tirto.id - Apa yang dimaksud dengan rukhsah, secara etimologi berasal dari kata "rakhusa" yang artinya keringanan atau kemudahan.
Secara bahasa, menurut KBBI, rukhsah adalah kemudahan yang diberikan Allah SWT kepada seseorang karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan (menunaikan) ibadah wajib (salat dan puasa secara sempurna) sehingga dapat dilaksanakan (ditunaikan) dengan cara menjamak atau mengqasar salat dalam perjalanan dan mengqada puasa di luar bulan Ramadan.
Dalam menjalankan syariat, laman NU menuliskan bahwa rukhsah disebut sebagai keringanan hukum yang memudahkan seorang mukallaf pada keadaan tertentu atau terpaksa.
Dalil dan Contoh Rukhsah
Jadi, hukum rukhsah adalah diperbolehkan karena adanya kondisi keterpaksaan dan tertentu saja, tetapi jika sudah tidak ada keterpaksaan lagi, maka hukumnya kembali pada hukum yang semula atau disebut dengan azimah.
Contohnya orang yang sedang dalam perjalanan (musafir) dengan jarak yang ditentukan, maka ia diperbolehkan mengqashar salat ketika berada dalam kondisi tersebut.
Dalil mengenai musafir yang diperbolehkan mengqashar salat seperti disebutkan dalam surah An-Nisa ayat 101.
Allah SWT berfirman:
وَاِذَا ضَرَبۡتُمۡ فِى الۡاَرۡضِ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ اَنۡ تَقۡصُرُوۡا مِنَ الصَّلٰوةِ ۖ اِنۡ خِفۡتُمۡ اَنۡ يَّفۡتِنَكُمُ الَّذِيۡنَ كَفَرُوۡا ؕ اِنَّ الۡـكٰفِرِيۡنَ كَانُوۡا لَـكُمۡ عَدُوًّا مُّبِيۡنًا
Wa izaa darabtum fil ardi falaisa 'alaikum junaahun an taqsuruu minas Salaati in khiftum ai yaftinakumul laziina kafaruuu; innal kaafiriina kaanuu lakum aduwwam mubiinaa
Artinya: "Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu meng-qasar shalat, jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu." (QS. An-Nisa: 101).
Ayat ini menjelaskan bahwa dibenarkan umat Islam menunaikan fardu salat qasar (qashar) pada waktu dia dalam perjalanan, baik dalam keadaan aman atau dalam ancaman musuh.
Musafir tidaklah berdosa ketika mengqashar salat, yaitu dengan cara memperpendek jumlah rakaat salat yang empat rakaat menjadi dua rakaat, seperti salat Zuhur, Asar, dan Isya.
Salat dalam perjalanan yang aman disebut salat safar. Pada salat safar, salat yang terdiri dari empat rakaat: zuhur, asar, dan isya diqasar menjadi dua rakaat. Magrib dan subuh tidak diqasar.
Syarat menqasar salat safar ialah perjalanan yang jauhnya diukur dengan perjalanan kaki selama tiga hari tiga malam.
Menurut Imam Syafii, perjalanan dua hari atau 89 km. Menurut perhitungan mazhab Hanafi 3 farsakh (18 km).
Sedangkan menurut pendapat lain, kebolehan mengkasar salat tidak terikat dengan ketentuan jauh jarak, tetapi asal sudah boleh dinamai safar, boleh mengkasar.
Contoh lainnya, seorang muslim diharamkan memakan bangkai. Tetapi ia dibolehkan mengonsumsinya jika sedang dalam keadaan terpaksa atau untuk berobat (rukhsah).
Lalu memakan bangkai menjadi haram kembali (azimah), apabila orang tersebut sudah tidak dalam keadaan terpaksa atau tidak dikonsumsi lagu sebagai obat.
Hal ini seperti terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 173.
Firman Allah SWT:
اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيۡکُمُ الۡمَيۡتَةَ وَالدَّمَ وَلَحۡمَ الۡخِنۡزِيۡرِ وَمَآ اُهِلَّ بِهٖ لِغَيۡرِ اللّٰهِۚ فَمَنِ اضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَلَاۤ اِثۡمَ عَلَيۡهِؕ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوۡرٌ رَّحِيۡمٌ
Innamaa harrama 'alaikumul maitata waddama wa lahmal khinziiri wa maaa uhilla bihii lighairil laahi famanid turra ghaira baaghinw wa laa 'aadin falaaa isma 'alaih; innal laaha Ghafuurur Rahiim
Artinya: "Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah: 173)
Dalam ayat ini, jelas disebutkan sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu beberapa hal.
Pertama, bangkai, yaitu binatang yang mati tidak dengan disembelih secara sah menurut ketentuan agama; kedua, darah yang aslinya mengalir, bukan limpa dan hati yang aslinya memang beku; ketiga, daging babi dan bagian tubuh babi lainnya seperti tulang, lemak, dan lainnya serta produk turunannya; dan, keempat, daging hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, yaitu hewan persembahan untuk patung dan roh halus yang dianggap oleh orang musyrik dapat memberikan perlindungan dan keselamatan.
Tetapi barang siapa terpaksa memakannya karena kalau tidak memakannya diduga menyebabkan kematian akibat kelaparan, bukan karena menginginkannya tetapi memang tidak ada makanan lain, dan tidak pula melampaui batas karena yang dimakan hanya sekadar untuk bertahan hidup, maka tidak ada dosa baginya memakan makanan yang diharamkan itu.
Sungguh, Allah Maha Pengampun terhadap dosa yang dilakukan oleh hamba-Nya, apalagi dosa yang tidak disengaja.
Allah Maha Penyayang kepada seluruh hamba-Nya, sehingga dalam keadaan darurat Dia membolehkan memakan makanan yang diharamkan agar hamba-Nya tidak mati kelaparan.
Editor: Addi M Idhom