
Tapi dalam konser di Solo kemarin, Dream Theater mengajak penggemar untuk memakai cara berbeda saat menikmati performa. Saya pribadi justru diajak menjadi guru matematika yang siap mencari kesalahan penghitungan dari para murid. Dengan demikian, para penonton butuh fokus maksimal supaya bisa larut ke dalam dunianya.
Selama pertunjukkan, saya pun terheran-heran, bagaimana bisa mereka tetap menjaga skill dengan umur yang semakin menua? Sedangkan pernah kita saksikan seorang gitaris profesional—atau barangkali teman-teman kita sendiri—yang jago di masa muda, tapi kehilangan kemampuannya ketika tua.
Akhirnya, saya pun mencari tahu soal itu dan menemukan sebuah forum diskusi di situs Ultimate Guitar. Menurut salah satu user, Petrucci dan teman-teman Dream Theater lainnya pernah mengatakan: bahwa mereka harus berlatih 8 jam sehari di luar latihan band.
Barangkali, itu yang membuat penampilan dan stamina para personelnya tetap terjaga sehingga mampu memukau penonton dengan berbagai atraksi kromatiknya. Sebuah pertunjukkan yang tak sia-sia saya tonton di malam itu. Memukau dan luar biasa.
Editor: Iswara N Raditya