Menuju konten utama

Apa Itu Hustle Culture dan Bahayanya Menurut Psikolog

Menurut psikolog dari UGM, hustle culture adalah sebuah istilah yang berkembang dari workaholic.

Apa Itu Hustle Culture dan Bahayanya Menurut Psikolog
Ilustrasi pecandu kerja. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Hustle culture menjadi salah satu istilah yang ramai diperbincangkan dan populer di kalangan generasi muda saat ini.

Dilansir dari Instagram resmi Kementerian Ketenagakerjaan, hustle culture adalah standar di masyarakat yang menganggap bahwa Anda hanya bisa mencapai sukses jika benar-benar mendedikasikan hidup untuk pekerjaan serta bekerja keras sekeras-kerasnya hingga menempatkan pekerjaan di atas segalanya.

Psikolog dari UGM, Indrayanti, M.Si., Ph.D., mengatakan, hustle culture adalah sebuah istilah yang berkembang dari workaholic.

Menurutnya, ada tuntutan pekerjaan yang harus direspons secara profesional dan kualitas tinggi agar tidak dinilai buruk yang pada akhirnya tidak memiliki waktu untuk diri sendiri atau keluarga.

Lantas, pada akhirnya kondisi ini berkembang lagi menjadi toxic productivity. Kondisi ini bisa terjadi pada siapapun tidak hanya di dunia kerja, tetapi juga di dunia pendidikan.

“Melihat kondisi kerja yang situasinya pada workaholic akhirnya kepikiran, ada racun dipikiran. Jangan-jangan yang disebut produktif yang harus kerja keras, lembur, dan akan merasa bersalah jika gak kaya gitu,” paparnya seperti dilansir dari siaran tertulis yang diterima redaksi Tirto.

Indrayanti mengatakan situasi ini yang terjadi pada tiap-tiap individu kemudian menjadi sebuah fenomena yang dilihat di lingkungan sehingga menjadi sebuah gaya hidup atau budaya.

Pada akhirnya generasi muda menjadi berpikir tentang produktivitas seperti yang kebanyakan terlihat yakni yang kerja keras dan terus melakukannya supaya tidak merasa tertinggal.

“Kalau orang lain kaya gitu berarti produktif itu yang kerja keras, lembur sampai malam, bawa laptop sampek tiga. Jika tidak melakukan hal seperti itu lantas menjadi insecure,” tuturnya.

Hustle culture saat ini telah menjadi fenomena gaya hidup ketika pemikiran hidup untuk bekerja. Mendedikasikan kehidupan untuk bekerja sementara hal lain dikesampingkan.

Hustle culture itu mindsetnya kita hidup untuk kerja yang lain entar dulu. Bukan kerja untuk hidup,” terangnya.

Indrayanti menyebutkan bahwa seringkali orang tidak menyadari jika telah terseret dalam arus hustle culture karena telah menjadi bagian dari kebiasaan sehari-hari.

Ada ciri-ciri yang bisa dikenali dari hustle culture ini. Salah satu cirinya adalah terus memikirkan pekerjaan di setiap waktu dan tempat. Terjadi ketidakseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi.

“Tidak sempat untuk memikirkan kebahagiaan sendiri, worklife balance-nya tidak ada,” ucapnya.

Selain itu, merespons kondisi fisik dan psikis dengan standar dirinya. Misalnya, merasa ada sensasi fisik dalam dirinya seperti pusing, sakit perut, tidak enak badan yang sering dikeluhkan karena pekerjaan yang terlalu berat.

Sedangkan secara mental merasa kurang percaya diri dan insecure. Jarang merasa puas terhadap apa yang telah dikerjakan, merasa masih ada yang salah dan harus terus bekerja agar sempurna.

“Dalam pikiran itu harus keras bekerja, bukan bekerja keras dengan startegi. Ambisusus untuk terus aktif sehingga tidak peka dengan sinyal-sinyal dalam tubuhnya hingga saat banyak stresor masuk tubuhnya ambruk, stres, burnout, terjadi kelelahan psikologis,” tuturnya.

Ia menjelaskan bahwa saat ini hustle culture kian populer seiring dengan berkembangnya media sosial. Kebanyakan orang membagikan pencapaiannya melalui media sosial ini yang semakin memupuk persaan insecure dan membandingkan diri dengan orang lain.

“Penyebab menjadi hustle culture ini karena melihat orang lain. Apalagi dengan medsos, orang posting prestasi di medsos jadi mudah membandingkan diri dengan orang lain. Dampaknya ke isu kesehatan mental,” urainya.

Lalu bagaimana menyikapi hustle cuture ini?

Indrayanti menyebutkan cara untuk menyikapi fenomena hustle cuture adalah, generasi muda perlu untuk tetap terkoneksi secara riil dengan lingkungan dan berkolaborasi. Dengan langkah tersebut bisa membuka pikiran masing-masing dan mengetahui jika fenomena yang terjadi tidak hanya dihadapi dirinya sendiri tetapi juga oleh orang lain.

Baca juga artikel terkait LIFESTYLE atau tulisan lainnya dari Nur Hidayah Perwitasari

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Nur Hidayah Perwitasari
Editor: Iswara N Raditya