tirto.id - Bullying atau perundungan adalah pola perilaku yang dapat diindentifikasi melalui tiga jenis karakteristrik yaitu tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk menyakiti orang lain, terjadi secara berulang-ulang, dan adanya perbedaan kekuasaan antara pelaku dan korban.
Pelaku bullying memang secara sengaja menyebabkan rasa sakit pada korbannya baik itu rasa sakit fisik maupun rasa sakit mental.
Mengutip laman Unicef Indonesia, anak-anak yang melakukan bullying biasanya berasal dari status sosial atau posisi kekuasaan yang lebih tinggi, seperti anak-anak yang lebih besar, lebih kuat, atau dianggap populer sehingga dapat menyalahgunakan posisinya.
Sebaliknya, anak-anak yang paling rentan menghadapi risiko lebih tinggi menjadi korban bullying seringkali adalah anak-anak yang berasal dari masyarakat yang terpinggirkan, anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah, anak-anak dengan penampilan atau ukuran tubuh yang berbeda, anak-anak penyandang disabilitas, atau anak-anak migran dan pengungsi.
Mengetahui anak menjadi korban bullying akan menjadi mimpi buruk bagi orang tua. Ini akan menyebabkan dampak negatif kesehatan mental yang berkelanjutan jika dibiarkan begitu saja. Oleh karena itu orang tua harus berperan aktif untuk menjaga keamanan anak dari bullying.
Orang tua perlu untuk mengajarkan anak mengenai karakterisitik bullying, selalu menjalin komunikasi yang terbuka dengan intensitas yang sering bersama anak.
Bantu anak agar menjadi panutan yang positif saat menghadapi situasi bullying baik itu anak sebagai korban, pelaku, atau saksi. Bangun kepercayaan diri anak dan jadilah orang tua teladan. Tidak hanya itu, orang tua juga harus memantau interaksi anak di sosial media.
Dampak bullying terhadap kesehatan mental anak
Masa kanak-kanak dan remaja adalah periode perkembangan menuju dewasa. Mendapatkan pengalaman buruk sebagai korban bullying akan mempengaruhi kesehatan mental anak.
Mengutip laman StopBullying, penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja korban bullying lebih mungkin mengalami depresi, kecemasan, dan rendah diri daripada mereka yang tidak pernah merasakan bullying. Mereka juga cenderung kesepian dan ingin menghindari lingkungan tempatnya mendapatkan perundungan, ini bisa sekolah ataupun lingkungan pergaulan.
Melansir Yayasan Al Ma’soem Bandung, bullying akan mempengaruhi kesehatan mental anak, yang dapat berupa gejala berikut ini:
1. Perasaan cemas hingga depresi
Korban yang bullying yang mendapatkan intimidasi terus menerus akan mengembangkan gangguan psikosomatis akibat cemas dan perasaan tidak aman yang dialaminya. Gejala fisiknya dapat berupa sakit perut hingga puing. Ini dapat berlanjut ke tingkat depresi.
2. Sulit tidur
Perasaan tertekan yang dialami anak korban bullying akan mengganggu pola tidurnya. Sebelum tidur biasanya anak akan merenung karena momen sendirian di kamar. Ini akan memicu ingatan akan perilaku buruk yang diterimanya. Maka dari itu, tak jarang anak akan sulit tidur. Jika pun tidur, anak akan cenderung mimpi buruk.
3. Kurang nafsu makan
Rasa cemas berkepanjangan dapat membuat anak tidak bersemangat melakukan apapun. Ini dapat berujung menurunnya nafsu makan. Anak yang tidak memiliki nafsu makan tentu akan mempengaruhi kesehatan fisik dan asupan gizi mereka.
4. Prestasi akademis turun
Rasa tidak aman, cemas, dan tertekan akan mengurangi fokus anak saat belajar. Sehingga, prestasi akademik anak akan cenderung menurun. Apabila bullying terjadi di lingkungan sekolah, anak kemungkinan akan menghindari datang ke sekolah. Bolos sekolah pastinya akan mempengaruhi prestasi akademik secara langsung.
5. Tidak percaya diri
Menjadi korban bullying menyerang mental anak, tingkat percaya diri mereka akan turun secara drastis. Mereka akan merasa tidak berharga di mata orang lain.
6. Suka menyendiri
Korban bullying secara perlahan akan menarik diri dari lingkungan pergaulannya. Anak akan menghindari menjalin hubungan atau berteman dengan orang lain, dan lebih nyaman dengan kesendirian.
7. Memiliki keinginan bunuh diri
Pada titik terparah, saat bullying dilakukan secara terus menerus, ini dapat benar-benar merusak mental anak. Perasaan tidak aman dan merasa disepelehkan dapat mengakibatkan depresi tak berujung hingga memiliki keinginan untuk mengakhiri hidup.
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Nur Hidayah Perwitasari