tirto.id - Rasanya tidak pas menggolongkan Nasdem sebagai pemain baru. Juga tidak cocok bila Nasdem dikategorikan sebagai pemain lama. Umur partai ini baru delapan tahun. Baru dua pemilu tingkat nasional yang diikutinya.
Namun, ketika partai-partai lain gagal mendongkrak perolehan suara di pemilihan umum 2019, perolehan suara Nasdem menurut hasil hitung cepat setidaknya 1,5 persen lebih banyak daripada capainnya di Pemilu 2014.
Pada Pemilu 2014, perebutan suara pertama yang diikuti Nasdem, partai yang didirikan Juli 2011 ini mendapatkan 6,72 persen suara. Berdasarkan hasil hitung cepat Pemilu 2019 yang dihelat Litbang Kompas, Nasdem meraup 8,23 persen suara (1,51 angka). Sedangkan hasil hitung cepat SMRC-LSI menunjukkan Nasdem diprediksi memperoleh 8,84 persen suara (naik 2,12 angka) dan Indikator Politik Indonesia menyigi Nasdem mendapat 9,04 persen suara (naik 2,32 angka).
Walaupun mempercayai hasil hitung cepat, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Nasdem Johnny G. Plate tak mau buru-buru mengambil simpulan mengenai perolehan suara Nasdem di Pemilu 2019. Pihaknya menunggu hasil perhitungan suara resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Kalau suara Nasdem baik di 2019, itu karena hasil kerja-kerja politik yang dilakukan Nasdem mulai dari ketua umum sampai jajaran Nasdem di daerah. Itu yang dilakukan kami," ujar Johnny kepada Tirto, Rabu (24/4).
Mengapa Naik?
Strategi utama Nasdem di Pemilu 2019, tutur Johnny, ialah mempromosikan "politik tanpa mahar". Menurutnya, para calon pemilih tidak menyukai politik berbiaya tinggi.
"Dari pilkada, pemilu, hingga pilpres, kami tekankan politik tanpa mahar. Kami melihat rakyat meresponsnya secara positif," ujar Johnny.
Selain itu, Nasdem juga memasang calon anggota legislatif yang memiliki elektabilitas tinggi di daerah pemilihannya (dapil). Johnny tidak menampik bila partainya dibilang pragmatis karena semua partai melakukannya. Menurutnya, Nasdem hanya bersikap realistis kala menghadapi Pemilihan Anggota Legisltif (Pileg) 2019 yang ketenarannya tenggelam di bawah bayang-bayang Pemilihan Presiden (Pilpres).
"Bukan popularitas, tapi elektabilitas. Dia mungkin punya populer secara nasional, tapi kalau tidak ada elektabilitas di dapilnya? Orang pilih bukan karena dia pintar saja, tapi faktor lain juga. Pemilihan anggota DPRD, misalnya, yang dipilih itu anggota keluarganya, kok, atau temannya," kata Johnny yang juga calon anggota legislatif (caleg) DPR dari dapil Nusa Tenggara Timur (NTT) II.
Dari 575 caleg DPR yang diusung Nasdem, 50 caleg di antaranya petahana. Artinya, mereka ialah orang yang telah dipilih pada Pemilu 2014. Sebanyak 15 dan 50 caleg petahana itu juga berasal dari partai lain. Nasdem mendapat setidaknya 7 caleg petahana dari Hanura, partai yang dilanda konflik internal awal tahun lalu. Selain itu, sejumlah mantan kepala daerah juga maju sebagai caleg dari Nasdem.
Peneliti politik yang berkantor di UIN Jakarta Adi Prayitno mengatakan para caleg petahana dan mantan kepala daerah memiliki modal sosial besar. Mereka terbukti telah lolos ke DPR atau memenangkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) sebelumnya. Nasdem, menurut Adi, cukup cerdik menggaet mereka sebagai caleg.
"Kenaikan suara Nasdem dipengaruhi pemilihan caleg petahana, termasuk dari partai lain, dan mantan kepala daerah," sambung Adi kepada Tirto, Rabu (24/4).
Selain itu, Adi juga menilai kampanye "politik tanpa mahar" yang diusung Nasdem cukup banyak dibicarakan. Ini mirip dengan program anti-poligami ala PSI atau janji pemberlakuan SIM seumur hidup yang dikampanyekan PKS. Program itu, meskipun menuai kontroversi, dipergunjingkan banyak orang jelang Pemilu 2019.
Nasdem, Jokowi, dan Media
Sementara para caleg dan simpatisan berkampanye di dapil-dapil, Nasdem juga memanfaatkan satu aset penting dalam politik Indonesia: media. Menurut telaah Adstensity, platform monitoring iklan televisi, Nasdem menggelontorkan setidaknya Rp31,88 miliar untuk belanja iklan.
Selain itu, Nasdem didirikan dan diketuai Surya Paloh, pengusaha pemilik jaringan media Media Group.
Merlyna Lim menuliskan dalam "The League of Thirteen Media Concentration in Indonesia" (2012) bahwa setelah Nasdem didirikan sampai jelang Pemilu 2014, Surya Paloh memanfaatkan Metro TV, televisi yang juga anggota Media Group. Di masa yang sama, Aburizal Bakrie (Ketua Umum Golkar 2009-2016), juga melakukan hal serupa menggunakan TV One, stasiun televisi miliknya. Lim menyebutkan hal itu membuat kontrol politik oleh media tidak proporsional. Media juga menjadi ruang perdebatan yang tidak berguna.
Sebab Nasdem mendukung Jokowi, Ross Tapsell menuliskan dalam "Indonesia's Media Oligarchy and Jokowi Phenomenon" (2015) bahwa Metro TV secara eksplisit mendukung kampanye Jokowi, membuntuti ke manapun Jokowi pergi dan seringkali menyerang Prabowo.
Peneliti media di Remotivi, Roy Thaniago, menganalisis headline koran Media Indonesia edisi 26 Februari 2019 hingga 26 Maret 2019. Analisisnya menunjukkan bahwa sikap partisan masih ditunjukkan media tersebut. Lebih dari separuh isi headline Media Indonesia selama periode yang dianalisis Roy melulu berbicara tentang program pemerintah, survei yang memenangkan Jokowi-Ma’ruf, kecemerlangan Ma’ruf dalam debat, atau kegiatan Jokowi.
"Ada berita yang menggambarkan seorang ibu yang bersimpuh di kaki Jokowi saat ia sedang meresmikan Tol Trans-Sumatera (9 Maret), berita tentang “Ulama Minta Jokowi Tidak Diam Hadapi Hoaks” (6 Maret), atau seruan Jokowi yang minta pendukungnya tingkatkan militansi (10 Maret). Dari total 48 berita, tercatat ada 18 berita positif bagi Jokowi dan 1 berita negatif bagi Prabowo," sebut Roy.
Editor: Windu Jusuf