tirto.id - Pola asuh seperti induk harimau atau tiger parenting merupakan salah satu pola asuh yang tak sedikit diadaptasi oleh para orang tua Asia.
Namun, tak sedikit pula orang mengklaim bahwa tiger parenting bukanlah pola asuh yang baik, karena cenderung kaku dan konserfatif. Meski, tidak sedikit pula yang mengatakan bahwa tiger parenting berhasil menumbuhkan anak-anak berprestasi.
Istilah tiger parenting sendiri dibahas pada buku berjudul "Battle Hymn of the Tiger Mother" karya Amy Chua, profesor hukum Universitas Yale. Dilansir dari American Psychological Association (APA), Chua tumbuh dalam keluarga Amerika-Tionghoa yang mengadopsi pola tiger parenting.
Dalam buku tersebut, Chua menjelaskan bahwa tiger parenting yang dilakukan orang tuanya membawanya berhasil mendapatkan berbagai prestasi, termasuk menjadi lulusan Harvard dan Juara Perubahan untuk Gedung Putih di Asia Amerika dan Kepulauan Pasifik.
Klaim yang diungkapkan Chua bisa jadi benar, tetapi para pengkritik menyebutkan bahwa metode pengasuhan ini tidak membawa hasil perkembangan yang optimal pada anak. Selain itu, yang menjadi perhatian adalah berbagai hal yang disajikan dalam buku Chua merupakan pengalaman pribadinya dan bukan pada penelitian ilmiah dengan pertimbangan perbedaan antar variasi.
Sudut pandang penelitian
Su Yeong Kim, profesor Universitas Texas, melakukan penelitian pada empat gaya asuhan yang diadopsi oleh 444 orang tua Tionghoa-Amerika di California. Keempat gaya pengasuhan tersebut antara lain, orang tua suportif (45 persen), orang tua harimau (28 persen), orang tua santai (20 persen), dan orang tua kasar (7 persen).
Pada penelitian tersebut Kim menggunakan empat atribut pengasuhan positif dan empat negatif untuk mengurutkan orang tua berdasarkan gaya pengasuhannya. Atribut positif seperti sikap hangat, kesediaan orang tua dalam menjelaskan mengapa aturan diberlakukan, dan sebagainya. Sementara atribut negatif contohnya seperti mempermalukan anak untuk membentuk perilaku.
Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa orang tua harimau mendapat nilai tinggi pada kedelapan atribut. Hasil ini berbeda dengan orang tua suportif yang mendapat nilai tinggi pada atribut positif dan nilai rendah pada atribut negatif.
Sehingga tiger parenting didefinisikan sebagai orang tua yang mempraktikkan strategi pengasuhan positif dan negatif secara bersamaan. Ini berbeda dengan pola asuh kasar yang mendapat nilai lebih tinggi pada atribut negatif, atau orang tua santai yang cenderung "lepas tangan."
Sayangnya, anak-anak dari orang tua harimau melaporkan tingkat gejala depresi yang lebih tinggi daripada anak-anak dengan orang tua yang santai atau suportif. Dari sini Kim kemudian menyatakan bahwa bahwa tiger parenting tidak seefektif seperti yang Chua klaim.
Anak adalah prioritas orang tua
Melansir dari laman Parents, Chua mendefinisikan tiger parenting sebagai orang tua stereotip keturunan Tionghoa. Stereotip yang dimaksud seperti orang tua yang mengutamakan tugas sekolah anak di atas segalanya, menuntut anak mendapat nilai A, melarang anak pacaran sampai masuk perguruan tinggi, hingga tidak mengizinkan anak-anak menginap, bermain, menonton TV, atau memilih kegiatan ekstrakulikulernya sendiri.
Namun, disisi lain, orang tua harimau juga bisa sangat suportif. Chua mencontohkan dalam kasus saat ia diminta memilih antara balet atau piano. Saat Chua memilih piano, maka orang tuanya memberikan segala yang dibutuhkan, termasuk memberikannya les piano, mendampinginya selama belajar piano yang berlangsung selama berjam-jam, menghadiri semua kegiatannya, dan sebagainya. Hal itu membuat dirinya memenangkan kompetisi untuk bermain piano solo di sebuah orkestra.
Orang tua Chua juga tidak ragu menghujani dirinya dan saudaranya dengan ciuman dan pelukan untuk memastikan bahwa mereka dicintai. "Orang tua saya memprioritaskan kebutuhan kami selalu di atas kebutuhan mereka sendiri," kata Chua dalam Parents.
Anak diarahkan untuk menjadi sukses
Chua mengatakan meski orang tua harimau identik kaku dan menekan, mereka akan melakukan apapun agar anaknya bisa jadi yang terbaik. Anak-anak diasuh untuk memiliki kemandirian dan menjadi ahli di bidang yang dipelajari, terlepas itu minat mereka atau tidak.
"Untuk menjadi ahli dalam segala hal, Anda harus bekerja, dan anak-anak sendiri tidak pernah ingin bekerja, itulah mengapa sangat penting untuk mengesampingkan preferensi mereka," ujar Chua.
"Untuk berhasil di dunia ini, Anda harus selalu bersedia untuk beradaptasi," lanjutnya.
Faktanya, kategori keberhasilan orang tua dalam mengasuh tentu berbeda-beda. Anak yang bisa lulus cemerlang di Ivy League mungkin merupakan salah satu kriteria keberhasilan bagi banyak orang.
Dalam hal ini tiger parenting diklaim tidak dapat secara sempit mendefinisikan kesuksesan hanya sebagai pencapaian akademis atau intelektual. Tiger parenting cenderung menunjukkan pada anak-anak bagaimana cara untuk sukses.
Penulis: Yonada Nancy
Editor: Nur Hidayah Perwitasari