tirto.id - Mobil listrik kini mulai mewarnai pasar mobil bekas di Indonesia. Meski demikian, salah satu yang menjadi sorotan dari pasar mobil listrik bekas di Indonesia akhir-akhir ini adalah depresiasi, atau penyusutan harga jual yang nampak signifikan.
Berdasarkan pantauan Tirto di platform jual beli mobil daring seperti Mobil123 dan OLX, harga bekas mobil listrik di Indonesia memang terpantau mengalami depresiasi yang cukup signifikan.
Kami memantau harga bekas beberapa jenis mobil listrik yang rilis antara tahun 2022-2024 di Indonesia. Salah satu temuan menarik berasal dari sebuah mobil listrik berjenis city car yang pertama kali diluncurkan pada 2022. Kini, mobil tersebut ditawarkan di pasar mobil bekas dengan harga terendah sekitar Rp105 juta.
Padahal, saat pertama kali dipasarkan, mobil ini dibanderol dengan harga antara Rp180 juta hingga Rp250 juta. Artinya, dalam kurun waktu hanya dua tahun, nilai mobil tersebut telah mengalami penyusutan hingga sekitar 50 persen.
Contoh lainnya terlihat pada mobil listrik kedua, yakni jenis city car di segmen premium yang dipasarkan di Indonesia. Berdasarkan pantauan di sejumlah situs jual beli mobil daring, mobil yang pada tahun 2023 dijual dengan harga sekitar Rp700 juta, kini ditawarkan di pasar mobil bekas dengan harga Rp429 juta. Dengan demikian, dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, nilai mobil ini telah mengalami penyusutan hingga ratusan juta rupiah.
Sementara itu, pada mobil listrik ketiga, yang merupakan sedan premium dan baru dirilis di Indonesia pada Januari 2024, tren depresiasi juga tampak nyata. Mobil yang saat peluncuran dibanderol dengan harga antara Rp639 juta hingga Rp750 juta, kini dapat ditemukan di pasar bekas dengan harga sekitar Rp465 juta. Artinya, hanya dalam waktu sekitar satu tahun, harga mobil ini telah turun ratusan juta rupiah.
Lalu, apa faktor yang menyebabkan depresiasi harga mobil listrik di Indonesia?
Khawatir Soal Kondisi Baterai hingga Persaingan Ketat
Pengamat otomotif Bebin Djuana menilai fenomena anjloknya harga mobil listrik bekas tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga merupakan tren global. Menurutnya, kekhawatiran utama konsumen terhadap mobil listrik bekas terletak pada kondisi baterai, komponen yang nilainya bisa mencapai sekitar 40 persen dari harga kendaraan listrik.

Ia menjelaskan, di masa lalu, membeli mobil bekas berusia lima tahun relatif lebih dapat diprediksi. Konsumen umumnya sudah mengetahui komponen apa saja yang kemungkinan perlu diganti, dan selama mobil tersebut tidak pernah mengalami kerusakan besar seperti terendam banjir, kerusakan yang ditimbulkan masih bisa ditoleransi.
Namun, kondisi tersebut berbeda dengan kendaraan listrik berbasis baterai (Battery Electric Vehicle/BEV) yang masih tergolong teknologi baru. Masyarakat dinilai masih berhati-hati untuk menggunakan teknologi tersebut dengan segala risiko yang belum bisa diprediksi.
“Sekarang Battery Electric Vehicle (BEV) adalah makhluk baru yang sangat diwaspadai. Hal itulah yg menyebabkan konsumen membuat ancang-ancang yang besar untuk sekedar membuat pengaman dana cadangan,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (12/8/2025).
Ia menambahkan, anjloknya harga jual kembali mobil listrik disebabkan oleh meningkatnya persaingan di segmen kendaraan listrik. Seiring berjalannya waktu, pilihan kendaraan listrik semakin beragam dan harga pun kian kompetitif. Hal ini membuat konsumen memiliki lebih banyak pertimbangan sebelum memutuskan membeli mobil bekas yang pada akhirnya berpengaruh pada depresiasi mobil listrik bekas.
“Sekarang konsumen mendapat banyak pilihan, harga semakin terjangkau. Jika ada konsumen yang mau beli mobil listrik bekas, tentu tawaran-tawaran baru dari brand lain menjadi pertimbangan, akhirnya jika murah baru dipinang,” tambahnya
Bebin juga menyinggung diskon besar-besaran yang ditawarkan pabrikan mobil listrik di GIIAS 2025 lalu. Menurutnya, hal itu bisa jadi disebabkan oleh overstock di negara asal atau persaingan harga yang sangat ketat di pasar global. Imbasnya, harga kendaraan baru di Indonesia menjadi lebih fluktuatif dan pada akhirnya memengaruhi nilai mobil bekas.
“Dalam hal ini harga mobkas jadi semakin tidak jelas, kondisi ini sangat buruk, terutama kepercayaan masyarakat terhadap brand yang bersangkutan, bukan karena kualitas produk tapi pricing policy. Jadi konsumen bimbang, beli yang bekas atau yang baru saja,” ujarnya.
Depresiasi karena Diskon Besar-Besaran?
Terpisah, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengungkap depresiasi kendaraan listrik disebabkan oleh dua faktor yang saling memengaruhi.

Pertama, faktor persepsi risiko. Banyak konsumen masih menyimpan kekhawatiran terhadap kesehatan baterai EV, ketersediaan suku cadang, serta keterbatasan jaringan servis yang memadai. Faktor kedua yakni kompetisi harga di antara merek-merek EV. Persaingan ini mendorong produsen untuk terus memangkas harga resmi, mempercepat siklus peluncuran model baru, serta menawarkan berbagai promosi agresif.
“Ketika produsen menata ulang banderol dan menambah promosi, jangkar harga di benak konsumen bergeser; pasar bekas otomatis menyesuaikan. Ini adalah mekanisme normal dalam industri yang sedang membangun skala dan kepercayaan,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (13/8/2025).
Achmad juga menyoroti fenomena diskon besar-besaran yang diberikan oleh pabrikan mobil listrik dalam ajang GIIAS 2025. Menurutnya, kebijakan ini membawa dampak dua sisi yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, diskon besar dapat menjadi berkah bagi konsumen karena menurunkan total biaya kepemilikan dan mendorong adopsi kendaraan listrik secara lebih cepat.
“Bagi konsumen, diskon besar menurunkan total biaya kepemilikan dan mempercepat adopsi. Bagi produsen, ini strategi masuk akal di pasar yang tengah “dididik”, dorong volume, kunci pangsa, bangun basis pengguna,” ujarnya.
Namun, di satu sisi ada konsekuensi besar yang harus diwaspadai. Promosi yang terlalu ekstrem dan tanpa ritme dapat mengguncang stabilitas nilai EV di pasar mobil bekas. Ketika harga mobil listrik baru terlalu fluktuatif, harga jual kembali menjadi tidak terprediksi, yang pada akhirnya merugikan konsumen dan merusak persepsi terhadap nilai produk.
“Solusinya bukan menghapus diskon, melainkan menyeimbangkan insentif tunai dengan skema pembiayaan, paket wallbox, layanan purna jual, serta edukasi kesehatan baterai. Di sisi pricing, guidance yang lebih konsisten akan membantu pembeli memahami kapan harga 'dasar; benar-benar berubah dan kapan itu sekadar promosi,” ujarnya.
Lalu, bagaimana proyeksi penjualan mobil listrik ke depan?
Masa Depan Mobil Listrik Diprediksi Cerah
Di tengah depresiasi yang terjadi pada pasar mobil listrik bekas di Indonesia, Achmad menilai prospek penjualan kendaraan listrik di Indonesia tetap positif ke depan. Kebijakan fiskal seperti pembebasan PPnBM untuk BEV, PPN ditanggung pemerintah untuk model tertentu, serta insentif berbasis Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), menjadi motor penting dalam memperluas basis konsumen dan memperkuat jalur investasi.
“Ekspansi infrastruktur pengisian juga menekan range anxiety, membuat EV makin layak sebagai kendaraan utama, bukan sekadar mobil kedua. Kompetisi yang sehat pada akhirnya meningkatkan value for money: fitur bertambah, keamanan naik, biaya operasional rendah, dan jaringan layanan meluas,” ujarnya.
Meski demikian, ia menilai depresiasi terhadap harga mobil listrik bekas akan tetap tinggi pada model jenis tertentu. Hal ini terutama terjadi pada kendaraan listrik yang berada di segmen entry-level dengan jarak jelajah pendek, serta model-model yang mengalami siklus pembaruan fitur secara cepat.
Model-model seperti ini cenderung kehilangan daya tarik lebih cepat karena tergeser oleh versi baru yang menawarkan peningkatan signifikan dalam waktu singkat. “Karena itu, konsistensi kebijakan dan kedisiplinan pabrikan dalam mengelola repricing menjadi kunci stabilisasi,” ujarnya.
Lalu, apa yang harus dilakukan ke depannya?
Demi keberlangsungan ekosistem industri mobil listrik di Indonesia, bagi pemerintah, hal yang paling krusial adalah memberikan kepastian terkait parameter insentif, durasi kebijakan dan persyaratan TKDN yang jelas. Kepastian ini akan membentuk ekspektasi pasar yang lebih stabil, baik bagi produsen maupun konsumen.
“Ke depan, Indonesia juga perlu membangun standar data kesehatan baterai yang dapat diakses pasar, semacam 'buku servis digital' untuk baterai, agar penilaian mobil bekas dapat dilakukan secara objektif dan berbasis data,” ujarnya.
Sementara bagi industri, Achmad menyebut yang dibutuhkan adalah kontrol atas frekuensi dan kedalaman harga (repricing). Ia mengusulkan, promosi perlu diarahkan ke bentuk yang menjaga nilai residual, seperti program buyback yang transparan, skema leasing dengan nilai sisa yang realistis, serta layanan purna jual yang memudahkan pemilik generasi kedua.
“Edukasi soal usia pakai baterai, biaya penggantian, dan garansi juga perlu ditampilkan secara jelas, seterang spesifikasi teknis kendaraan,” ujarnya.
Sementara, bagi konsumen, penting untuk memahami bahwa depresiasi saat ini merupakan bagian dari "biaya belajar" dalam pasar yang masih berkembang. Untuk meminimalkan risiko penurunan nilai, konsumen disarankan memilih merek dengan jaringan servis yang luas, ketentuan garansi yang jelas, serta program tukar tambah yang konkret.
“Justru bagi pembeli pertama EV, saat ini merupakan peluang emas untuk mendapatkan nilai terbaik sebelum harga pasar mencapai titik keseimbangan baru,” ujarnya.
Terakhir, Ahmad menilai depresiasi kendaraan listrik saat ini bukanlah tanda kemunduran, melainkan fase alami menuju pasar yang lebih dewasa dan harga yang lebih masuk akal. Ketika promosi mulai kembali normal, insentif semakin terprediksi, dan infrastruktur pengisian sudah mapan, maka nilai EV akan menemukan fondasi yang lebih kuat.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id

































