tirto.id - Syawahidul Haq, 24 tahun, sering berkumpul bersama kawannya sesama mahasiswa asal Kota Kembang, Bandung. Perkumpulannya secara tidak resmi dinamakan Perkuca alias Perkumpulan Kumis Carang. Saban bertemu, seperti mahasiswa pada umumnya, semua hal dibicarakan, dari mulai yang remeh hingga yang berat.
Untuk yang terakhir termasuk diskusi soal pemikiran 'kiri'—merujuk pada ideologi sosialisme dan segala variannya. Berdiskusi, katanya, adalah hal yang penting dilakukan di samping sekadar membaca sendiri tulisan 'kekiri-kirian'.
"Semuanya penting, tapi yang lebih penting, ya didiskusiin," kata Syawahidul kepada reporter Tirto, Sabtu (29/12/2018).
Seperti generasi yang mulai makan bangku sekolahan pada era Orde Baru, Syawahidul awalnya juga antipati terhadap gagasan kiri. Namun itu berubah sejak berkuliah dan ia mulai berkenalan dengan buku-buku kiri, misalnya karya Karl Marx.
Selain itu, bahan serupa juga ia peroleh secara daring. Artikel dan buku digital itu yang membantunya menjalani apa yang ia sebut sebagai "perjalanan ideologis." Bacaan digital itu bahkan lebih mudah didapat ketimbang buku cetak.
Atas pengalaman itu, ia menilai razia buku yang dilakukan oleh Kodim 0809 Kediri dan Polres Kediri pada Kamis (27/12/2018) lalu sia-sia belaka.
Dalam operasi tersebut, aparat menyita sejumlah buku yang dinilai mempropagandakan PKI dan komunisme—meski buku Islam Sontoloyo karya Presiden ke-1 RI Soekarno juga kena 'sikat'. Komandan Kodim 0809 Kediri Dwi Agung mengatakan buku tersebut "diamankan guna menghindari keresahan masyarakat."
Dwi Agung tak mau apa yang instansinya lakukan disebut razia. Sebab katanya, jika setelah dikaji tidak ada indikasi penyebaran komunisme, buku-buku itu akan dikembalikan ke pemiliknya.
Kabar terakhir, seperti dilaporkan surya.co.id, pemilik toko buku yang dirazia telah diperiksa di Kantor Kejaksaan Kediri, Jumat (28/12/2018) kemarin. Pemilik mengatakan ia telah menjual buku-buku itu sejak setahun yang lalu, dan tak ada yang mempermasalahkannya.
Bagi Syawahidul, selain tak relevan di tengah pesatnya perkembangan teknologi, razia buku juga kontraproduktif jika dilihat dari kacamata penyita itu sendiri.
"Pada akhirnya bukan malah meredam pemikiran-pemikiran yang cenderung kiri itu, justru mungkin kebalikannya. Malah ramai. Viral. Otomatis kan jadi banyak orang yang penasaran [dan baca]," ujarnya.
Makin Mengandalkan Daring
Pendiri penerbitan Ultimus, Bilven Rivaldo Gultom, juga sependapat dengan Syawal: bahwa razia buku zaman kiwari memang tidak lagi relevan. Selain karena file digital bisa didapat dengan mudah, penjualan buku cetak secara daring pun kian masif. Dengan dijual cetak, kebutuhan toko buku permanen jadi semakin kecil. Orang-orang juga tak perlu datang ke lokasi penjual cuma untuk membeli satu dua eksemplar.
"Kalau online kan gudang atau kantornya bisa di mana aja," kata Bilven kepada reporter Tirto, Sabtu (29/12/2018).
Ada pula penerbit yang memang sengaja menyebarkan file digital buku yang mereka terbitkan dengan alasan non-profit. "Misalnya buku hasil penelitian."
Bilven menilai razia buku-buku kiri tidak berpengaruh banyak pada penjualan, meski misalnya itu kian masif. Itu ia alami sendiri. Pada pertengahan 2016, kala aparat tengah gencar-gencarnya merazia buku, hanya butuh waktu beberapa saat bagi Ultimus untuk kembali normal.
"Mungkin karena faktor digital. Lebih praktis belanja online daripada harus datang ke toko buku," katanya.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino