tirto.id - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja menjadi kado manis Presiden Jokowi di akhir 2022. Perppu yang ditandatangani pada 30 Desember 2022 itu diyakini oleh Pemerintah sebagai salah satu langkah untuk menghadapi bayangan resesi ekonomi global agar Indonesia bisa meminimalisir potensi terjadinya resesi ekonomi di Indonesia.
Co-Founder Institute for Justice and Constitutional Ethics, Juhaidy Rizaldy Roringkon menilai, memang menjadi hal yang wajar jika presiden menerbitkan Perppu, karena dalam Undang-Undang Dasar 1945 kepala negara mempunyai hak dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa dapat menetapkan Perppu. Akan tetapi latar belakang dari terbitnya Perppu dan politik hukumnya tetap harus dicermati bersama oleh semua lapisan masyarakat.
"Semoga latar belakang lahirnya Perppu ini sejalan dengan niat mulia pemerintah untuk menghadapi bayangan resesi ekonomi," katanya dalam pernyataannya di Jakarta, Rabu (4/1/2023).
Jika menelisik lebih jauh, Perppu ini bisa dikatakan 'Perppu Resesi Ekonomi'. Karena menurutnya Perppu ini hanya berganti baju saja, terlebih semua substansinya sama dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Walaupun ada beberapa perbaikan teknis dan penyesuaian yang tidak signifikan.
"Dibandingkan dengan 'Perppu COVID-19' yang sebenarnya tujuannya sama juga untuk kepentingan ekonomi, bagaimana menghadapi COVID-19 dan tetap mempertahankan kondisi perekonomian Indonesia agar tetap kuat dan stabil," jelasnya.
Jika dilihat konsep besarnya, terlepas dari perdebatan latar belakang Perppu ini, dia menilai pemerintahan hari ini memiliki tren untuk menggunakan instrumen hukum yang tidak biasa atau hanya digunakan dalam keadaan tertentu/darurat. Dalam hal ini Perppu sebagai jalan tengah untuk menghadapi masalah yang akan dihadapi atau sedang dihadapi.
Dia menjelaskan, konsep Perppu dalam perspektif Hukum Tata Negara Darurat memiliki dua makna. Perppu dalam keadaan biasa dan Perppu dalam keadaan darurat. Jika dilihat Perppu Nomor 2 Tahun 2022, Perppu ini adalah Perppu dalam keadaan biasa dengan baometernya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009.
Tetapi jika Perppu dalam keadaan darurat itulah dapat menabrak semua aturan yang ada, dapat menyampingkan hak-hak warga negara, dan harus adanya deklarasi dari presiden sebagai Kepala Negara dan kepala pemerintahan bahwa Indonesia memasuki keadaan darurat.
Tak hanya itu, lanjut dia, kepentingan pengusaha besar yang dianggap dilegitimasi dengan adanya UU Cipta Kerja dan Perppu Cipta Kerja ini, dalam hal pengadaan tanah, kawasan ekonomi, investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional. Hal ini yang harus diperjelas oleh Pemerintah sehingga tidak menjadi issue yang simpang siur, kepentingan negara harus diatas kepentingan kelompok atau golongan.
"Pemerintah memang cukup responsif dalam melakukan berbagai kebijakan, tetapi harus mempunyai grand desain seperti penataan sanksi yang hari ini hanya berpatokan kepada pidana dan administrasi, tetapi ada yang lebih konsep besar seperti sanksi kode etik yang terintegral dalam peradilan etik nasional, sehingga para pejabat tidak melulu dikenakan sanksi pidana dan administrasi," jelasnya.
Pelaksanaan Atas Kewenangan Presiden
Lebih lanjut dia menuturkan, pelaksanaan pemerintahan dalam Perppu Cipta kerja ini, ada hal menarik yang dimana pada Pasal 174, yang berbunyi: “Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, kewenangan menteri, kepala lembaga, atau Pemerintah Daerah yang telah ditetapkan dalam undang-undang untuk menjalankan atau membentuk peraturan perundang-undangan harus dimaknai sebagai pelaksanaan kewenangan Presiden.”
Dalam pasal di atas, semua pelaksanaan seluruh aktivitas Pemerintahan Pusat dan Daerah dalam menjalankan Perppu ini harus dimaknai atas kewenangan Presiden. Sehingga Perppu ini terkesan centralistrik atas kewenangan Presiden saja seolah-olah seperti Titah Raja yang diikuti oleh semua anak buahnya, Indonesia menganut ‘rule of law’ bukan ‘rule of man’.
"Memang sifat Perppu ini adalah Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti UU, karena membentuk UU prosesnya lama, maka adanya jalan Perppu untuk Presiden mengambil Langkah cepat dan strategis dalam keadaan memaksa/tertentu dan kedudukan Perppu ini bisa dikatakan sejajar UU," tuturnya.
Dia menyebut politik hukum yang dibangun pemerintah dengan adanya Perppu ini untuk mengantisipasi adanya penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan terjadinya kenaikan inflasi yang berpotensi berdampak luas kepada perekonomian nasional. Hal ini harus direspons dengan konsep pembaruan dan kebijakan peningkatan daya saing dan daya tarik nasional bagi investasi melalui transformasi ekonomi yang dimuat dalam UU Cipta Kerja.
Perppu ini lahir, diklaim sudah ada pembaruan yang dilakukan sesuai Amanah Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, sehingga menurut pemerintah, putusan MK tersebut sudah dilaksanakan dan telah tertuang dalam Perppu, sehingga inilah yang disebut saat ini Jalan tengah yang diambil oleh Pemerintah dengan dalil menghadapi dan mengantisipasi resesi ekonomi di Indonesia.
"Memang tidak bisa suudzon, tetapi semua kepentingan Perppu ini bukan untuk kepentingan kelompok tetapi untuk kepentingan bangsa dan negara," pungkas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang